1. Blasteran Siluman dan Anjing Pemburu

92.6K 4.6K 464
                                    

"Tampangku sudah nggak tertolong."

Aku mengeluh di depan cermin, sementara Gita sibuk mengganti popok si bungsu.

"Ekor mata ini ngabisin ratusan ribu sebulan tapi tetep aja kelihatan kayak buntut ikan cupang!"

Gita tertawa, "Lu nggak ngeliat gue? Perut gue bisa buat gelantungan anak monyet, tau?"

"Lu kan udah turun mesin tiga kali, Nyet."

Akhirnya aku menyingkir dari cermin dan mengalihkan perhatian pada anak-anak Gita. Mereka sedang asyik main sekop dan tanah di halaman.

"Enak nggak punya anak?" tanyaku, out of the blue.

Aku selalu pengen punya anak sejak menginjak tiga puluh. Sejak semua cowok yang mendekatiku adalah cowok-cowok yang paling kuhindari, seolah-olah sudah nggak tersisa lagi stok yang bagusan buatku. Aku nggak mau menikahi seseorang karena aku pengen punya anak atau dianggap laku, dua hal itu memang penting, tapi aku juga mempertimbangkan hal-hal lain.

Tahu-tahu tiga puluhan itu tinggal sisa beberapa tahun lagi. Aku masih duduk nemenin Gita ngegantiin popok anak-anaknya setiap sabtu sore pulang kerja karena nggak pernah punya janji kencan atau jam lembur saat weekend. Pura-pura membenarkan anggapan orang-orang yang berpikir bahwa aku bahagia hidup sendirian dengan karir dan barang-barang bagus yang bisa kubeli dengan uangku. Membiarkan mereka berpikir bahwa aku wanita modern yang feminis dan mandiri.

Padahal aku selalu duduk di balik jendela setiap senja hari kala sendirian, membayangkan suatu saat aku akan duduk-duduk di teras melawatkan sore bersama dengan seseorang yang menikahiku.

Gita mengangsurkan secangkir teh, rupanya si bungsu sudah tidur, "Ribet. Nyusahin. Nggak usah aja kalo nggak kepaksa!" jawab Gita asal-asalan, menanggapi pertanyaanku mengenai anak tadi. Dia selalu begitu.

"Seriuuuuuussss"

"Kan... elu tuh nanya gitu setiaaap kali ada cowok yang deketin. Setiap kali gue jawab, kita selalu berdebat tentang susu yang nggak kebeli. Tentang sekolah dan pendidikan anak di Indonesia yang mahalnya selangit tapi kualitasnya jongkok. Lalu popok, perut gendut, payudara pepaya bangkok, selulit, dan Pamungkas yang ngorok kayak babi. Ujung-ujungnya, lu tolak cowok itu dan mulai ngeluh soal kerutan di muka lu!"

Aku cemberut.

"Terima aja, Kan..." saran Gita mengasihaniku. Like always. Like I butuh dikasihani. "Elu mau nyari yang kayak gimana lagi? Manusia itu... kalau suatu saat dia tua dan nggak berdaya, satu-satunya hal yang nggak mereka inginkan adalah nggak punya teman."

Aku tahu.

"Lu udah nggak muda lagi."

Ya. "GUE TAUUUU!" seruku.

"Apa dia nggak ganteng?" selidik Gita lagi. "Pamungkas juga nggak ganteng kok."

Pamungkas memang nggak ganteng. Dari sejak mereka memutuskan menikah sampai sekarang, aku masih kurang bisa terima kenapa Gita yang manis dan seksi bisa menikahi pria sekelas Pamungkas. Aku nggak terima karena aku nggak ngerti. What actually lies beneath the heads of people who decide to get marry.

"Tampangnya memang nggak seganteng Heru pacar lu itu! Tapi dia baek banget, sudah mapan pula. Meski bukan pengusaha kayak Adit, tapi dia pegawai negeri. Ada yang ngejamin..." kata Gita sepuluh tahun lalu, saat dia menunjukkan cincin yang diberikan Pamungkas untuk melamarnya. "Buat apa pengusaha kaya raya, ganteng kayak Adit kalau kerjaannya mabok sama maen perempuan?"

Waktu itu aku tetap berpikir Gita terlalu berlebihan. Waktu itu tentu saja aku nggak punya bayangan bakal melajang sampai usia 35 tahun. Waktu itu aku mencibir pada keputusan yang diambilnya.

The Chronicle of 35 year old womanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang