"Oke kalau itu pilihan kamu. Mulai sekarang kamu jadi pacar saya."
"Apa, pacar?!" Angga refleks menjerit saking terkejut oleh keputusan Mahen. "Gak salah denger 'kan saya?" lanjutnya masih dalam keterkejutan tak berujung.
"Kamu gak salah dengar. Saya meminta kamu menjadi pacar saya sekitar sampai dua minggu paling cepat."
"Haa, dua minggu? Bentar-bentar, saya masih belum ngerti. Maksud pak Mahen ngajak saya pacaran cuma sampai dua minggu itu tujuannya buat apa?" tanya Angga. Dia benar-benar dibuat bingung oleh perilaku aneh sang dosen yang tiba-tiba mengajaknya berpacaran.
"Kamu gak perlu tahu. Intinya, mulai hari ini kamu adalah pacar saya. Tolong, bersikaplah seolah-olah kita beneran sepasang kekasih. Tapi saat di area kampus, berperilaku sebagai dosen dan mahasiswa biasa. Kamu mengerti 'kan, Anggara Tri Adhinatha?"
"Em, i-iya Pak, saya mengerti."
"Bagus. Jangan ulangi kesalahan yang semalam," pesan Mahen.
"Iya Pak."
"Dan satu lagi, kalau kita sedang berdua, jangan panggil saya 'Pak'. Panggil apa aja yang menurut kamu nyaman."
"Tapi saya udah nyaman manggil Pak Mahen dengan sebutan 'Pak'," ujar Angga disertai cengiran yang terkesan cukup canggung.
"Usahakan panggil yang lain," balas Mahen. Kini dirinya menyibukkan diri dengan layar laptop berisikan data-data nilai anak didiknya.
"Kalau 'kak'?"
"Saya bukan kakak kamu."
"Hmm, kalau 'master'?"
"Tidak."
"Lovely, beloved, dear, honey, sayang?"
"Sangat berlebihan."
Angga memanyunkan bibirnya kesal. Kedua alisnya menyatu bersamaan keningnya mengerut. Jika semua nama panggilan tak disukai oleh Mahen, lantas panggilan apa yang diinginkan dosen menyebalkan itu?
"Terus apa?" tanya Angga meminta bantuan. Sekiranya dosen itu mau membantunya mungkin.
"Pikirkan sendiri," balasnya acuh tak acuh.
Angga diam membeku. Lihat, dosen Bahasa Inggris itu kembali bersikap menjengkelkan.
"Bubu?"
"Seperti anak kecil."
"Terus apaan dong? Nama panggilan yang saya tahu juga itu doang, kalo Pak Mahen gak mau semua, pengennya yang kayak gimana?" tanyanya setengah menahan kekesalan menghadapi dosen seperti Mahen.
Dosen muda itu melirik Angga yang menatapnya garang. Dia mendecih lalu mengembalikan pandangan menatap layar laptop di depannya. Sontak hal itu berhasil membuat Angga semakin dibuat kesal, remaja itu sedari tadi sudah menyumpahi Mahen di dalam hatinya.
"Nama panggilan untuk anak perempuan terhadap kakak laki-lakinya."
Kerutan di dahi Angga semakin terlihat jelas. Dia memandang Mahen sambil memikirkan maksud perkataan lelaki itu barusan.
"Kakak?"
"Saya sudah bilang, saya bukan kakak kamu."
"Abang?"
"Saya tidak lagi sedang berjualan."
Asli, nih orang makin ngadi-ngadi! Dosa gak sih nimpuk dosen sendiri pake batu?
"Terus apaan? jangan bikin kesel napa sih, Pak!"
"Pikirkan sendiri."
Angga memelototkan kedua matanya. Sesantai itukah jawaban Mahen? Apakah dosen itu memang sengaja ingin membuatnya emosi?
Sampai satu kata terlintas di benak Angga. Tapi dia tampak ragu dan takut salah lagi yang berakhir membuatnya sungguhan ingin mengambil banyak kerikil lalu melemparkannya kepada Mahen.
"Mas?"
Terlihat dosen itu melirik Angga sambil tersenyum tipis. "Hm," balasnya berdehem.
Kenapa gak bilang dari tadi sih dodol! gak usah sampai berbelit-belit kalo cuma pengen dipanggil Mas doang! Sabar Anggara Tri Adhinatha, sabaaar!
"Kembali ke kelasmu."
Angga membalasnya dengan deheman kelewat singkat. Dia beranjak dari tempat duduk lalu melegang tanpa berucap apa-apa kepada Mahen yang memandangnya geli. Dosen itu hanya bisa terkekeh renyah menyaksikan kekesalan Angga. Mahen jelas tidak bodoh untuk tidak menyadari, karena dari awal Mahen memang sengaja.
...
"Habis dari mana sih ini uke satu, kok mukanya ditekuk gitu? Jelek banget tau gak?" Natan bertanya saat melihat kedatangan Angga dengan wajah memberengut.
Angga mendudukkan diri di tempat duduknya. Dia langsung melempar Natan menggunakan buku paket yang super tebal dan sukses mengenai wajah tampan laki-laki di depannya.
"Jangan makin bikin mood gue jelek ya! Lo tuh yang jelek!"
Natan meringis mengusap-usap hidung mancungnya yang terkena sambitan maut dari Angga. "Iya-iya maaf. Uke selalu benar, seme selalu salah."
"Gue bukan uke, goblok!" Angga bersiap menimpuk Natan menggunakan bukunya yang tersisa. Natan sudah berancang-ancang melindungi dirinya dari timpukan Angga, namun sebelum Angga sungguh-sungguh melayangkan buku itu, seseorang datang dan langsung menahan tangan Angga.
"Eh, eh, apa nih kok mainnya lempar-lemparan buku? Buku itu seharusnya dibaca, bukan dijadiin sebagai senjata."
Angga kembali memberengut menatap seseorang yang masih menahan tangannya. Orang itu tak lain tak bukan adalah Raihan, kekasih Natan dan juga Haikal. Salah satu temannya yang paling dewasa kalau menurut Angga, walaupun terkadang Raihan juga bisa bersikap absurd.
"Kenapa sih? Bayi besarnya aku kenapa?" tanya Raihan. Dia beralih menangkup kedua pipi Angga lalu ditekan sampai membuat bibir Angga manyun dibuatnya.
"Kesel sama Pak Mahen," adunya dengan suara melirih. Hal itu membuat Raihan yang sedang menahan gemas semakin dibuat tak karuan oleh perilaku manis Angga.
"Kesel kenapa, sih? Apa yang dilakuin sama Pak Mahen sampai bikin bayinya aku marah begini, hmm?"
"Tau ah, males. Pokoknya sebel sama Mahen!"
Raihan memekik gemas. Siapa yang bisa tahan oleh keimutan Angga saat sedang merajuk? Anak itu begitu pandai membuat Raihan menjerit-jerit sebab tak kuasa menahan diri oleh perilaku lucu sang teman.
Natan yang menyaksikan langsung mencibir. Dia hanya tak habis pikir, Angga seringkali menampik jika dirinya bukan pihak bawah, tapi perilakunya sungguh membuat siapa saja langsung bisa beranggapan jikalau Angga itu seorang submisif.
Lagipula, menurut Natan, dirinya yang seorang pihak atas tak pernah bersikap demikian jika sedang merajuk? Bahkan sikap seperti inilah yang kadangkala diperlihatkan Raihan saat keinginannya tidak terpenuhi.
"Uke ketutup gengsi, fiks."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Mahen
FanfictionSemua bermula ketika Angga yang tidak sengaja mengirimkan link video porno kepada dosen Bahasa Inggrisnya yang bernama Mahen. [End]