BAB 1

0 0 0
                                    

31 panggilan tak terjawab tidak juga membangunkannya. Biasanya pukul 06.00 pagi ia sudah bangun melakukan workout, tetapi selama seminggu ini waktu tidurnya menjadi sangat tidak teratur. Patah hati memang besar pengaruhnya bagi sebagian besar manusia.

TING TONG

TING TONG

TING TONG

Suara bel yang terus menerus mulai mengusiknya. Kepalanya sangat berat hingga matanya tidak dapat langsung terbuka. Ia memijat keningnya sambil mancari dimana ponselnya.

TING TONG

Suara bel lagi-lagi terdengar. Tanpa peduli dengan ponselnya lagi ia berjalan sempoyongan untuk membukakan pintu apartmentnya.

CEKLEK

"Heh, lo tidur apa mati?" tanya seorang wanita berambut keriting.

"Ya ampun, Mareta berisik banget. Ngapain pagi-pagi kesini?" tanya ia balik sambil menutup pintu setelah temannya masuk.

"Lo mau sampe kapan, deh begini? Kerja engga, keluar rumah engga, dihubungin susah. Gua sama Refina sampe ikutan kepikiran," ucap wanita yang bernama Mareta ini.

Ia memilih untuk tetap diam. Pertanyaan yang terdengar sepele tetapi nyatanya sangat sulit untuk dijawab olehnya.

Mareta menghanpirinya yang sedang duduk sambil meneguk segelas air di meja bar nya, "Ren, udah dong. Ayo, bangkit lagi!"

"Gua gapapa, cuma butuh healing aja. Lusa gua kerja lagi, kok. Lo tenang aja." sahutnya dengan maksud menenangkan temannya itu.

"Sakit banget ya, Ren?" tanya Mareta membuatnya terdiam.

Ia menatap Mareta dalam tanpa kata.

"Well, gua gatau sesakit apa yang lo rasain. Gua ga pernah ditinggal nikah tiba-tiba begitu. Mungkin dunia lo sekarang lagi bener-bener runtuh sampe lo ga bisa nemuin alesan buat bangkit lagi. Tapi, satu-satunya cara adalah menerima. Hidup lo harus lanjut, Ren. Adriel bisa lanjutin hidupnya sama istrinya, lo juga harus! Lo Karen Vanadya. Gua temenan sama lo dari kecil, gua tau lo sekuat apa ngadepin dunia. Sekarang juga lo kuat, gila. Lo masih ada disini, lo ga bunuh diri. See? Udah cukup jadi alesan lo bangkit," kata Mareta menghibur sahabatnya itu.

"Terus kenapa kalo gua ga bunuh diri?"

"Ren, satu-satunya hal yang masih bisa disyukurin dari orang yang dunianya hancur adalah dia ga milih buat akhirin hidupnya walopun dia ngerasa hidupnya ga lebih dari neraka. Makanya gua bilang lo kuat. Lo masih waras, Ren yang harus lo lakuin sekarang cuma berusaha buat berdiri lagi pelan-pelan. Ga usah lo langsung bangun ulang dunia lo, deh. Cukup mulai ngelakuin aktivitas lo dan jangan biarin kesedihan lo berlarut," jelas Mareta berharap bisa memberi kekuatan padanya.

"Thanks ya, Mar. Kalo Refina balik nanti kita liburan, yuk!" ajaknya dengan senyuman lemas membuat Mareta ikut tersenyum iba.

Mareta menganggukan kepalanya, "Bebas deh, lo mau ajak gua kemana asal lo seneng gapapa gua mau."

"Gua ga janji bakal bangkit cepet. To be honest, setelah bokap nyokapnya gua pisah Adriel jadi tempat gua pulang tiap gua ngerasa cape banget sama hidup. Ngeliat dia kemaren nikah rasanya, ah lo ga bakal mau tau. Gua ga tau responnya gimana tapi sakit banget gila, Mar. Demi tuhan sakit banget," ucapnya menahan tangis.

Mareta memeluk sahabatnya erat sambil mengelus punggung Karen, "Cukup ketawa, Ren. Ketawa lepas, dan senyum yang lepas. Udah cukup banget."

DRRTT DRRTT DRRTT

Getaran ponsel melepaskan pelukan kedua wanita itu.

"Halo, Kak?" jawab Karen saat mengangkat panggilan masuk dari ponselnya.

"Gak kesini, Ren?" kata seorang pria dari sana.

Ia terdiam. Ia tau maksud "kesini" yang dilontarkan penelponnya itu.

"Lo masih punya 1 jam sebelum El berangkat," lanjut pria tadi seolah membujuknya untuk datang.

Ia mematikan panggilannya tanpa menjawab apapun. Ia terdiam sejenak dengan pikirannya yang tidak jelas.

Ia menatap Mareta lama sebelum berkata, "Mar, anterin ke airport, yuk!"

Mungkin memang benar salah satu cara agar dirinya bisa melanjutkan hidup dengan ikhlas adalah mencoba menerima dan menghadapi semuanya. Merasakan sakit sampai nanti lukanya terbiasa. Walaupun Adriel dan dirinya sudah berpisah, tetapi baginya Adriel tetap sosok penting yang mempunyai andil besar dalam hidupnya. Selain itu, ia berpikir mungkin kedatangannya kesana juga menjadi pengaruh besar dalam kehidupan mantannya itu untuk melanjutkan hidupnya dengan baik.

Mareta terkejut sampai tidak bisa berkata-kata. Bahkan ia tidak menyadari saat ini Karen sudah tidak ada disebelahnya.

"Mar, ayo! Malah bengong," kata Karen sambil menarik tangan Mareta sambil mengajaknya berlari keluar apartmentnya.

"Emang sayang bikin gila," batin Mareta heran.

-||-

Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta

Karen langsung berlari keluar setelah sampai di lobby bandara tanpa menunggu Mareta. Aksinya itu mendapat perhatian dari beberapa pengunjung bandara baik yang ingin pergi maupun yang ingin pulang.

"REN, GILA LO YA! TIATI NABRAK KACA!" teriak Mareta dari dalam mobil yang pintunya belum ditutup oleh Karen. Mareta menggelengkan kepalanya bingung. Selama ia berteman dengan Karen, ia sama sekali belum pernah melihat Karen yang begitu ekspresif seperti sekarang ini.

Bayangkan, Karen hanya memakai baju tidur setelan sepaha yang dipadukan dengan outer sepanjang celana tidurnya ditambah sandal jepitnya. Bahkan rambutnya saja hanya diikat asal menggunakan jepitan badai atau jedai.

Karen mengacungkan jempolnya saat mendengar teriakan Mareta tanpa membalikkan tubuhnya. Ia harus mencari gate keberangkatan Adriel. Keramaian di bandara membuatnya panik, pasalnya waktu yang ia miliki hanya tersisa 20 menit saja.

"Pak, permisi ruang tunggu ada dimana?" tanya Karen pada seorang security yang sedang berjaga.

"Tujuan mana, Mbak?" tanya security itu kembali.

Karen memutar ingatannya sebelum menjawab. Untuk berpikir saja ia tidak konsen, "Internasional, Pak. Amerika."

"Oh kesana, Mbak. Nanti belok ke kanan, 20 menit lagi udah gak bisa dikunjungi," jawab security itu sambil mengingatkan Karen.

"Makasih, Pak," balas Karen kemudian berlari sesuai arahan yang ia dapatkan.

Karen sudah berlari mengikuti arahan security itu, tetapi ia masih juga belum malihat batang hidung mantan kekasihnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri sampai badannya ikut berputar, tetapi ia tetap tidak menemukannya. Jika Adriel sudah melakukan boarding maka usahanya sia-sia datang kesini.

Tidak lama, Karen melihat teman-teman kekasihnya berjalan keluar dari sebuah ruangan berpintu kaca. Tanpa berpikir panjang, ia berlari kearah rombongan itu.

"Kak, hosh.. hosh.." panggil Karen dengan napas yang tidak teratur

Keempat orang yang berada dihadapannya terkejut melihat kedatangannya. Entah terkejut karena ia datang untuk mengantar Adriel atau terkejut karena penampilannya.

"Kak Adriel dimana?" tanya Karen kepada siapa saja yang menjawabnya.

Tidak ada yang menjawab, tetapi mereka berempat mengacungkan telunjuknya bersamaan menunjuk seorang pria dan wanita yang sedang berjalan menjauhi mereka.

Tanpa berkata apapun lagi ia berlari masuk ke ruangan tersebut dan meneriaki orang yang menjadi alasannya kemari,"KAK EL!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fridge Of The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang