B A L D E R 01

88 16 2
                                    

B A L D E R

"Berapa semuanya mbak?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berapa semuanya mbak?"

Suara maskulin mengalun indah dari bibir Balder. Ia kini tengah berada disebuah toko komik yang sudah menjadi langganannya sejak kecil.

"550 ribu bal" ucap si mbak kasir yang sepertinya sudah lama mengenal balder.

"Seperti biasa mbak, kirim semuanya ke apartement" ujar balder menyerahkan enam lembar kertas berwarna merah. Sang kasir terkekeh geli sambil membungkus semua komik yang balder beli.

"Takut banget mbak kirim ke rumah" ucapan dengan nada ejekan itu membuat balder berdecak kesal.

"Mbak tau sendiri, momy gak suka kalo bal baca komik terus" ketus balder menatap jengah ke arah kasir tersebut.

"Iya mbak tau, tapi ada benernya juga kamu berhenti baca komik dan coba perhatikan sekeliling kamu" ucap si mbak kasir menyerahkan uang 50 ribu ke arah balder.

Balder mengambil uang tersebut tanpa menjawab ucapan sang kasir. Ia sudah muak dengan orang-orang yang selalu menyuruhnya berhenti membaca komik. Mereka tidak tau bagaimana dirinya hidup tanpa seorang teman, hingga ia harus terjerumus ke dalam dunia fiksi untuk melampiaskan rasa kesepiannya.

"Komik ini dijual ngga mbak?" Tanya balder saat ia tak sengaja melihat sebuah komik bersampul biru tua dengan gambar bunga violet. Komik itu terletak diatas kursi dengan tumpukan koran.

"Niatnya mau mbak jual, tapi mbak nemu buku itu di deket tong sampah, udah kotor keliatannya jadi mbak taruh disana aja" jawab si mbak kasir yang tengah fokus menghitung jumlah penghasilan yang ia dapatkan hari ini.

"Ya udah kalo gitu bal beli aja, dari judulnya kayaknya seru" ucap balder menatap komik itu yang kini sudah berada digenggamannya.

"Ambil aja gak usah beli, lagian mbak itu dapet nemu, itung-itung diskon dari mbak" ucap si mbak kasir dengan sedikit candaan diakhir kalimatnya.

"Oh oke, makasih mbak, bal pergi dulu ya, jangan lupa kirim semua komiknya ke apartement" pamit balder mengingatkan sang kasir.

"Yang itu komiknya gak bakal dibungkus bal?" Tanya si mbak kasir menghentikan balder yang akan membuka pintu.

"Nggak deh mbak, mau dibaca sekarang, takut di bus nanti gabut" jawab balder yang mendapatkan anggukan dari si mbak kasir.

B A L D E R

Balder kini tengah duduk dihalte bus. Sambil menunggu bus datang, ia membaca komik bersampul biru tua itu terlebih dahulu. Tak ada ekspresi diwajahnya selain datar dan sinis.

Ckit

Suara kendaraan mengerem mengalihkan atensi balder. Balder mengernyit saat melihat sebuah bus yang tampak asing dimata nya berhenti dihalte yang bersebrangan dengannya.

"Bukannya halte itu udah lama ga dipake?" Pikirnya.

Memilih mengabaikan bus tersebut. Balder kembali melanjutkan membaca komik yang sempat tertunda. Ia terus fokus membaca sampai suara dering ponsel memecahkan atensinya.

"Bal pulang, nenek meninggal"

Prang!

Balder menatap kosong ponsel yang baru saja terjatuh ditangannya. Pikirannya berterbangan kemana-mana. Ia menggeleng pelan. Setetes air mata tak terasa jatuh ke dua pipinya.

"Nenek"

Tepat setelah mengatakan itu. Balder berlari ke arah bus yang bersebrangan dengannya. Ia harus cepat tiba dirumahnya, hanya itu yang ada dipikiran balder saat ini. Tanpa balder sadari, sebuah bus yang sudah lama ia tunggu dari tadi melaju kencang ke arahnya, tanpa kendali.

BRAAAAAK!

Tabrakan pun terjadi. Bus berkecepatan tinggi itu menabrak balder hingga ia terpental ke trotoar. Buku komik yang balder baca tadi melayang dan kertas demi kertas jatuh berserakan.

Balder menatap sendu orang-orang yang mengerumuninya. Ia ingin menangis. Bukan karena rasa sakit diseluruh tubuhnya. Tapi karena ia tidak bisa menemani neneknya untuk terakhir kalinya. Neneknya adalah orang yang paling berharga untuknya. Hanya dia yang menjadi tempat ia pulang dan berkeluh kesah. Hanya dia yang mengerti dirinya. Dia yang menjadi saksi betapa kesepian hidupnya tanpa seorang teman.

Balder memejamkan mata, menikmati rasa sakit fisik dan batinnya. Sebelum kesadarannya hilang, balder melihat neneknya yang tengah tersenyum kearahnya dan kemudian hilang bagaikan debu tertiup angin.

B A L D E R
To be continue...

B A L D E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang