BONUS

2K 238 27
                                    

Sanji mendekatkan tubuhnya pada punggung Zoro. Hari ini niatnya mereka mau ke sebuah resor gunung, liat-liat monyet juga. Setelah dua pekan UAS diadakan, Sanji akhirnya bebas dari soal-soal dan tugas yang bikin semaput. Mentang-mentang si ijo dosen yang ngajar salah satu matkulnya, Sanji nggak lantas mendapatkan A cuma karena pacaran sama dia. Dia harus mendaki bukit sampe gunung demi dapetin nilai memuaskan, jadi bisa dibilang semua nilainya ya hasil kerja keras dia sendiri.

"Yang, pantat aku sakit," Sanji ngomong di sela motor melewati jalanan menikung. Angin menerpa tubuh mereka selagi Zoro tancap gas.

"Hah?"

"Pantat aku sakit!"

"Hah?!"

Emang dasarnya Zoro congek dari awal. Apalagi dibawa ngobrol di atas motor yang anginnya menghempas semua suara, ah sudahlah, mana bisa dia dengar.

"Ah udah deh! Kamu mah kupingnya belom dibersihin!" Sanji berteriak kesal. Tangannya memeluk erat pinggang yang lebih tua lalu menghembuskan napas malas.

Beberapa mobil nampak menghiasi jalanan menanjak sementara motor Zoro terus menyelip di antara kemacetan. Semakin naik lapisan udaranya pun semakin dingin. Sanji mendapati tangannya sudah menyusup di kantung jaket yang dikenakan Zoro. Zoro melepaskan tangan kirinya, menepuk pelan tangan Sanji yang tersembunyi di balik kantungnya.

Sebuah senyum kecil terukir di wajah si pirang.

Di antara kabut dan jalan yang naik turun, Sanji dapat melihat beberapa kios dan tempat makan yang buka di pinggir jalan. "Laper!" ia berseru, berharap Zoro berhenti.

Untungnya Zoro mendengar keinginan Sanji. Motornya berhenti di samping tempat lesehan yang lumayan sepi. Hanya ada dua keluarga di dalamnya. Zoro memarkirkan motornya kemudian melepas helm.

"Sate kambing mau?" tanya Zoro.

"Mauu!" Sanji mengikuti langkah si hijau masuk. Mereka segera duduk di atas alas biru dan memilih meja yang dekat dengan pemandangan tebing.

"Dua pak," Sanji dengar Zoro memesan. Ia menopang dagu, menatap si hijau yang duduk di depannya dengan ponsel di tangan.

"Gaada sinyal ya?" tanya Sanji.

Zoro menghela napas dan mengangguk. Mereka melihat lereng yang dilapisi kabut tebal. Sanji hanya bisa melihat samar dedaunan dan batang pohon. Ia menolehkan kepalanya ke samping, berganti melihat jalanan yang ramai. Sebuah mobil nampak berhenti di tengah jalan menanjak.

"Eh, itu kenapa?"

Zoro melihat tempat yang ditunjuk Sanji. Beberapa pengendara tampak menunggu mobil itu berjalan. Tapi dapat Sanji lihat mobil putih yang berada di tanjakan mendadak mundur.

"Dia susah naik," Zoro berdiri.

"Mau kemana?" Sanji bertanya.

"Ngebantu, tungguin bentar ya,"

"Zor?!" Sanji membelalakkan mata birunya begitu melihat pacarnya berlari ke arah mobil putih bersama beberapa pengendara motor. Ia lihat Zoro bertukar posisi dengan pengemudi sementara orang lain membantu menahan mobil dari belakang.

Jantung Sanji berdegup, napasnya tertahan. Untunglah Zoro sudah berpengalaman, mobil yang tadinya tidak mampu menanjak langsung ia bawa naik ke puncak. Makin cinta deh jadinya!

Sanji tersenyum, menyemangati kembalinya sang dosen. Pria itu menyibak rambutnya ke belakang, menghampiri tempat makan sambil berlari kecil. "Keren!" Sanji bertepuk tangan.

"Udah biasa kalau di tanjakan, yang penting saling bantu aja," Zoro tersenyum. Ia kembali duduk dan mulai memakan sate yang sudah matang.

.
.

"Zoro liat!" Sanji melompat ke sekitar. Ia menunjuk papan penunjuk jalan dengan antusias. "Ada wahana kasih makan kelinci,"

Zoro terdiam, matanya menatap Sanji sejenak sebelum menjatuhkan tangan di atas rambut pirang dan mengelusnya. "Katanya mau liat monyet?"

"Ah aku udah biasa liat monyet di kosan," ia mengibaskan tangan.

"Kosan kamu boleh miara monyet?"

"Iya, namanya Luffy," Sanji menjawab dengan wajah datar. Dia gak bohong. Kerjaan Luffy kan kelayapan, kadang (baca: selalu) suka gangguin orang lagi makan, atau juga gelantungan di pohon dekat parkiran. Sampe pernah Sanji sabet pakai gagang sapu gegara ketauan nyolong isi kulkas.

Zoro menarik tangannya dan berjalan menaiki tangga. Mereka melewati segerombolan wisatawan dengan baju seragam. "Permisi bu," Sanji menyapa ramah ketika mereka melempar senyum pada sepasang sejoli itu.

Keduanya akhirnya tiba di depan pagar kayu yang mengelilingi kelinci. Sanji membeli wortel di depan counter dan membawa masuk beberapa makanan ke dalam. Ia berjongkok, mengelus seekor kelinci putih.

"Aduh gemes," ia tersenyum. Zoro ikut jongkok di sampingnya, mengurus kelinci berbulu cokelat.

"Ini enak nih kalo dijadiin sate," mendadak Sanji berkata. Emang gitu orangnya, suka nyeplos tiba-tiba tanpa kenal situasi.

Seorang anak yang juga lagi nyuapin kelinci di sebelah mereka langsung melotot ngeri melihat si bule abal-abal. "Sa-sate...?" suara kecilnya bertanya.

Sanji yang sadar anak itu mendengarnya segera menoleh dan tersenyum. "Iya sate! Nanti digorok lehernya, dikulitin, keluarin isi perutnya, terus potong-potong-"

Zoro langsung membekap mulut si pirang sebelum membuat air mata meleleh dari kedua mata anak itu.

"Hmmpf, mph, mmmf!" Sanji tetap memeragakan adegan memotong kelinci dengan tangannya sebagai ganti mulut yang nggak bisa ngomong.

Zoro menghela napas.

.
.

Mereka sekarang duduk di tangga semen sambil makanin kacang. "Ini bukannya buat monyet ya?" Sanji nanyain selagi ngunyah kacang. Dia keliatan gak begitu peduli sebenernya.

"Makan aja biar ga rugi," jawab Zoro. Enak aja dia beli cuma buat monyet, kan bisa dicemilin berduaan gitu biar romantis. Rugi dong kalau beli cuma buat dilemparin ke monyet-monyet.

"Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui gitu?"

"Iya," Zoro menahan tawa.

"Eh ada itu monyetnya bawa anak," yang rambut pirang langsung semangat ngambil satu genggam dan melemparnya.

Mereka memperhatikan induk monyet mengambil satu, mengendusnya, lalu membiarkannya tergeletak begitu saja dan pergi. Eh giliran ada pengunjung yang nawarin es krim langsung diembat. Emang sok iye si monyet mah.

"Sialan, ini malah kita yang mirip monyet nggak sih?" Sanji cemberut.

"Ya udah yuk pulang," Zoro berkata. Sanji mengintip ponselnya sebentar. Sudah hampir jam 3 sore. Butuh dua jam lebih buat nyampe kosan naik motor. WA-nya pun udah penuh sama pesan masuk, nyuruh dia pulang. Katanya kalau nggak pulang-pulang ntar Ace kejar pake rombongan geng motornya sambil bawa spanduk yang ada cetakan muka Sanji. Masalahnya si Law udah mamerin desain bertuliskan 'Dicari Bang Toyib' dengan warna ungu pastel dan pink norak di group chat.

Ia berdiri, meregangkan tangannya. Ini mah alamat harus pulang. Udah keburu jadi buronan. "Kapan jalan-jalan lagi?" tanya Sanji tidak sabaran.

"Next time," Zoro menjatuhkan ciuman cepat di kening si pirang. Sanji tersenyum dan melingkarkan tangannya di lengan Zoro.

Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang