Tidur dengan Rosy

20 1 3
                                    

Kok tiba-tiba DM saya?" tanyaku, waktu kami bertemu di lobby.

"Nggak tahu, nih. Tiba-tiba keinget aja. Emang nggak boleh ya?"

"Boleh dong." sahutku penuh senyum.

Sambil menunggu dia melakukan transaksi, aku mematikan ponsel terlebih dahulu. Malam ini, nggak boleh ada yang ganggu. Aku mau bersenang senang.

"Kamu sama siapa sekarang?" kami berjalan menuju tangga lantai dua.

"Jomblo." jawabku.

Gadis itu tersenyum kecil.

"Abis putus dari aku emang nggak sama siapa-siapa lagi?"

Aku menggeleng.

"Ih kenapa?"

"Masih kebayang bayang sama kamu aja."

Ruangan 3x4 dilengkapi TV, AC, dan Toilet di dalamnya. Cukup nyaman untuk dihuni dua orang. Mungkin harganya lumayan mahal, aku nggak tahu, sebab bukan aku yang bayar.

"Aku ganti baju dulu, ya." gadis itu tersenyum lama, tentu saja aku mengerti apa maksudnya.

Itulah harinya. Hari dimana kisah silam yang pernah kutinggal menemukan titik pulang yang menggairahkan. Rosy namanya. Seorang yang kukenal jauh sebelum Haksa datang.

"Kamu nggak kangen sama aku?" Rosy menyapu halus pangkal lenganku dengan sentuhan yang membuat seisi ruangan ini berubah menjadi dingin.

"Kangen kok." kujawab tak kalah mesra.

Malam itu berlanjut hingga pagi. Aku baru sadar apa yang sedang terjadi saat Rosy terburu buru memakai Jeans nya pagi-pagi. Dia bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan manufaktur di daerah kami. Dia nggak pernah perhitungan, apa yang aku mau, akan selalu diusahakan untuk dia beli.

"Harus pergi sekarang, ya?" kutahan laju tangannya.

"Aku, kan, harus kerja." sebelum betulan pergi, Rosy menyempatkan diri memeluku sekali lagi.

Harum tubuhnya berlabuh tanpa perantara, menambah laju gairah pagi hari yang kurasa kalian pun paham bagaimana rasanya. Hangat suhunya bergesekan langsung dengan bidang dada tanpa busana, mengalirkan debar dalam nadi hingga kepala. Berdenyut hebat, mencuat hingga ke permukaan. Lirih manja berdesis tepat di telinga, jarinya yang lentik bermain main di atas pusaka. Gila! Gadis ini punya segudang sensasi yang nggak bisa habis dalam satu malam. Ah, aku tidak akan membiarkan permainan ini selesai hanya lewat oral. Kami harus menuntaskannya tanpa sisa, sampai kopong.

Aku menguliti butang Trisetnya tak bersisa, helai terakhir di dinding bahunya memacu adrenalin sampai ke langit. Dia bergerak mencari genggaman, tak kuasa menahan basah di sepanjang lajur Vertebratanya yang jenjang. Kiri tangannya mengalung di leherku, sedang yang kanan, memompa tenaga lewat remasan seprai. Tak perlu kuminta, dia membuka kaitan di punggungnya sendiri. Menuntut telapak berpijak pada jaringan lemak yang kini mengeras di seluruh kelenjarnya. Kami sama-sama terpejam dalam gairah masing-masing. Tulang-tulang di tubuhku rasanya remuk dimakan ngilu. Aku menyesapnya kuat-kuat, dia meringis tanpa penolakan. Bongkahan yang lain tak kubiarkan menyepi, bergantian dihujani liur dengan suara Rosy sebagai pusat birahi.

"Kamu bolos kerja, nggak apa-apa?" meski terengah engah dihujani desah, jiwaku kini ikutan resah. Nggak mau bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu di pekerjaannya.

"Buat kamu, apa sih yang enggak?"

Dia makin membuatku bersemangat.
Semakin terhanyut dalam lautan napsu sesaat, yang pada empat tahun kemudian aku menyesalinya hingga kini. Dia mencuri sisi putis dari bibirku, menukarnya dengan air liur dan penyesalan seumur hidup.

"Kangen banget saya sama kamu. Udah lama banget."

Dia melepas lumatan, mendongakkan kepala ke arahku.

"Lebih jago aku atau Haksa?"

Tak kujawab.

Mencari cari bibirnya lagi, berkali kali Rosy menepis.

"Ih, jawab dulu!"

"Apa sayaaaaanghhh???" sumpah mati aku tak konsentrasi.

"Lebih jago siapa?"

"Kamu!"

"Haksa gimana?"

"Nggak tahu!"

"Kok nggak tahu?"

"Saya nggak pernah main sama dia."

"Masa, sih?"

"Kuno dia, mah. Mana mau beginian."

Senyum Rosy terbingkai indah dalam balutan dingin tanpa kain. Sebetulnya tentu saja lebih cantik Haksa dibanding dia, pada Haksa aku lebih ingin, tapi pada Rosy aku lebih butuh.

Ah, persetan dengan semuanya. Cinta, kesetiaan, kini semua hanya tinggal omong kosong. Aku bahkan udah nggak ada harga dirinya lagi di hadapan Haksa. Sudah telanjur buruk di matanya. Jadi sudah, biar saja. Biar Haksa bicara apa tentangku, aku tahu dia nggak akan pernah berani meninggalkan. Lagi pula si Haksa ini cuma bisa bikin pusing saja, nggak pernah ngasih kesenangan secara sukarela seperti Rosy.

"Gibraaaaaaaannnnnn..." bersamaan dengan teriakan Rosy dan cengkramannya yang menguat di rambutku, itulah akhir dari kekalahannya. Dia terduduk lemas dalam pangkuan. Sekian detik berlalu, tubuhnya bergerak lagi.

"Gantian ya, sekarang kamu di atas," ucapnya.

FluktuasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang