Happy Reading<3
2 tahun lalu ....
Bandara Heathrow tampak seperti lukisan musim dingin di dalam kanvas, nyala lampu-lampu berpendar lembut, memantulkan bias di atas salju yang jatuh. Langkah-langkah tiap insan melaju, tergopoh-gopoh menuju taksi atau kereta, menggigil di bawah jaket tebal mereka. Gagang koper hitam ditarik satu tangan, suara tapak milik Arya menciptakan ritme tenang, hampir seperti irama musik pelan.
Sesekali berhenti, Arya menyesuaikan cekal pegangan kotak hilam dengan roda atau sekadar memastikan kehadiran seseorang yang tak ditemu sejak tiba. Mengembus napas, udara bak kabut tipis menguar. Gumpal kapas terus turun, semakin menebal di perlintasan. Tidak lama, sentuhan hangat terasa pada satu tangan yang bebas mencipta kepala tertoleh, gadis berponi mengenakan pakaian musim dingin dengan syal polkadot. Kain wol bercorak bulatan dengan dasar polos membebat leher.
Merubah posisi, terlepas cekalan dari gagang koper. Arya mulai menyentuh surai tanpa tudung milik Aisy, membersihkan serpih salju yang menempel. Jari-jemari hangatnya menyisir perlahan, memastikan tidak ada bulir beku tersisa. Sentuh lembut yang Arya beri membuat darah gadis berponi berdesir, degupnya berdetak kuat, hal yang dilakukan kekasihnya seolah-olah bukan menghapus lebih dari sekadar gumpal kapas yang jatuh, melainkan kekhawatiran yang Arya rasa.
"This is better," bisik Arya, tersenyum.
Netra cokelat terang milik Arya terpusat dalam pada benih kelam, menyiratkan perasaan yang lebih dari sekadar kata-kata. Sorotnya bagai samudera tenang, Aisy sendiri dapat merasakan tulus yang tak dusta. Pandang yang saling bertemu kian beradu, mendadak tubuh mungil Sang gadis ditarik dalam dekap, memejamkan mata sejenak, Aisy menikmati peluk hangat yang Arya berikan.
"I love you more than any word can say. I love you more than every action I take. I'll be right there loving you till the end."
Aisy bungkam, tak bergeming. Merasakan netranya yang mulai memanas, air mata yang berusaha ditahan menggenang pada pelupuk. Mencoba mengendalikan diri, segala perasaan meluap-luap, hingga tangis yang dibendung dibiarkan lolos, bulir cairan bening mengalir perlahan di pipinya.
"I'll be back in six months time."
🎡 🎡 🎡
Suara pembawa berita internasional serius menarik atensi. "Sebuah pesawat yang melakukan penerbangan dari Bandara Heathrow mengalami kecelakaan beberapa jam lalu, hal ini diakibatkan badai salju yang semakin memburuk ..."
Aisy membeku, pancar pada netra penuh kekhwatiran hingga nyaris membola sempurna benih kelamnya. Jantung berdebar-debar, cepat sekali bahkan tak mampu dikontrol. Berita itu terdengar bagai guntur memekakkan telinga. Semangkuk sereal hangat terlepas dari genggamnya, tumpah ruah berantakan, mangkuk pecah bercerai-cerai, raga hanya membeku tak mencipta aksi. Aisy sama sekali tidak berpaling, pandangan terus menyorot layar TV menayangkan rekam gambar reruntuhan pesawat. Keyza kini beralih menatap gadis berponi, begitu cemas setelah menangkap kalimat yang disiar.
"Arya," bisik Aisy, suaranya penuh kepedihan, terdengar pelan tetapi cukup pilu.
Berjalan mendekat pada layar televisi, mengangkat kedua tangan mengudara. Sentuh lembut diberi pada bidang nyala yang tak lepas menyorot puing-puing pesawat. Mata Aisy semakin memanas lantaran bertemu dengan rekam petugas mengangkut poket-poket hitam berisi mayat yang telah ditemu.
"Aisy, itu bukan Arya." Aisy menggeleng, tahu bahwa ucap Keyza hanya kalimat penenang. Aisy sendiri tak mampu membayangkan sesakit apa apabila tak lagi ada hadirnya Arya untuknya. Hancur sekali, badai emosi tak kunjung reda. Dunia seakan runtuh, tatapan hangat milik laki-laki indah itu berputar-putar dalam benak menambah nyeri dalam dada yang luar biasa.
"ARYA!!!" Aisy meraung, tubuhnya merosot. Kedua tangan bergetar hebat, duduk terpuruk di lantai dengan tangis yang pecah.
"Key, Arya enggak mati kan, Key?!"
Air matanya mengalir deras, jatuh tanpa henti melalui sorot netra yang memerah. Setiap isak keluar dari bibir mengandung pedih, luka terus-menerus menghantam tanpa henti. Tangan meremas lantai dingin dengan putus asa, napas yang ditarik tersenggal-senggal. Segala memori yang berputar dalam benak menyiksa Aisy perlahan, kenangan indah bagai duri mencekik leher tanpa ampunan. Lirih tangisnya tenggelam dalam gelombang kesedihan, Aisy masih membiarkan tangisnya terjun bebas dari kelopak yang sembab.
"ARYA ENGGAK MATI, KEY!"
"Arya enggak mati," raung pilu Aisy menguar. "Key, Arya!"
"Enggak, Arya pasti selamat, Sy. Arya udah janji sama lo bakal pulang nantinya."
Tersedu-sedu, kali ini Keyza memeluk Aisy dari belakang, cukup erat untuk memberi tenang. Setiap detik berlalu perlahan, membawa Aisy lebih jauh ke dalam jurang rasa sakit. Suara, tawa, dan peluk milik Arya dirasa begitu jauh, bahkan tak terjangkau. Hati Aisy hancur berkeping-keping, tiap pecahan menelannya kuat-kuat. Namun, kenyataan selalu menghantam tanpa ampun, menunjukkan bahwa Arya benar-benar pergi.
Lantas, jika tidak dengan Arya, harus dengan siapa Aisy mengarung kisah?
🎡 🎡 🎡
Satu tangan membuka daun papan apartemen yang tertutup, setelah terbuka justru Zidan menyodok raga Arsya keras. Tersentak mundur, Arsya memandang berkas-berkas milik Sang Papa tercecer tak beraturan. Di antara lembar-lembar larik putih, tatap Arsya sekelebat menangkap sebuah foto formal milik seseorang.
Tanpa berbicara, tangan Zidan bergerak cepat meraih foto sebelum Arsya sempat memperhatikan lebih jelas—meski sempat memicing, sorotnya tak mengenal jelas siapa yang berada dalam gambar. Paras pria berewok begitu tegang, gesit menyimpan kertas bidikan resmi pemuda mengenakan kemeja putih di balik genggang tangan.
"Hati-hati lain kali," ucap Zidan, nada suara terdengar dingin.
Mendengus, Arsya berpaling, enggan membuka suara. Merapikan ransel sembari melengos pergi. Persilisihan dengan Sang Papa tidak kunjung memudar, mengingat Arsya marah besar kala mengetahui Zidan merupakan dalang dibalik pemutusan beasiswa Keyza, pandnagan dingin dan kata-kata tajam yang Arsya terima masih terngiang jelas. Kecewa, marah dan Arsya pun tidak mengerti mengapa Zidan cukup kejam. Dalam apartemen, atmosfer tak hanya berbeda, ruang-ruang diisi hening, makanan di meja kali sering dibiarkan tak tersetuh.
Menoleh menatap kepergian Arsya, seiring tangan masih berkutat pada berkar-berkas miliknya, Zidan menghela. "Syukur Arsya enggak curiga."
🎡 🎡 🎡
"Kenapa lo akhir-akhir ini ngehindarin gue?"
Sudah Aisy duga, satu pertanyaan itu akan Arsya utarakan. Mulai menghadap pemuda kaku, Aisy mendengus pelan, tatap indah berubah seketika, menyorot penuh dengan kilatan satiris tepat pada kedua netra Arsya. "Gue cuma kasih lo ruang lebih buat napas."
Menyungging seringai, Arsya berkata, "Gue enggak butuh, lo enggak seprofesional itu buat ngatur jarak."
"Oh?" Benih kelam berputar. "Lo pasti profesional banget, ya? Bisa tuh, buka jasa atur jarak antar atom."
Menepis cekalan Arsya, poni menjuntai di dahi dan wajah bulat Aisy tampak lebih tegas kala ekspresi berubah dingin. Bibir dengan polesan warna merah ceri tertekuk kaku, selanjutnya tidak didengar banyak argumen lagi. Memalingkan roman, Aisy tak ingin bertemu dengan tatap milik Arsya, muak—entah mengapa. Satu tapak yang mengepal kian terbuka, sengaja melepas sesuatu yang Aisy cekal sedari tadi.
"Asal lo tahu, gue enggak pernah jatuh cinta sama lo. Jangan pernah lo pikir, gue bersikap demikian, gue menaruh hati ke lo."
Sebuah koyakan foto melayang anggun ke lantai, meninggalkan bekas dingin pada jemari lentik Aisy.
🎡 🎡 🎡
BAGAIMANA PERASAAN KALIAN SETELAH BACA PART INI?
MAU LANJUT?
TERIMA KASIH YANG SUDAH MAMPIR.
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN DAN SHARE YA<3FOLLOW WATTPAD @SholihatunM
DAN TETAP PANTENGIN INSTAGRAM @shlhtn_ dan @leeeeeeeeh.aSEE YOU NEXT CHAPTER<3
SALAM
LEHH;)
KAMU SEDANG MEMBACA
[#2] HIRAETH : Turn Back Time
Teen Fiction[ALANGKAH BAIKNYA FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA<3] The Second Part Of Zura Universe *** Melakukan hubungan jarak jauh, justru membuat Arsya bosan lantaran tanpa hadirnya Zura. Komitmen yang dijanjikan, alih-alih tak dapat Arsya buktikan segera. Sikap...