Part 8 : Pukulan

358 60 12
                                    

Entah sudah berapa kali jam pasir bergaya kuno, dengan bentuk menyerupai angka delapan itu telah bergantian memenuhi tabung bagian bawah.

Setiap selang waktu satu jam yang telah berlalu, mengharuskan tangan pemuda dengan kaos berwarna putih susu yang melekat apik di tubuhnya itu membalikkan posisi dari jam pasir yang terletak di atas meja belajar.

Terus begitu, tanpa memikirkan bahwa si pemuda ini telah memakan waktu sekitar dua jam tanpa melakukan sesuatu yang lebih berarti. Rasanya ingin mulai mengerjakan tugas ilmiahnya saja dia malas, otaknya seakan buntu.

Kali ini yang ada dipikirannya masihlah siswa seangkatannya yang berada di kelas studi sosial. Hatinya dongkol, sedikit kecewa karena selama ini rasa bersalah yang dia rasakan itu seperti membuang waktu saja, mungkin juga bukan masalah yang akan dianggap serius si Watanabe.

Jeongwoo pikir, rasa bersalahnya selama enam hari awal masa hukuman Haruto itu adalah alasan mengapa Haruto bersikap enggan melihatnya. Tapi, sepertinya tidak begitu. Mungkin memang Haruto saja yang dari sananya  memiliki sifat buruk sehingga dia tidak mau berbicara pada Jeongwoo. Bahkan, kemungkinan terbesarnya, si Watanabe tidak pernah memikirkan sama sekali siapa itu Jeongwoo. 

Serius.

Jeongwoo merasa diabaikan.

Sebenarnya semua kesan buruk yang dimiliki Haruto itu hanyalah anggapan dan prediksi sementara dari Jeongwoo. Namun, anggapan sebelah mata itu agaknya telah mempengaruhi kesan Haruto di mata Jeongwoo sepenuhnya. 

Perasaan dongkol yang dimiliki pemuda Park itu memang memiliki alasan. Sejak lima hari yang lalu, tepat saat Jeongwoo ingin berbicara kepada Haruto untuk meluruskan perkataannya di awal pertemuan mereka dan juga menyelipkan maksud untuk meminta maaf kepada Haruto, tetapi Jeongwoo tidak menemukan Haruto memenuhi pertemuan di pagi hari maupun sore hari. Lebih tepatnya, Jeongwoo tidak menemukan eksistensi Haruto dalam menjalankan hukumannya.

Jeongwoo akhirnya berdiri dari kegiatan duduk dan melamun. Dia berjalan ke arah tempat tidur, netra tajam itu berfokus pada ponsel hitam hasil dari kejuaraannya tahun lalu. Tangannya mengetikkan sesuatu di salah satu room chat yang dia buka. 

Memperhatikan deretan angka yang ditampilkan pada ponsel hitam yang dia genggam.

Jeongwoo menghela nafas tidak tau untuk yang keberapa kali dalam sehari ini. Dia rasanya sangat bimbang, haruskah dia menanyakan alasan mengapa si Aries tidak pernah mengikuti hukumannya lagi atau dia harus diam saja?

Jeongwoo terlalu takut untuk mengambil tindakan. Baginya, Haruto itu mirip dengan makanan mentah yang telah diawetkan dalam freezer, dingin dan kaku. Dia terlalu takut kalau saja dia hubungi deretan angka yang diberikan oleh Rei, si adik tingkat, nantinya dirinya akan mendapatkan perlakuan lebih buruk dari si Watanabe.

Aneh.

Padahalkan, Jeongwoo juga bukan orang yang dekat dengan Haruto. Jadi seharusnya dia tidak harus peduli pada sikap yang nanti Haruto akan berikan padanya.

Harusnya saja sih.

Pemuda Park itu menyapu rambutnya secara acak, berulang kali matanya menyusuri setiap sudut ruang kamar hingga dirinya memutuskan untuk segera menghapus nomor itu, "Argh, aku tidak akan menghubungi dia. Siapa yang akan sudi untuk menyikapi tingkahnya setiap hari."

Akhirnya Jeongwoo memilih untuk menyerah. Dirinya tidak akan mau menurunkan ego hanya untuk bertanya kenapa si Watanabe tidak bisa datang, itu urusan Haruto dan bukan urusannya. Kalau Haruto memang menyepelekan hukuman itu, maka itu bukan persoalan yang harus Jeongwoo prioritaskan. Jeongwoo hanya bertugas mendata kehadiran dan mengawasi selama hukuman berlangsung kan? Si Park ini tidak perlu peduli juga kan?







Aphrodite or Athena || JEONGHARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang