Suara tangisan yang terdengar keras mengejutkan dua lelaki yang tengah melintas di depan kebun tebu yang lumayan gelap. Tengkuk mereka meremang, sesekali lelaki yang duduk di belakang menyenggol temannya yang ada di depan.
"Denger?" Tanyanya setengah berbisik.
Yang ditanya hanya mengangguk.
Mereka berhenti sebab mengecek ban motor yang terasa bergeliyut. Takut jika ban belakang itu kempes, mereka lantas berhenti. Keduanya bernafas lega setelah mengetahui jika ban motor baik-baik saja. Mesin motor akan dinyalakan saat suara tangis mengalihkan konsentrasi keduanya.
Awalnya, tangis itu begitu pelan, lama-kelamaan berubah menjadi jerit dan juga teriakan.
"Kita cek?" Tanya Dafa, lelaki yang duduk di belakang.
Aban tampak keberatan, "Takut anjir, siapa tau itu setan." Ia lantas terkekeh.
"Kalau gitu ayo, jalan." Perintahnya. Mata Dafa masih terus tertuju pada kebun tebu milik seorang Juragan ternama.
Aban mengangguk, mereka berusaha kembali mengabaikan suara yang semakin menyayat hati itu. Sebuah perasaan aneh timbul dalam hati Dafa. Dengan satu gerakan lelaki itu melompat dan lari ke dalam rimbunnya tebu, ia menyalakan flash sebagai penerang. Matanya membulat saat menemukan seorang gadis kecil tertelungkup sambil menjerit histeris.
Bibir Dafa refleks berteriak, tak lama kemudian Aban, mengikutinya menggunakan sepeda motor.
****
"Kalian menemukannya dimana?" Tanya seorang lelaki berpakaian dinas, ia menatap lekat pada Dafa dan juga Aban. Keduanya terlihat ketakutan, darah menempel di pakaian Dafa yang memang menggendong gadis itu."Ka--kami menemukannya di kebun tebu, Pak." Jawab Dafa, berusaha terlihat tenang.
Lelaki itu memicingkan mata, "Kalian memerkosanya?"
Kedua remaja itu menggeleng bersamaan, "Mana mungkin, Pak. Kami menemukannya sudah dalam kondisi seperti itu." Bantah Aban, tak terima.
Lelaki itu akan kembali bertanya saat seorang dokter wanita keluar dari ruangan, wajahnya pucat namun ada gurat kelegaan terpancar dari sana.
"Sepertinya dia korban pemerkosaan, itu dapat dipastikan dari jejak sperma yang masih menempel di alat vitalnya. Terdapat banyak luka di sekujur tubuh gadis ini. Terutama di bagian kemaluan yang robek akibat benda tumpul. Beberapa bekas gigitan juga ditemukan pada dada, pundak, tangan, dan paha dalamnya." Ungkapnya dengan bibir bergetar.
Aban dan Dafa hampir terjatuh, mereka tak menyangka jika luka yang dimiliki gadis itu sangat banyak.
"Ia masih bisa diselamatkan, untung kalian cepat membawanya kemari. Kalau tidak ... mungkin, ia akan ditemukan meninggal besok pagi." Desah dokter itu lagi.
Aban menatap Dafa cemas, sejujurnya ia sangat takut. Bagaimana jika mereka yang akan dituduh sebagai pelaku? Sementara korbannya masih tidak sadarkan diri.
Lelaki berseragam tadi melirik Dafa, "Kalian ikut aku ke kantor polisi."
Aban mundur beberapa langkah, "Bukan kami pelakunya, Pak. Kami yang menemukannya." Ia hampir menangis.
Matanya memerah, ia menatap Dafa kesal. "Sudah aku bilang 'kan, nggak usah sok pahlawan. Kita tadi niatnya cuma mau beli makan, kenapa sekarang harus berurusan sama polisi?!"
Dafa menghela nafas panjang, ia tentu juga takut saat ini. Namun, ia yakin selama dirinya benar, ia tak akan mendapat masalah.
"Hanya sebagai saksi bukan? Jika Bapak berpikir kami pelakunya, sepertinya itu sangat tidak masuk akal." Ucapnya.
Lelaki itu menatapnya intens.
"Mari ikut saya, dan jangan mencoba melarikan diri." Ancamnya dengan wajah sangar.
****
Penemuan seorang gadis Sekolah Menengah Pertama yang menjadi korban pemerkosaan dan penganiayaan itu segera tersebar luas. Pada pagi hari banyak wartawan berita lokal yang berkumpul di depan Rumah Sakit, tempat dimana si korban berada. Sepasang suami-istri dengan wajah pucat masuk ke dalam kamar kelas 1 di ruangan Teratai. Keduanya disambut oleh pemandangan yang begitu menyayat hati. Anak mereka tergeletak tak berdaya di atas kasur. Ia masih belum sadarkan diri, berbagai macam alat menempel di tubuhnya. Bekas gigitan yang membiru terlihat jelas di bagian tangannya.Mulyani terduduk di atas lantai, tangisnya pecah. Sementara Tangguh, sang suami mendekati ranjang. Ia membekap mulutnya rapat, rahangnya mengeras ketika matanya bisa melihat dengan jelas bekas gigitan manusia yang mulai membiru di bagian leher putrinya.
"Allah."
"Allah."
"Allah."
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh lelaki yang berprofesi sebagai kuli pasar itu. Ini adalah puncak segala rasa sakit yang pernah ia rasakan selama hidupnya.
"Anakku," bisiknya lirih.
Suara monitor yang berisik meredam tangis Tangguh. Untuk pertama kalinya ia menangisi Diajeng, sulungnya yang berusia 15 tahun.
Mulyani menyeret tubuhnya, ia lalu berusaha bangkit. Matanya kembali basah melihat putri sulungnya menutup mata saja. Ia ingin memeluk Diajeng, namun seorang dokter segera melarangnya.
"Tubuhnya masih sangat lemah." Ia mengingatkan.
Mulyani berbalik, ia menatap dokter itu penuh harapan.
"Apa anak saya akan baik-baik saja? Katakan anak saya akan segera bangun." Tanyanya dengan nafas memburu.
Tangguh segera mendekat, ia menyatukan dua tangan di depan dokter itu. "Tolong selamatkan anak saya."
Keduanya lantas menangis kembali. Wanita dengan jas putih itu menatap iba. Sebagai seorang perempuan dan juga Ibu, hatinya pun hancur melihat kejadian ini.
Seorang lelaki berseragam polisi masuk ke dalam ruangan. Tangguh segera mendekat dan kembali memohon, "Tolong tangkap pelakunya, Pak. Berikan keadilan untuk anak saya."
Ia akan bersujud ketika tangan polisi itu menahannya. "Mari kita ke kantor polisi, Pak. Kita akan segera mengusut kasus ini."
Tangguh menatap Mulyani, wanita itu mengangguk. Suaminya pergi bersama polisi itu, sementara ia memilih menemani Diajeng. Dokter Alamanda menjelaskan luka apa saja yang ditemukan pada tubuh putrinya. Semakin banyak ia mendengar, maka hati Mulyani hancur semakin dalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
DIAJENG
أدب المراهقينKisah ini tentang seorang perempuan berusia 18 tahun. Tentang ketidakadilan dunia padanya. Tentang kepedihan hidupnya. Tentang semua lukanya. _____ Apakah hidup setelah mati itu ada? Apakah mati itu terasa indah? Jika iya, maka biarkan aku meni...