Part 2

10.4K 1.4K 94
                                    

Yora menatap dari balik jendela, pada lapangan luas tempat motor, sepeda terparkir. Daerah rumah susun itu  dekat dengan sebuah pasar hingga membuat lapak-lapak pedagang terlihat mulai mengular dari balik gerbangnya.

Ini masih tengah hari, tapi pemandangan di luar seolah kelabu bagi Yora. Suara klakson, teriakan manusia, keriuhan di bawah sana sampai pada lantai sembilan belas tempatnya berada.

Yora sedang berpikir, apakah semua itu akan terjeda jika dirinya melompat dari sana.

Seorang mayat gadis ditemukan tergelatak di parkiran rumah susun. Diduga melompat dari lantai dua puluh sembilan.

Yora seakan bisa membaca bunyi berita yang mungkin saja di liput media. Bisa jadi berita kematiannya masuk ke koran.

Ah, Yora terlalu berharap. Itu adalah ketidakmungkinan. Sama seperti sistem hukum yang tak pernah mampu menembus beton rumah susun itu, media pun sama tumpulnya. Tak ada satupun wartawan yang terlampau idealis untuk mau menukar nyawanya dengan meliput satu saja hal buruk yang terjadi di lingkungan pinggiran itu.

Ramba tak mengizinkan orang luar mendekat, apalagi menggali dari daerah kekuasaanya. Tak ada hukum, tak ada aturan selain yang ditentukan lelaki itu.

Jika pembunuhan satu keluarga lima tahun lalu saja di lantai lima tak mampu terendus media, apalagi soal kematian gadis tak penting seperti dirinya. Jadi sama seperti sebelumnya, dunia akan bungkam jika menyangkut Ramba.

Yora membenci hal itu. Ramba telah menghancurkan setiap elemen yang membuatnya merasa berbeda dengan orang lain yang ditinggal di daerah itu.  Yora bukan lagi si gadis suci. Si baik-baik yang pintar menjaga diri.

Sekarang ia hanya salah seorang dari wanita yang bisa ditiduri Ramba kapan saja.

Yora mengepalkan tangan. Rasa marah menelusup ke setiap sel darahnya. Ia benci apa yang terjadi pada hidupnya. Rasa sayangnya pada sang bapak telah membuatnya menumbalkan diri terlalu jauh.

Suara ketukan di pintu membuat Yora tersentak. Secara tak sadar ada rasa trauma saat mendengar ketukan sekarang.

Namun, suara panggilan bapaknya membuat Yora beranjak.

Wajah Bapaknya masih terlihat selesu subuh tadi ketika pintu terbuka.

"Bisakah kamu keluar? Ada yang ingin Bapak bicarakan."

Yora mengangguk. Ia menyelinp dari  celah pintu. Yora duduk di kursi kayu yang semalam di duduki Ramba. Bapaknya mengambil tempat duduknya sendiri.

"Bapak ada pekerjaan."

Yora mengerang.

"Nak, ini pekerjaan yang menjanjikan."

"Bisakah Bapak diam saja di rumah? Biar Yora yang bekerja. Bapak cukup tak melakukan apapun. Yora mohon." Yora telah putus asa. Setiap hal yang dilakukan bapaknya membuat mereka terjerembab makin dalam. Yora benar-benar butuh sehari saja ketenangan untuk menyusun rencana hidupnya kembali.

"Bapak tak bisa membiarkanmu bekerja lagi. Ramba tidak akan suka."

"Apa?"

"Kamu wanitanya sekarang."

Yora tertawa kering. "Yora tidak akan pernah menjadi wanita lelaki bejat itu!"

"Tutup mulutmu!" Telapak tangan sang bapak membekap mulut Yora. "Jangan sampai ada orang yang mendengar kamu mengatakan itu dan melaporkannya pada Ramba. Kamu lupa dia pemilik tempat ini. Kita bisa diusir dan mati dijalanan!"

Yora melepas dengan kasar bekapan bapaknya. Wanita itu bangkit tak percaya. "Sebenarnya apa yang dikatakan Ramba sampai Bapak berubah seperti ini? Semalam Bapak siap mengorbankan diri! Bapak rela melakukan apapun asal Yora selamat. Tapi sekarang? Bapak memilih menyodorkan Yora pada lelaki itu!"

RAMBATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang