Part 3

4.8K 632 22
                                    

"Ini."

Ramba membeku. Seumur hidup tak pernah ada yang menyela apapun yang sedang dilakukannya. Bahkan saat dia masih seorang bocah tujuh tahun. Namun, sekarang, sebuah tangan putih terulur, menyerahkan uang pada orang yang sedang berurusan dengan Ramba.

Lelaki itu menoleh, dan tak mampu mengerjap. Pemilik wajah yang dengan lancang menganggu urusannya ini sama sekali tak menunjukkan raut kurang ajar. Wajahnya seolah terlalu suci untuk berada di tanah jahanam ini.

Si gadis itu tampak kebingungan karena lelaki bertubuh gempal di depannya hanya menelan ludah dan malah keringat dingin.

"Bang Ogar, ini hutang Bapak saya. Ambilah. Saya memang belum melunasi semuanya, tapi saya janji akan cicil. Gajian nanti saya akan bayar lagi."

Gadis itu kembalu menyodorkan uang, karena tak ada gerakan dari lelaki gendut itu, sang gadis meraih tangan kirinya.

Seketika Ogar berteriak dan si gadis terperanjat mundur. Tangannya kini berwarna merah, berasa dari tangan Ogar yang tersayat.

"Astaga Tuhan! Pak Ogar terluka!"

Ramba memperhatikan. Gadis itu dengan panik merogoh tasnya. Dia mengambil pembalut luka yang dijual kemasan. Ada banyak di tasnya. Gadis macam apa yang memiliki begitu banyak pembalut luka?

Dengan giginya yang putih dan tersusun rapi, gadis itu merobek bungkus pembalut luka. Ramba memperhatikan bentuk bibirnya saat melakukan itu. Merah dan penuh.

"Pak Ogar punya alkohol kan?"

Ogar yang masih tak berani bersuara hanya mengangguk. Lolongannya terdengar saat lukanya dibasuh minuman yang dijualnya sendiri.

"Semoga bisa menghentikan pendarahannya."

Gadis itu membalut luka Pak Ogar. Ia menggigit bibir bawah saat melakukannya, tampak menahan ringisan. Tak tega?

Ramba memperhatikan bibirnya yang berkilau  setiap ia mengulum bibir.

"Sudah. Ya Tuhan, semoga pendarahannya berhenti." Gadis itu tersenyum, sementara Pak Ogar menitikan air mata. Menangis sesenggukan.

Gadis itu memegang bahu Pak Ogar, berusaha menatap eajah pria yang kini menangis tertunduk. "Pak Ogar kenapa? Kenapa bisa tangam Bapak terluka seperti ini? Seolah ada yang menyayat ... nya ...."

Saat itulah sang gadis melihat benda berkilau di tangan Ramba. Sebuah pisau yang masih meneteskan darah.

Ramba bisa melihat keterkejutan di mata gadis itu. Keterkejutan yang tak sampai berubah menjadi kengerian. Aneh, apakah ini berarti gadis itu terbiasa melihat kekerasan?

Gadis itu bertatapan dengan Ramba. Dan lelaki itu bisa melihat mata bulat berbulu lentik yang kini tampak mulai memahami situasi.

Gadis cerdas. Jelas tak sepolos wajahnya.

Gadis itu berpaling, menghadap Ogar yang masih merengek seperti bocah berpampers penuh.

"Ambil uang ini, Pak. Dan tolong ... tolong tetaplah hidup sampai semua hutang Bapak saya lunas."  Tangan kiri Ogar yang belum dilukai, menerima uang lima puluh ribu dari gadis itu.

Gadis itu kemudian berbalik pergi. Meninggalkan kedai minuman. Namun, saat berada di ambang pintu, sang gadis berbalik, bertatapan dengan Rimba yang memang memperhatikan setiap gerakannya.

Sebuah permohonan.

Tak salah lagi.

Sorot mata itu memancarkan permohonan pada Ramba.

Gilanya lagi, sebelum akhirnya benar-benar pergi gadis itu menyunggingkan senyum tipis tanda terima kasih.

Ramba baru berpaling pada Ogar saat sosok gadis itu tak terlihat lagi.

"Am-ampuni say-"

"Siapa dia?"

"I-iya?"

"Siapa gadis yang mengobati lukamu tadi?"

Ramba membuka mata. Ingatan tentang kali pertama dia menyadari keberadaan Yora kembali terlintas. Itu adalah hari yang sama seperti hari yang lain. Terik matahari masih memangg bumi dan membuat manusia-manusia miskin yang berdesakan di daerah kumuh padat penduduk itu merasa hampir sekarat.

