Sudah tanggal lima lagi.
Kehidupan terasa begitu cepat berjalan, menemui beban baru dari Rabu ke Rabu. Sisa dalam saku tinggal lima ratus ribu. Seiring bertambahnya tahun, nilai rupiah menjadi turun. Kalau dulu, mungkin waktu SMA, lima ratus ribu bisa untuk membeli segalanya, tujuh tahun kemudian, aku hanya bisa membeli bingung di antara dua pilihan yang sulit.
"Aa kumaha damang?" (A, bagaimana kabarnya?)
Itu suara ibu. Membangunkan subuhku yang sudah berlalu tiga jam yang lalu. Seketika aku terperanjat, kukira dering itu dari Haksa. Oleh karena hanya gadis itu yang biasanya lancang menghubungi pagi-pagi.
Aku bergegas mengubah posisi tubuhku, duduk tegak di atas kasur untuk menghasilkan suara agar tidak terdengar seperti baru bangun tidur.
"Alhamdulillah Ibu, aa sehat di sini. Ibu di sana bagaimana?"
Setelah bicara lumayan lama tentang keadaan di desa, Ibu langsung menuju ke intinya.
"Ibu mau ziarah ke Cirebon, rombongan sama Ibu-Ibu pengajian di sini."
"Berapa biayanya, Bu?"
"Satu juta dua ratus ribu."
Aku tercengang sesaat
"Sudah dibayar?"
"Sudah."
"Memang ibu ada uang?"
"Dikasih A Bagas."
A Bagas yang dimaksud ibu adalah kakakku satu-satunya. Dia memang sudah berhasil menjadi seorang ASN dan punya bisnis sablon baju. Tak heran uang segitu pasti bukan apa-apa baginya. Dari dulu dia memang kesayangan semuanya. A Bagas punya nilai akademik yang bagus, berbeda denganku. Dia sering menjadi juara, baik juara kelas maupun juara olimpiade. Kehidupannya sempurna, seingatku, dia nggak pernah memiliki moment tidak punya uang dalam hidup. Dia hidup di masa kejayaan almarhum bapak masih ada. Waktu kami masih punya banyak mobil, saat itu A Bagas sedang kuliah. Dia bahkan bisa masuk kampus negeri, selain karena memang dirinya cerdas, juga didukung oleh finansial keluarga yang mumpuni. Saat itu aku masih SMP di sebuah pondok pesantren dan jarang ada di rumah. Di saat A Bagas dibelikan handphone model terbaru, aku justru harus menahan iri karena di pesantren nggak boleh bawa hp. Di saat A Bagas pamer kehidupan kampusnya yang keren, aku hanya memandang sebal sambil berharap kelak diriku akan begitu juga. Aku iri A Bagas bisa bermegah megahan di mall, sedang diriku terpenjara di dalam pondok. Kami tidak selayaknya saudara kandung pada umumnya, kami enggak begitu dekat, juga dingin satu sama lain. Berawal dari canggung yang berubah menjadi iri dan perasaan insecure. Semua kesempurnaan hidup berpusat dalam diri A Bagas. Bahkan sebelum lulus, dia sudah ditawari pekerjaan bagus di Kantor Pemerintahan Daerah. Ibu bangga sekali waktu mendengar kabar itu, apalagi bapak. Di hari pertama kerja, bapak menghadiahi A Bagas sebuah mobil. Apa yang menjadi kebutuhannya, betul-betul bapak penuhi.
Lain dengan diriku, di saat baru saja lulus SMA, bapak pergi meninggalkan kami semua. Bapak sakit paru-paru, dan aku nggak pernah tahu. Iya. Cuma aku yang nggak tahu apa-apa di rumah itu. A Bagas yang dibangga banggakan bahkan tidak datang di hari pemakaman bapak, sibuk mengurus regulasi yang bagiku cuma akal-akalan dia saja.
Aku mengamuk kala itu. Apa karena aku masih kecil dan nggak punya kekuatan apa-apa, sampai tidak pernah diberi izin untuk tahu selama ini bapak sakit. Perlahan harta kami satu per satu mulai menyusut. Aku bahkan terpaksa menunda kuliah satu tahun, karena harus membantu ibu mengurus kebun. Sementara A Bagas di kota, dan jarang pulang. Belum kering tanah makam, dia bahkan egois bicara minta izin ingin menikah. Memang sinting!
Maksudku, tunggu dulu. Kami masih berkabung. Jangankan untuk menggelar pesta, untuk bisa makan dengan lahap saja rasanya butuh waktu untuk menyesuaikan keadaan. Padahal bapak secinta itu pada A Bagas, namun sebaliknya, A Bagas seperti tidak terpengaruh sama sekali atas kepergian bapak. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fluktuasi
Teen FictionDia mencuri sisi puitis dari bibirku. Menukarnya dengan air liur dan penyesalan seumur hidup.