Aku melewati K.H. Sanusi siang tadi, melanjutkan perjalanan bersama judul yang ia senangi selama ini. Dulu ia di belakang, ramai bersenandung dengan nada sumbang, terngiang-ngiang, sampai sekarang. Kini cuma pakaian kotor yang bisa kugendong untuk mengisi tempatnya yang kosong.
"Sa, saya pulang!" seruku berteriak riang usai melewati gapura perbatasan kabupaten kota.
Proyektor masa lalu menyala di kepala. Tentang Haksara dan hal-hal yang kiranya empat tahun telah bersama kami. Meski gemetar, kuajak ia berkenalan, dibantu Bu Tini sebagai saksi betapa menyenangkannya kehidupan kami di masa itu.
"Penghuni baru, Bu?" baru selesai mandi, kugantung handuk basah di depan kamar.
"Salam kenal!" Haksara tersenyum canggung ke arahku. Kubalas itu dengan anggukan malu.
"Anak sini mah baik-baik da, Neng. Kalau mau minta tolong sok aja jangan malu-malu, ya." dengan sentuhan hangat penuh kelembutan Bu Tini mengantar Haksa menuju pintu kamarnya dengan selamat.
Bersekat kolam Ikan di tengah sebagai pemisah lorong perempuan dan laki-laki, kuamati kemana tas besar itu dijinjing. Rupanya ia menempati kamar yang sempat dihuni Meisya dulu, saudaraku yang pernah kuliah Kebidanan. Sekarang sudah lulus dan pindah jauh.
Gadis itu masuk, mungkin langsung berbenah. Setelah pintu ditutup, tidak ada aktivitas apa-apa lagi yang bisa kulihat dari kamar itu. Sampai pada suatu sore yang gerimis, ia melihat sekeliling. Tak ada yang bisa ditemuinya selain sunyi dan riang Ikan di dalam kolam.
Kuamati kebingungan itu dari jendela kamar. Haksa menyusuri lorong, lalu berputar lagi ke arah kamarnya. Berulang kali. Seperti minta ditolong, kuhampiri sendu matanya.
"Cari apa, Mbak?" kurasakan getir suaraku menyapa pertama kali.
"Anu.. Mas, password Wifi nya apa ya? Saya lagi pesen makan terus pulsanya abis. Takut Driver nya nelfonin. Mau tanya Ibu tapi kayaknya lagi pergi."
Ternyata itu maksud panik pemilik kamar nomor 03 ini.
"Oh password Wifi ya. Passwordnya es nya besar a nya besar ye nya kecil a nya kecil ge nya besar k nya kecil te nya besar a nya pake angka 4 u nya besar."
Dia mengikuti instruksiku.
"Kok salah ya," gumamnya.
"Saya ketik langsung di hp-mu aja boleh?"
Dia mengangguk setuju.
Setelah berhasil, senyum kecil tergambar jelas di sudut bibirnya.
"Bisa Mas! Makasih ya. Makasih banyak."
"Lain kali, kalau ada yang perlu dibantu, Mbak bisa ketuk kamar saya aja. Di sana! Yang pojok!" aku menunjuk kamar di lorong pria bernomor 01.
Dia cuma senyum, setelahnya kembali masuk ke dalam kamar. Pun dengan aku, kembali meringkuk di atas kasur yang menyatu langsung dengan lantai.
Hari Minggu yang nggak tahu harus kemana. Semakin dewasa, waktu untuk berkencan dengan diri sendiri rasanya mengambil banyak tempat untuk dijadikan prioritas. Atau mungkin cuma hidupku saja yang begini.
Satu pesan dari Guntur masuk
"Hayu futsal engke peuting!"
Sebuah ajakan bermain futsal nanti malam kubalas dengan Insya Allah.
"Kalau nggak Hujan." aku menambahkan.
"Di jero gor ieuh atuh hujan ge." Guntur memaksa, katanya futsalnya di dalam gor, hujan pun nggak masalah.
Tak kubalas lagi. Semakin membenamkan diri ke dalam peristiwa-peristiwa lalu yang tidak jelas apa itu.
Kalau nggak salah mungkin pukul lima sore saat itu, saat gerimis meniupkan kantuk melalui ventilasi kamar. Saat hampir saja aku terlelap namun satu suara di balik pintu membuat jantungku meledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fluktuasi
Roman pour AdolescentsDia mencuri sisi puitis dari bibirku. Menukarnya dengan air liur dan penyesalan seumur hidup.