Sedikit lagi, kini keduanya hanya perlu keluar dari hutan ini dan menyerahkan sampel penawar virus zombie yang berhasil mereka rebut dari Stratford Corp. Hanya saja, Yujin tampak tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Gadis yang memucat itu menghentikan langkahnya dan menyandarkan tubuhnya pada pohon besar. Perban yang menutup luka di pinggangnya benar-benar berubah merah tanpa ada putih yang tersisa. Membuat Minju menahan tangisnya. Pasalnya, tidak ada alat bedah yang sempat mereka dapatkan dari rumah sakit sebelumnya. Karena benda itu ada bersama Kazuha yang entah berada di mana. Minju kehabisan akal, tidak mungkin 'kan ia nekat membedah dan mengambil peluru yang bersarang cukup dalam di tubuh Yujin itu dengan apa saja yang bisa dia gunakan? Ditambah tidak adanya anestesi. Tingkat terjadinya infeksi pasti akan lebih tinggi. Lagipula ia tidak pernah belajar tentang bedah-membedah. Bagaimana jika ia malah berakhir membunuh Yujin?
"Kak," panggil Yujin pelan. Namun, Minju tak menjawab. Tangannya fokus mengganti perban di pinggang Yujin dengan perban terakhir yang tersisa dari membalut luka Wonyoung sebelumnya. Ah, Wonyoung.. hati Minju kembali berdesir perih mengingat pengorbanan yang dilakukan oleh gadis itu saat mereka malah diserbu sekumpulan zombie milik tetua Stratford ketika berhasil keluar melalui stasiun kereta bawah tanah.
Minju yakin, pasti shelternya ada setelah mereka berhasil menemukan akhir dari hutan ini. Namun, apakah Yujin bisa bertahan selama beberapa hari lagi dengan luka yang terus mengeluarkan darah itu? Mengingat mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Beruntung hutan ini sangat jauh dari jangkauan manusia karena berada di pegunungan pelosok provinsi, sehingga zombie yang ada pun bisa dihitung dengan tangan.
"Kak Minju." Yujin menangkup kedua pipi Minju agar mendengarkannya. Tatapan mereka berjumpa. Kedua jempol Yujin menghapus derai air yang sepertinya tidak memiliki niat untuk berhenti mengalir dari kedua mata indah milik Minju. "Kakak ke shelternya duluan aja ya?"
Tangis Minju semakin sesak. Yujin bodoh. Yujin lemah. Minju benci Yujin. Ia menggeleng kuat; menolak permintaan gadis yang ada di hadapannya sampai--
Yujin menariknya ke dalam dekapan. Mengelus punggungnya. Berharap tangisannya dapat berhenti, tetapi tangisan Minju malah kian menjadi.
"Aku bakal.. nunggu Kak.. Eunseo.. sama Kak.. Bona.. di.. sini," ujar Yujin yang entah mengapa terdengar lebih pelan oleh Minju. "Nanti.. aku.. nyusul kakak.. ya? Oke kak?"
"Nggak mau. Aku nggak bakal ninggalin kamu di sini, Yujin." Minju melepas rengkuhannya dan berjongkok membelakangi Yujin. "Naik, aku bisa gendong kamu ke shelter, kita pasti bisa sampai di sana.. Ah, atau mungkin ada klinik supaya aku bisa obatin luka kamu."
Yujin tersenyum tipis. Dasar Minju. Kenapa keras kepala banget sih?
Akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan dengan Yujin yang berada di punggung Minju. Sesungguhnya agak sulit membawa orang yang lebih tinggi di punggungnya, tapi tidak ada jalan lain. Yujin sudah cukup kehilangan banyak darah, ia tau itu. Embusan napasnya terasa hangat, tapi pendek di pundak Minju. Minju terus menepis semua skenario buruk yang menerpa pikirannya. Yujin nggak selemah itu. Dirinya pasti bisa mendapatkan pertolongan untuk Yujin di shelter nanti. Ya. Pasti Yujin akan baik-baik saja.
"Kita pasti bisa bawa sampel ini ke shelter dan kamu bakalan baik-baik aja Yujin."
Hening. Tidak ada jawaban.
Air mata Minju terus berjatuhan di saat ia merasakan napas Yujin yang mulai tersengal.
"Kamu percaya sama aku kan Yujin?" Tanya Minju dengan suara bergetar. "Tolong jangan tinggalin aku juga."
Iya Kak Minju.. Tapi.. kenapa mata Yujin susah sekali untuk dibuka? Rasanya sangat berat.
"Kak... Yujin ngan..tuk.. banget ...."
Minju menggigit bibirnya menahan isakan yang rasanya seolah memaksanya untuk menjerit. Meraung untuk mengobati luka di hatinya.
"Yujin.. jangan tidur sekarang, nanti kalau ada zombie ... gimana?"
"..."
"Kamu boleh tidur kalau kita udah berhasil bawa sampel ini dan ngobatin luka tembak kamu ya?".
"..."
Minju merasakan bagian punggungnya sangat basah.
Bukan.
Bukan air mata.
Merah.
Cairan merah dari tubuh Yujin yang tertembak membasahi rompi Minju. Tak sedikit pula yang tercecer sepanjang jejak kaki Minju tercipta.
Ctrakk
Pistol dalam genggaman Yujin yang longgar itu terjatuh bersamaan dengan tangan Yujin yang terkulai tak berdaya.
Minju menjatuhkan kedua lututnya yang melemas. Tangisnya pecah. Yujin tak lagi bernapas. Tubuh gadis itu terasa dingin. Sungguh. Minju bahkan tak berani untuk melihat kenyataan.
Sampai akhirnya ia menghela napasnya berat walau masih sesenggukan. Menurunkan tubuh Yujin ke atas rumput.
"Yujin..."
Kedua mata Yujin menutup rapat. Bibir gadis itu mulai membiru.
"Yujin.. jangan tidur di sini.. aku mohon."
"Yujin!" Panggil Minju sedikit keras. "Bangun.."
"Yujin.. aku nggak suka ya kamu tidur nggak tau waktu. Kita harus anter sampel ini secepatnya. Jangan bercanda kayak gini, nggak lucu tau.."
Minju mengguncang kedua lengan Yujin yang dingin dan mulai kaku itu kasar. Berharap Yujin terganggu dan menatapnya sebal.
Tapi kenapa? Kenapa Yujin tetap bergeming? Minju mendekap tubuh Yujin erat. Sakit. Rasanya seolah ia tak bisa bernapas. Sesak.
Yujin.. terima kasih untuk segalanya.
Fin.
Story by Arc
Diedit 16/08/22
Pertama ditulis dengan Chikara sebagai main cast.Kalau pernah baca, iya, itu dari akunku juga:)