Chapter 25

10.3K 702 47
                                    

Angga menerobos masuk ke dalam restoran. Tak memedulikan panggilan ataupun larangan satpam yang berjaga di luar, lantaran hanya tamu yang memiliki kartu undangan resmi saja yang diperbolekan untuk masuk ke dalam. Angga menghampiri meja Mahen yang posisinya pria muda itu membenamkan wajahnya pada lipatan tangan kirinya. Mahen tampaknya sudah sangat mabuk.

Baru ketika hendak merangkul Mahen guna dibawanya pergi dari tempat ini, sebuah tangan tiba-tiba menghentikan niatnya. Angga menatap sengit gerangan yang mengambil alih tubuh Mahen.

"Mohon maaf, anda siapa? Mengapa anda masuk sesuka hati anda? Tidak melihatkah di sini sedang ada perayaan? Pesta ini hanya diperuntukkan untuk para kenalan yang punya pesta, bocah ingusan seperti anda sebaiknya menyingkir!"

Angga mendecih sinis. Ia mentertawakan perkataan sosok pemuda berpakaian formal itu dengan suara renyah. "Jelas saya sangat tahu kalau suasana di sini sedang berpesta. Tapi saya datang tidak ingin mengacau, akan tetapi ke sini karena saya punya urusan sama dia." Angga menunjuk Mahen yang berada di rangkulan sosok pemuda berjas hitam tersebut.

"Jangan main-main! Jika memang kamu punya urusan dengan Mahen, memangnya urusan apa yang membawa kamu datang ke mari?"

"Dih, kepo banget kayak Dora!" cibir Angga.

"Lebih baik kamu pergi. Bocah ingusan kayak kamu pasti kebanyakan minum sampai berani-beraninya datang ke sini."

"Hohoh ... Bocah ingusan? Gak sadar? Situ lebih pendek minimal jangan sok keras deh. Mentang-mentang lo lebih tua dari gue tapi sok bersikap senioritas, huh? Balikin calon suami gue, sekarang!"

Pemuda itu mentertawakan perkataan Angga dengan keras. "Mimpi kamu, Dek. Tipe Mahen bukan bocil kayak kamu begini. Kayaknya kamu emang mabuk, lebih baik pergi sana. Tidur yang nyenyak, biar cepet bangun dan gak terlalu berharap."

"Si anjir ...," umpat Angga mulai jengkel. "Lo tuh kayak anjing, ya?" ejeknya diselingi seringaian tengil.

"Nggak heran sih kualitas manusia zaman sekarang sangat rendah, ternyata memang tidak pernah diajari sopan santun sama orang tuanya. Nggak heran juga sih orang tua zaman sekarang justru membiarkan anak songong kayak kamu jadi bajingan tengik begini. Sayang sekali, masa depanmu masih panjang, tapi berperilaku kayak begini hanya akan buat kamu langsung didepak tiap ngelamar pekerjaan."

Angga tertawa culas. "Nggak heran juga sih orang dewasa kayak situ bisanya melakukan diskriminasi mentang-mentang situ senior. Nggak heran juga kalau situ sebenernya takut kalah saing ama junior, 'kan, heh?"

Sosok berjas tersebut menatap Angga dengan diselimuti amarah yang meletup-letup. Wajahnya memerah padam menahan emosi yang ingin segera dikeluarkan. Tak berniat membalas kalimat pedas Angga, pemuda itu meninggalkan Mahen bersama Angga begitu saja.

Angga mendengus malas. Ditatapnya sang tunangan seraya berkacak pinggang. Layaknya seorang istri yang memergoki suaminya pulang larut malam, Angga langsung menyeret Mahen keluar dari restoran.

"Anggara? Apa yang kamu lakukan di sini, katanya mau skripsian?" tanya Mahen sedikit meracau. Pria muda itu sudah sangat mabuk. Bahkan tidak bisa berdiri tegap dengan benar.

"Niatnya dari awal emang begitu, tapi lihat ada kerumunan hama, aku gak bakal ngebiarin mereka ganggu apalagi sampai nyentuh-nyentuh mas Mahen. Mas juga, ngapain sih minum-minum segala, hah?!"

Mahen tersenyum di tengah-tengah dirinya tidak kuat untuk sekadar membuka mata. "Kamu khawatir sama saya?"

"Nggak!"

Mahen terkekeh ringan. Dengan langkah berat sempoyongan, mendekati sang tunangan lalu memojokkannya ke dinding di belakang Angga sembari menahan bahu yang lebih muda. Sorotnya beradu pandang dengan manik cantik milik Angga yang membuatnya selalu terpesona oleh keindahan sosok Anggara.

Pak MahenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang