14.

4.7K 352 4
                                    

"Sepertinya, utusanku gagal mencelakai Arletta," ucap Whitney mengeram marah. "Apakah kau benar-benar sudah bekerja maksimal, Roy?"

Wanita itu berada di balkon kastilnya. Memandang ke bawah, tepat pada pemandangan kerajaannya yang begitu luas dan megah.

"Putri tenang saja, saya akan mengirim orang lagi untuk membunuh Arletta."

Membalikkan badan, Whitney mendekati ajudan kepercayaannya itu. Ditatapnya tubuh Roy yang begitu gagah dibalut dengan seragam dinas militer. Rambut hitamnya disisir rapi menyamping, tampak begitu berkelas. Sebenarnya, penampilan Roy yang rupawan cukup menjadi penghibur tersendiri bagi Whitney.

Jemari lentiknya bertengger di dada bidang pria itu, mengelus lembut, merasakan bongkahan otot keras itu lebih seksama. Satu tangannya yang lain menarik tangan kekar Roy, menuntunnya untuk melingkar di pinggangnya. Whitney mendongak, memandang wajah Roy dengan sepasang mata sayu.

"Roy, tataplah aku," perintah Whitney membuat jakun Roy bergerak tak nyaman.

Mau tak mau, pria itu menunduk, membalas tatapan Whitney. Mata legam mereka beradu, membuat Roy semakin menahan napas.

"Apakah aku jelek?"

Pertanyaan Whitney membuat rahang Roy mengeras. "Tidak, Putri."

"Jadi, aku cantik?"

"Ya," jawab Roy tegas.

"Tapi mengapa Duke Wilton memilih wanita murahan itu?"

Pertanyaan kali ini membuat Roy tidak bisa berkata-kata. Hendak menjawab, tetapi jadi serba salah. Takut jika menyinggung Whitney.

"Apakah wanita itu lebih cantik daripada aku?"

"Tidak, Putri." Roy kembali menjawab tegas.

Mendengar itu, Whitney mendengkus kesal. Wanita itu tiba-tiba memeluk tubuh Roy, menghirup aroma tubuh ajudannya, begitu wangi khas perpaduan aroma Pinus dan mint. Whitney menempelkan kening ke dada bidang Roy.

"Lalu mengapa dia memilih wanita itu?" keluh Whitney lagi-lagi.

Kali ini, Roy juga memilih diam. Hingga tiba-tiba wajah Whitney mendongak. Tangan wanita itu bergerak mengelus rahang Roy, mengaguminya dari bawah.

"Roy, apakah kau benar-benar setia padaku?"

"Ya, Putri."

"Apakah setiap perintahku selalu kau laksanakan?"

"Ya, Putri."

Mendengar itu, Whitney tersenyum puas. Masih teringat jelas di kepalanya bagaimana Alaric yang rela melompat ke danau untuk menyelamatkan Arletta. Di hadapan banyak orang, pria itu memberi napas buatan pada Arletta, menciumnya tanpa rasa segan. Mengingat hal itu, membuat darahnya kembali mendidih.

"Roy, layanilah aku!"

***

"Hueks!"

Alaric hanya bisa berdiri dengan melipat kedua tangan di depan dada. Menghela napas panjang melihat Arletta yang memuntahkan isi perutnya.

"Tuan, tolong menjauhlah, ini benar-benar menjijikan, huek!"

Wajah Arletta semakin memerah karena malu setengah mati. Bagaimana bisa Alaric tetap diam di belakangnya dan menyaksikan Arletta mengeluarkan benda menjijikkan ini. Bahkan, tangan besar Alaric bertengger di lehernya, memijatnya pelan. Jarak mereka sangat dekat, membuat Arletta tidak tahu lagi harus menyembunyikan wajah di mana.

"Duke, kumohon perlakukan aku sewajarnya. Jika Anda terus bersikap terlalu baik padaku, mungkin aku akan mengartikannya lain," batinnya mengeluh.

"Sudah lega?" tanya Alaric setelah Arletta tak lagi muntah.

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang