"Alia ... hei, Alia!" Suara familiar membangunkanku dari tidur tanpa mimpi. Aku menengadah dari meja, dikejutkan dengan wajah ceria teman kelasku, "Alia! Kau akan pulang kan kali ini?"
"Berisik ..." Aku kembali memejamkan mata dalam dekapan tangan. Sinar matahari siang menghangatkan punggung, menerangi ruang kelas yang ramai oleh paduan ocehan dan tawa para murid. Semua beranjak dari meja nya, merayakan akhir dari semester ini. Dalam beberapa hari, kami akan meninggalkan asrama dan pulang selama libur semester.
Aku hampir terlelap kembali saat meja belajarku goyang karena ulah temanku. "Ayolah, kau sudah tidak pulang selama 4 semester! Memangnya kau tidak mau menghabiskan waktu liburan di rumah? Ini saatnya kita melakukan semuanya dengan bebas!" Sambil menggenggam pinggir meja, dia menggoyangkannya makin hebat. "Kau bisa bangun siang, sarapan sebebasnya, tidur selama 12 jam! Apa yang menahanmu untuk pulang semester ini?"
Pertanyaannya membawa pikiranku ke pagi tadi, saat aku sedang menghadap guru Ilmu Herbologi Sihir, "Maaf ya, tapi kelas kilat untuk libur semester ini Ibu batalkan. Ibu harus bersiap-siap karena tanggal persalinannya sudah dekat", ucapnya sambil mengelus perutnya yang menggembung.
"Tapi, Aku murid yang selalu setia mengikuti kelas kilat ini sejak semester 1!", bantahku.
"Betul sekali, bahkan disaat semuanya pulang untuk libur semester, hanya Kamu yang masih mengikuti kelas ini sendirian," kebenaran itu membuatku sedikit tertegun. "Dan Kamu tetap mengerjakan setiap tugas yang Ibu berikan dengan rajin."
Aku hanya terdiam dalam ketidakpercayaan.
"Ibu ingin tahu," dia mendongak dari duduknya, "Apa yang membuat kamu begitu enggan untuk pulang ke rumah?"
Aku memikirkan alasan untuk mengelak, namun tidak ada yang terbesit dalam pikiranku.
"Alia!", suara tinggi temanku membawaku kembali, "Kamu pulang kan besok? Tidak ada yang harus diurus lagi kan saat liburan? Atau jangan-jangan Kamu mendaftar ikut kelas kilat itu lagi?! Ah, tidaak!"
"Kelasnya dibatalkan, Ibu Hena harus mempersiapkan persalinannya sebentar lagi," jawabku dengan berat, "Tidak ada kelas untuk liburan semester ini ..."
Temanku menghempaskan kedua tangannya ke udara dengan teriakan kemenangannya, "Yeay! Alia akan pulang kali ini!"
"Ya, kurasa tidak ada pilihan lain," pikiranku tenggelam dalam rasa kecewa. Rencana yang selalu kuandalkan setiap libur semester akhirnya gagal. Jika kelas kilat ini tiada, maka tidak ada pilihan lain selain pulang dan menghabiskan masa liburan di kediamanku.
Suara riuh kelas dan ocehan temanku sejenak menyatu, tenggelam jauh dari dinding dalam pikiran.
"Kalian tidak akan pulang semester ini!" Seorang guru berperawakan gemuk muncul di ambang pintu. Semuanya berhenti melakukan kegiatan mereka dan terdiam kaku ditempatnya, seperti seekor rusa tersorot sinar lampu mobil di tengah jalan.
Raut wajah keras guru ini terus menatap ke seluruh ruangan yang kini sunyi bak makam kuno. Suasana meriah yang tadi memenuhi ruangan berganti dengan aura mencekam. Lalu, suatu hal menarik terjadi. Wajah gemuk merah si guru makin menggembung bersama badannya, seperti balon. Dengan suara ledakan kecil, dia meletus menghantarkan kepulan asap tebal di sekelilingnya. Menampakkan seorang siswa tengah tersenyum tengil dengan lebar, "Heheheh ..."
Serentak gelak tawa memenuhi ruang kelas.
"Ugh, mengagetkan saja ..." hela ku, "Aku lupa dia ahlinya mantra penyamar di kelas ini."
"Okay, kembali lagi ke pembicaraan kita," wajahnya makin girang, "Ayo bertukar kartu pos! Aku akan mengunjungi sepupuku di London saat liburan nanti! Karena Kamu akhirnya pulang, kita bisa bertukar kartu pos!" Matanya berbinar-binar, "Kirimi aku kartu pos dari kampungmu ya!"
"London? Woah," rencana liburannya kedengaran lebih spektakuler dibandingkan punyaku, "Iya, tentu, ayo bertukar kartu pos."
Dia teriak kegirangan lagi dan memelukku. Aku hanya bisa tersenyum dengan semua hal merepotkan ini.
Bel terakhir berbunyi. Semua murid keluar dari kelasnya dan mulai mengemasi barang-barang mereka dari kamar asrama. Gelak tawa dan suasana meriah memenuhi lorong. Pagi tiba lebih cepat dan kamar asrama sudah mulai banyak yang kosong. Satu per satu murid pergi dengan mobil jemputannya, ada yang berjalan kaki sampai halte bis dekat sekolah sihir kami.
"Daahh, Aliaa!" Lambai temanku dari dalam mobilnya. "Jangan lupa kartu posnya ya!" Suaranya makin menghilang saat mobil pergi makin jauh.
"Daah ..." Lambaiku, sedih.
Aku mengencangkan tali tas selempangku dan mulai berjalan kaki. Langit biru dan awan membayangi aspal dalam basuhan sinar matahari Sabtu. Jalan menurun dari bukit di sekolah selalu memukau, Aku bisa melihat seluruh kota dari sini.
Halte bis sudah kosong saat Aku tiba. Menunggu dalam kesunyian siang terasa seperti keabadian, apalagi dengan cuaca panas seperti ini. Entah berapa menit atau jam Aku menunggu, bis akhirnya datang. Aku duduk di bangku paling pojok di belakang, menatap bayanganku sendiri saat bis melaju. Sore belum memperlihatkan keberadaannya.
Perjalanan cukup singkat di musim liburan ini. Dalam 30 menit Aku sudah menginjakkan kaki di stasiun kereta. Aku mengeluarkan kartu kereta dan melewati gerbang masuk peron. Tak lama, kereta tujuanku tiba.
Gerbong kereta ramai, penuh dengan anak-anak sekolah yang akan pulang kembali ke tempat mereka. Stasiun tujuanku hanya berjarak 4 stasiun dari sini. Setelah duduk dan melepas tas penuh baju, Aku merogoh kantong depan untuk meraih ponselku. Ponsel model lama yang kumiliki sejak akhir SMP, yang bentuk dan kecanggihannya ketinggalan jauh dengan ponsel pintar yang beredar saat ini.
-------------------
From : Alia
To : MaAku pulang.
--------------------Tanpa sadar Aku menahan napas saat menekan tombol kirim. Libur semesterku di rumah akan dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alia's Magical Summer
FantasySetelah 2 tahun menghabiskan liburan di asrama sekolah sihirnya, Alia si penyihir muda memutuskan untuk pulang ke rumah. Apa yang membuat dia begitu enggan pulang ke kampung kelahirannya? Petualangan hebat yang menentukan nasib dunia menunggunya di...