Tengah hari itu Ramba berada di salah satu kedai minuman. Pemiliknya adalah seorang lelaki botak yang meminta perlindungan pada Ramba.

Namun, lelaki itu melakukan kesalahan. Dia menerima sebuah cincin yang diberikan orang yang menggali informasi tentang pembunuhan lima tahun yang lalu. Korban yang merupakan pelanggan Ogar, membuat lelaki itu bisa memberi informasi. Informasi tang merugikan Ramba.

Hari itu, Ramba memutuskan Ogar harus dibinasakan. Dan Ramba memutuskan turun tangan. Ogar akan menjadi contoh pada yang lain, bahwa sekecil apapun informasi, tidak boleh dibagi.

Awalnya, Ramba menyayat,nyata tangan kanan Ogar yang menrima cincin itu.  Membuat lelaki botak itu kencing di celana dan berteriak seperti bayi.

Dia baru akan memotong jari tempat cincin itu melingkar saat Yora masuk begitu saja ke kedai dan menghampiri mereka.

Gadis itu tampaknya mengira Ramba hanya pelanggan biasa yang memilih minum siang hari.

Sejak mendengar suaranya, Ramba sudah tertarik. Dan begitu melihat apa yang dilakukannya Ramba memutuskan untuk memilikinya.

Gadis itu memiliki wajah boneka dengan tubuh seorang penggoda. Itu membangkitkan hasrat Ramba. Terkutuklah waktu di mana gadis itu dilahirkan, atau saat mereka akhirnya bertemu.

Ramba tidak membutuhkan usaha keras untuk memilikinya. Bapaknya yang tolol dan pemabuk, akhirnya menjadi orang yang menghidangkan menu baru bagi Ramba.

Bagi lelaki itu, wanita seperti makanan. Yang dibutuhkan untuk tetap hidup. Mereka banyak dan beragam, jadi Ramba harus terus mencicipi menu berbeda agar tidak bosan.

Di mata Ramba, Yora adalah menu baru yang tak sengaja ditemukannya.

Terbukti, di tengah kebencian dan perlawanannya, gadis itu benar-benar mampu memuaskan Ramba. Ramba tak tahu kapan akan bosan, cukup aneh memang. Namun, untuk sekarang dia akan menikmati 'makanan' itu sepuasnya.

Iya, setidaknya wanita itu harus menanggung hutang atas nyawa Ogar pada Ramba. Meski tetap kehilangan jarinya, tapi setidaknya Ogar tak.menjadi mayat.

Lagi pula, sudah dua manusia yang diselamatkan gadis itu. Secara sadar meminta pertolongan pada Ramba. Gadis itu terlalu bernyali. Kebaikannya adalah ketololan yang harus dibayar mahal, karena bagi Ramba tak ada yang gratis di dunia ini. Nyawa harus diganti nyawa. Nyawa Ogar harus diganti dengan hidup gadis itu. Sangat adil bukan?

Ramba bangkit dari ranjang. Meninggalkan wanita yang kini tengkurap dan telanjang di sana. Hadiah paling berharga  yang bisa diberikan  Nakita.

Lelaki itu menuang minuman dan menenggaknya. Dia mengusap sisa minuman di bibirnya.

Nakita salah dengan mengirim anaknya  untuk menggantikan dirinya. Karena bukan wanita penghibur lain yang diinginkan Ramba.

"Zenk! Gama!"

Panggilan itu membuat pintu terbuka. Dua orang  tangan kanannya menghadap.

"Berikan yang Nakita mau."

"Baik, bos." Gama bergerak menuju ranjang.  Sementara Zenk mengambil video.

Ramba keluar kamar.

*****

Nakita melempar gelas minumannya ke televisi. Hatinya remuk redam dan terbakar kemarahan. Ramba masih marah. Kaleira-- anaknya-- berakhir disetubuhi Gama. Yang lebih menyakitkan adalah itu divideokan dan dikirim langsung sebagai jawaban dari Ramba.

"Lelaki jahanam," bisik Nakita penuh dendam. Jika tidak menyelesaikan ini maka kematianlah yang akan menjelang. Nakita membenci ketololannya yang mengkhianati Ramba. Namun, lebih membenci bahwa lelaki itu tak mau memaafkannya.

Love,

Rami

Cerita ini sudah bisa dibaca di Karya Karsa ya. Inak kan masih hiatus di WP

RAMBATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang