15. Sadapan Getah Nipah

1.3K 158 82
                                    


Malam itu, terdapat beberapa stan penjual jajanan pasar di bibir anjungan pantai, dekat undak-undakan yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Lampu-lampu yang berbentuk seperti kubah payung terbalik menyala kuning. Sedikit orang yang beberapa kali bersinggah di bawahnya. Hestu hanya berhenti sebentar untuk membeli air mineral gelasan. Setelahnya pemuda itu berjalan masuk, terus. Mendekati pagar rendah yang membatasi lantai paving dengan lautan. Meloncatinya.

Kakinya mendarat di tapakan semen pondasi pagar.

"Ah serius, harusnya kau datang ke sini sebelum pandemi, Pak," keluh Hestu, menyayangkan. "Kalau malam di sini biasanya ramai. Hidup." Pemuda itu menghembuskan asap rokoknya dan angin darat melautkannya entah ke mana. "Kadang-kadang malah ada yang turun berenang kalau sore." Dia tertawa.

Dinding pondasi itu terjal dan mungkin ada semeter jaraknya sampai air bersarang di bawahnya. "Oh ya?" Yose ikut duduk di pilar pagar. "Gimana caranya mereka naik lagi?"

"Tuhan yang tahu," sahut Hestu rileks, tidak ambil pusing. "Atau mungkin mereka harus berenang sedikit ke sana." Jemari pemuda itu menunjuk jauh ke area sejumput tanah kosong yang lebih landai. Ia lalu mengeluarkan botolan dari kantong plastik yang sejak tadi dijinjingnya. Botolan yang sebelumnya mereka beli dari sebuah warung yang lebih mirip saung di dekat sehampar ladang jagung.

Hestu mengoyak segel gelas, meminum sedikit isinya, lalu membuang sisanya ke laut. Hestu kemudian menuangkan botolan alkohol tradisional ke dalam gelas plastik. Ia mendecak sendiri. "Sebenarnya bakal lebih dapat kalau diminum pakai cangkir bambu," gumamnya.

"Ini tuak?"

"Hmm ... ya. Mungkin memang bakal mirip-mirip sih sama tuak palem-paleman dari daerah lain. Tapi kadar alkoholnya sedikit lebih tinggi—kalau kudengar dari orang ya. Di sini ada dua jenisnya, yang manis dan yang agak kecut."

Ketika Yose mencoba menyesapnya, akhirnya ia tahu minuman ini ada di kategori terakhir dari yang baru saja disebut Hestu.

"Sebenarnya aslinya dari selatan sih, kampung ibuku, kabupaten di sekitar Sarkamadra—tempat kopi oleh-olehmu itu berasal," singgung Hestu. "Dan namanya tergantung dari mana dia disari. Ada yang dari pohon lontar. Tapi yang beredar memang kebanyakan dari getah nipah."

Hestu bercerita, terdengar antusias sekali. Bahkan di kegelapan seperti ini, pemuda itu tampak seperti siluet lukisan di kanvas cat minyak. Duduk menyandar pada pagar dengan sundutan rokok tengadah. Angin yang berkibar-kibar menusuk punggung gagah. Tak ada cukupnya satu-dua madah.

"Maaf ya, sebenarnya kita bisa saja minum di warung. Tapi kalau aku duduk lama-lama di sana, ujung-ujungnya mereka pasti mengajakku ikut main judi," gerutu Hestu.

Yose tertawa. Mengangkat botol dan gelas mereka ke permukaan pilar yang semula ia duduki sementara ia menggeser duduknya ke kisi-kisi pagar. "Kau tahu," katanya, "gadis yang dikuncir tinggi itu sepertinya naksir padamu."

Dahi Hestu mengerut. Ia membenarkan posisi jaket sekaligus menerawang ke plafon malam. "Yang mana?"

"Anak pemilik warung tuak tadi."

"Oh, itu temannya Astia, Pak," timpal Hestu tidak percaya. "Kelas satu SMA sih. Tapi tetap saja, bisa-bisa aku dicap pedofil kalau sampai meladeninya."

"Berarti sebenarnya kau sadar?"

"Yaah, mungkin sedikit." Hestu beranjak untuk duduk di besi pagar seperti yang Yose lakukan. Sebelah-menyebelah dengan botol dan gelas plastik di antara mereka. "Jangan bilang kau cemburu?"

"Aku cuma penasaran."

Senyum tersinggung di antara sesapan nira. Hestu suka melihat bagaimana sudut bibir itu naik merekah. Gigi-geligi membentur tepian gelas diikuti kelopak mata yang meredup. Setiap kali Yose tersenyum, Hestu selalu merasa seperti dilingkup dedahanan pohon. Dan ada sesuatu tentang gestur minum pria itu yang membuatnya sulit meralat pandang.

LenggaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang