"Please, Mbak. Nanti aku jemput lagi. Akhir pekan ini gantian aku jaga anak-anak, deh."
Citra merapikan luaran camisole yang sedikit merosot. Sore tadi Raga membawa huru-hara karena hilang dari rumah tanpa pamit. Citra sudah agak tenang mendengar kabar lanjutan dari Cakra yang bilang bahwa anaknya menyusul ke kantor. Namun, pukul setengah sembilan malam, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Cakra muncul membawa Raga di gendongan dan bermaksud menitipkannya pada Citra.
"Memang ada urusan apa lagi? Sudah malam, lho." Dengan penuh kewaspadaan, Citra menekan volume suara. "Cakra, bukannya Mbak nggak mau, tapi–"
"Mas Arya?" potong Cakra. Pria itu menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. "Sama sekali nggak bisa bantu, Mbak? Aku benar-benar kepepet. Teman aku butuh bantuan."
Citra jadi agak panik. "Teman kamu? Siapa? Kenapa?"
"Ada, Mbak. Kapan-kapan aku kenalin." Cakra berhenti bicara karena Raga sedikit menggeliat. Tidur bocah itu terganggu oleh percakapan Cakra dan Citra. "Boleh ya, Mbak?"
Rasa iba bertunas di hati Citra. Tanpa ragu lagi, wanita itu mengambil alih Raga dari Cakra. Perkara Arya akan marah padanya bisa dipikirkan nanti. Citra cakap membedakan kapan adiknya itu hanya mengada-ada atau sedang serius.
“Hati-hati, Cak!” Citra mengusap punggung Raga penuh kasih sayang. “Mbak nggak tahu kamu mau ngapain, tapi jangan lakukan hal-hal berbahaya. Ingat Raga.”
Cakra bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Bahaya atau tidak, itu di luar kuasanya. Cakra belum bisa menerka-nerka. Reaksi paling tepat yang bisa dia tunjukkan sekarang hanyalah diam. Kecupan ringan tertanam di belakang kepala Raga, sebelum Cakra pamit pergi.
Di dalam mobil, Ratna menunggu. Kegundahannya tak kasatmata. Kekhawatirannya berbeda dengan yang dirasakan Cakra. Seharusnya Ratna bisa mencegah semua ini. Kalau sore tadi dia mengabaikan keberadaan Raga, pasti Cakra jadi tak kerepotan.
“Maaf agak lama,” kata Cakra sambil kembali menutup pintu pengemudi. Dalam cahaya minimal, mata elangnya mengamati raut wajah tanpa ekspresi yang Ratna tampilkan. “Raga sudah aman sama kakakku. Sekarang kita bisa ke–”
“Cakra,” potong Ratna. Nada bicaranya tegas. “It’s just a mere message. Nothing threatening.”
Gaya tarik-menarik kuat terjadi di antara dua alis tebal Cakra. Gelengan keras kepala pria itu membalas pembelaan kosong Ratna. Cakra memiliki pendapat lain, yang tentu saja tidak selaras dengan ucapan wanita di kursi sebelah.
“Penanganan pertama pada kasus cyberstalking adalah pengabaian,” tambah Ratna.
“Ucapan dan tindakan kamu nggak sesuai, Ratna,” balas Cakra sambil menyalakan mesin mobil. “Bukannya kamu butuh bantuan Doni untuk mengurus masalah ini?”
Otot penggerak rahang Ratna seakan kejang. Kata-kata di ujung lidahnya tertelan kembali. Respons Cakra cukup mengejutkan, tetapi tidak terlalu mengherankan.
Ratna bisa menilai bahwa kepekaan Cakra pada suatu hal yang tak beres melebihi kebanyakan orang. Dulu Cakra berhasil mengendus hal ganjil dalam perkara perceraian Ratna. Bukan sesuatu yang susah bagi Cakra untuk menebak-nebak. Pasalnya, masalah Ratna seperti ikan mas di kolam jernih nan dangkal. Dengan kata lain, masalahnya mudah terlihat.
Lagi pula, setelah menyaksikan sendiri pesan sejenis apa yang masuk ke ponsel Ratna, Cakra pasti bisa menebak alasan dibalik Ratna memilih Doni sebagai kuasa hukumnya. Ratna hanya menyayangkan satu hal. Pada kasus kali ini, Cakra terlalu emosional.
“Aku tahu bukan dari Doni,” lanjut Cakra ketika Ratna tak kunjung bicara. “Awalnya masih berupa dugaan. Tapi, kalau kamu diam terus, aku anggap jawabannya ‘iya’. Kamu menggunakan jasa Doni karena pesan penguntit itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Law of Devotion
Romance[PEMENANG JUARA 1 GMG BRANDING 2023] Apa pentingnya pernikahan? Cakra tak habis pikir kenapa keluarganya sangat bersemangat ingin mengenal Ratna. Hanya karena Cakra memberi tumpangan menginap satu malam pada wanita itu, mereka begitu heboh mengira...