BAB 6 - Masa Kecil

19 1 0
                                    

"Buruan, Thal!"

Pada dasarnya, Thala tidak menyukai sikap Rhea yang gemar berteriak itu. Tapi, karena dia juga tidak ingin Rhea menunggu, dia mengikat tali sepatunya dengan cepat. Seharusnya, mereka akan berangkat sekitar setengah jam lagi. Entah kenapa Rhea tiba-tiba sudah berada di rumahnya dan mengajak untuk segera pergi. Hari ini rencananya mereka akan memulai latihan.

Dari kecil, Thala sudah sering mengikuti lomba seni antar sekolah. Rata-rata ia selalu berhasil menyabet gelar juara. Fokusnya adalah seni tari. Dulu, dia sering berkhayal menjadi aktris. Cermin retak di kamarnya menjadi saksi bagaimana seringnya Thala menampilkan bermacam ekspresi. Sekarang, keinginannya sudah berubah. Thala hanya ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga, dan dirinya sendiri. Dia ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah menjadi pilihannya.

"Kakak berangkat dulu, Na. Kalo kamu males di rumah sendirian, telpon bang Ical aja minta temenin." Kata Thala sesaat setelah selesai dengan sepatunya.

"Hana sendirian aja, kak. Mau ngerjain PR."

"Ya, udah. Jangan lupa pintunya dikunci, ya."

Thala bergegas menghampiri Rhea di luar rumah setelah mendapatkan anggukan dari Hana.

Sebenarnya, jarak dari rumah Rhea ke sekolah itu cukup jauh. Harus menggunakan kendaraan agar bisa tepat waktu. Tapi, kali ini, Rhea memilih untuk meninggalkan motornya sejenak di rumah Thala, yang rumahnya tidak begitu jauh dari sekolah. Itulah kenapa ia datang lebih cepat dari jam yang sudah ditentukan. Karena Rhea ingin berbagi cerita terlebih dahulu bersama sahabatnya itu.

"Tiga bulan cukup nggak, ya?"

"Apanya?"

"Bikin Ical jatuh cinta sama gue."

Langkah Thala sejenak terhenti. Dia memperhatikan Rhea yang terus berjalan, sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkah. Akhir-akhir ini, Rhea seringkali membawa nama Ical ke dalam obrolan mereka. Mungkin dia tidak ingin menutup-nutupi perasaannya lagi.

"Kenapa, sih? Ical, tuh, dari luar keliatan friendly banget. Pas di deketin malah kebalikannya. Mana kalo ngomongin orang suka bener, lagi." Katanya sembari menghentakkan kaki.

"Emang dia ngomong apa?"

"Katanya aku nggak cocok pakai bando dan jepit rambut. Ya, emang, sih. Aku juga ngerasa agak aneh gitu. Tapi, dia nggak harus ngomong kayak gitu, kan?"

Thala benar-benar tidak bisa menyembunyikan tawanya. Dalam hati, ia berharap Ical tidak sungguh-sungguh dalam mengatakan itu. "Ical kayaknya udah punya pacar, deh." Thala berkata sembari menendang kerikil yang menghalangi jalannya.

"Masa, sih? Kamu kenal?"

"Enggak,"

"Terus, kamu tahu dari mana?"

"Dia yang cerita. Tapi aku belum tahu siapa orangnya. Dia cuma bilang dia suka sama cewek itu karena ngerasa nyaman."

"Nyaman doang buat apa?"

Thala berada di antara setuju dan tidak. Dia merasa nyaman dengan Panca. Tapi apa dia benar-benar mencintai laki-laki itu?

Melihat Rhea diam dan tidak menanggapi apa pun lagi sampai tiba di sekolah, membuat Thala merasa bersalah. Rhea pasti sedang memikirkan kata-katanya. Akan tetapi, dia memang berniat melakukan hal ini. Setidaknya, dia harus mencari tahu terlebih dahulu bagaimana perasaan Rhea sebelum benar-benar menjodohkannya dengan sepupu narsisnya itu. Dia benar, kan?

"Eh, gimana kabar nenek kamu?" Thala bertanya, sembari membuka tirai jendela ruang serbaguna. Mereka sudah meminta izin kepada penjaga sekolah untuk menggunakan ruangan ini.

ThalattaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang