3. Go Go

54.3K 3.9K 288
                                    

GO-GO.

Sebuah night club dengan live stage bundar di tengah ruangan.

Aku takjub. Sudah berapa lama aku nggak masuk club dengan lampu disko dan sinar laser warna-warni berpendar, berkerlip, dan menyorot dimana-mana, manusia-manusia yang saling berteriak, asap rokok dan bau alkohol menguar di udara yang pengap karena tertutup rapat seperti ini, ya?

Prasetyo menggenggam tanganku sementara aku hampir tenggelam dalam lautan manusia bermobilitas tinggi, di dalam ruangan yang terlalu sempit untuk menampung jumlah mereka, dan penerangan yang menyakitkan retina.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya memastikan.

Aku mencoba tersenyum, tapi pasti jadi kelihatan kayak bahasa tubuh orang Afrika gurun yang lagi nyari semak-semak buat buang hajat.

Kami berhenti di sebuah bar di balik round live stage. Jika di mana-mana bar terletak di sudut ruangan atau menempel di dinding, Go-Go memasang dua centre point tersebut di tempat di mana seluruh sudut ruangan bisa menangkapnya.

"Pinnacolada." Prasetyo memesan, "No vodka."

Bartender perempuan yang melayani pesanannya tertawa tanpa suara, tertelan dengung musik yang berdentum memekakkan telinga. Kelihatannya mereka sudah akrab.

"Elo?"

Aku gelagapan, "Uh uhm... punya jus jambu?" tanyaku, dan langsung menyesal kenapa aku nggak keren dikit ngomong guava smooties atau guava juice gitu. Lagi pula, jambu? Aku pasti kedengaran kayak nenek-nenek.

"Ada. Wah... wah... pas banget ama lo, Koi. No alkohol juga?"

Aku membenarkan.

Kami menyingkir sedikit ke samping sambil menunggu minuman.

"Koi?" Aku penasaran.

Prasetyo tertawa. Dia lumayan manis juga kalo tertawa, dan dia selalu tertawa sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Kenapa selalu sambil ..."—aku memeragakan cara Pras membenarkan kaca mata. Dia malah semakin tergelak.

"Kenapa sihhh...," Kucubit lengannya. Gemas.

"Kamu tuh nanya terus..." katanya. "Yang satu belum kejawab, udah nanya lagi yang lain-lain!"

Ups. Menohok sekali. Hal yang sama juga selalu diucapkan Gita padaku, "Satu-satu dong! Kalau semua mau kamu pikirin sekaligus, malah ntar nggak kepegang semuanya!" kata monster tetek itu. Ih ... nyebelin.

"Koi itu nama jelekku." Prasetyo membakar sebatang rokok, "Kalo kamu nanyain Prasetyo ke orang-orang yang kenal sama aku, nggak bakalan banyak yang tahu."

"Kenapa KOI?"

"Ceritanya panjang. Ehm... tapi karena kamu bakal jadi istriku, entar aku ceritain. Tapi nanti. Kalo ngotot ngobrol disini, urat kita bisa putus!" katanya nyantai.

Aku setuju saja. Begitu minuman tersedia, Pras membawaku menjauh dari keramaian. Kami menuju sebuah ruangan searah dengan toilet di mana beberapa pria berjaket kulit dan bercelana ketat berkumpul. Kayaknya cuma Prasetyo yang biasa aja pakaiannya.

Hampir semua orang menyambut Prasetyo dengan hangat. Wow. Dia populer juga!

"Ini temen-temen," jelasnya padaku.

Aku bingung mesti pasang muka gimana.

"Ini Kikan. Insha Allah bakal bini," Pras memperkenalkanku pada rombongan yang mengitari kami.

The Chronicle of 35 year old womanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang