BAB 4. HARI KE TIGA IBU KOTA

18 1 0
                                    

4. HARI KE TIGA IBU KOTA

“Tidak semua membutuhkan kalimatnya. Kadang, mata adalah pembicara paling baik yang tidak pernah bohong.”

---

Gelap dan dingin, gambaran tentang malam kedua di Ibu kota semenjak perempuan itu pindah dari Bandung.

Sebuah danau beserta rumput hijau yang luas tersaji begitu indahnya. Eliza tersenyum kecil, ia senang dapat melihat kembali pemandangan ini.

"El, di dalam sana ada apa aja, ya?"

"Yang pasti ada penghuni air," jawab Eliza kecil. "Ada ikan, kepiting, rumput danau, mungkin kerang juga ada."

Anak laki-laki itu tersenyum dengan mata yang terkunci pada Eliza di sampingnya. "Ciptaan Tuhan indah, ya?"

Eliza mengangguk. "Semua indah tanpa terkecuali."

"Termasuk ini?" balas Reigara sambil menyentuh hidung Eliza dengan jari telunjuknya.

Perempuan di balkon akhirnya tertawa kecil, sekilas memori kecil yang begitu indah untuk dikenang terlintas begitu saja.

Rindu. Ya, Eliza merindukan kejadian 10 tahun yang lalu dan berharap bisa mengulangnya kembali.

"Dia udah jadi milik orang lain, Tuhan," monolognya.

"Dunia yang dulu kita buat berdua udah hancur sekarang."

Waktu memang selalu mengejutkan manusia, mulai dari kejutan indah sampai yang terburuk pasti akan menemui pemiliknya. Dan yang menjadi kendalinya adalah pemilik semesta, yang selalu hadir untuk hambanya yang meminta.

Jika memutar waktu itu benar adanya, Eliza ingin memakainya. Mengulang lintas kenangan indah yang pernah dilewatinya bersama orang-orang tersayang.

"EL!!"

Sebuah suara lantang memasuki gendang telinga, lalu ia menoleh ke arah sumber suara, mengamati betul siapa di sana. Saat mata itu menajam, Eliza melihat Alvaro di sana, di pinggir danau itu dengan tangan melambai ke arahnya.

"AYO SINI!"

"LIHAT BINTANG!"

Ajakan itu tulus dari sang laki-laki. Mendengarnya Eliza bergegas masuk lalu menuruni tangga dan pergi ke danau samping rumahnya.

"Jaketnya mana?" tanya laki-laki itu melihat Eliza hanya memakai baju tidur. "Lo bisa sakit, El."

Lalu jaket yang Alvaro kenakan ia lepas dan memakaikannya di tubuh gadis itu. "Lupanya dikurangin, nanti kebiasaan," perintah Alvaro.

Mendengar hal tersebut, Eliza menyengir. "Hehe, maaf, gue buru-buru turun tadi," alibi gadis itu. "Lo sih bilang mau lihat bintang, kan gue jadi antusias sampai kelupaan."

Perihal bintang memang Eliza telah mengaguminya semenjak kecil, tepat diusia satu tahun saat Reigara mengajak ke danau ini.

"Ya udah gapapa, ayo sini duduk, kita lihat bintang sama-sama." Keduanya terduduk pada hamparan rumput hijau di danau luas itu.

Eliza yang sudah sangat takjub oleh ciptaan Tuhan itu hanya bisa mendongak, melihat banyaknya bintang di atas langit. Berbeda dengan Alvaro, laki-laki itu memilih memandangi ciptaan yang tak jauh indahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REIGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang