1. Berseteru dengan diri

6 0 0
                                    

Duduk sendiri memojok di sebuah ruangan  minim cahaya dan suara, aku duduk sambil mendekap kedua kaki dan menumpukan dagu diatasnya. Ketika suhu mulai mengecil, timbul suara dari gigiku yang rasanya akan rontok. Bergerak hanya untuk membuang hajat, dilakukan secara singkat karena ingin kembali ke lamunan yang selalu kulakukan berulang kali di setiap saat. Peristiwa 10 tahun lalu yaitu detik - detik pembunuhan bapak yang dilakukan oleh pamanku sendiri. Hal itulah yang selalu menghantui pikiran sehingga menjalar mengganggu psikisku hingga dijerumuskan ke tempat penyembuhan ini, yang nyatanya makin merusak diriku sendiri.

Dahulu, aku hidup hanya ditemani bapak tanpa adanya seorang ibu, kakak ataupun adik. Tetapi meski begitu, segala keinginanku selalu terpenuhi, dimulai dari perlengkapan sekolah yang tidak ingin kalah keren dari teman-teman, bekal sehari-hari yang selalu dipesan bapak dari catering terbaik, dibuatkan lagu dan rilis di semua siaran radio karena tekadku sebagai artis cilik serta masih banyak lagi. Namun, tak jarang juga aku mendapat cemoohan dari teman-teman karena tidak memiliki sosok Ibu.

"Meski begini, bekelku ini dibuatin Ibuku sendiri loh. Kamu punya Ibu gak? gapunya yaa? hahaha."

"Study tour aku mau ditemenin Bunda, pasti kamu sama Bapak lagi yaa huu kasiannnn wleee."

"Jauhin Angel...DIA GAPUNYA MAMA."

Bagaimana menyakitkan bukan? tapi peristiwa ini sudah lengser digantikan oleh Pamanku sebagai pemeran utama mentalku terancam bahkan hingga kini belum menghilang dan mungkin selamanya tidak akan hilang. Mendapat hukuman mati belum mentuntaskan rasa kekhawatiran keluarga korban, rasanya akan tuntas ketika aku sebagai keluarga korban pun ikut mati.

Kini bajuku lusuh, tempatku kumuh, nafsu makan pun tidak ada. Badanku kurus kering, wajah kusam sehingga tidak ada kecantikan yang terpancar sedikitpun, hanya ada mata merah yang bengkak akibat air mata. Tak terhitung sudah berapa cermin kupecahkan dengan tanganku sendiri sehingga tidak lagi disediakan. Bahkan sesekali aku mengamuk tanpa sadar dan hanya sadar ketika muncul para nakes yang tiba-tiba berada di ruanganku. Semua warisan, hanya habis terkuras di tempat ini. Boro-boro untuk protes fasilitas, pikiranku hanya protes pada kematian bapak. Aku membenci semua orang yang ada di dunia ini kecuali Bapak dan tanpa terkecuali Tuhan.

Saat bapak dibunuh tidak ada satupun yang mencegah aksi paman dan Tuhan malah mengizinkan bapak pergi begitu saja meninggalkanku. Saat aku meminta mati sendiri, Tuhan malah tidak mengizinkan. Sungguh jahat ucapku padanya setiap saat, padahal sudah kubaretkan semua bagian tubuh dengan pecahan kaca dan memakan kotoran sendiri tetapi belum mati juga. Setiap hari aku beribadah semata-mata berdoa hanya ingin mati, namun tidak dikabulkan. Apakah aku makhluk Tuhan yang amat sangat dibenci, sehingga tidak ada sedikit pun perkataanku yang didengarnya?

Mati Saja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang