Prologue Alamasta

9 0 0
                                    


Jarum jam berdenting dan menggema di seluruh penjuru bangunan rumah keluarga milik Alamasta. Pukul 06.00 pagi. Itu adalah alarm untuk si bungsu karena ia adalah si paling susah untuk berangkat tepat waktu. Kakak sulungnya mengetuk pintu kamar bercat putih dengan memanggil nama gadis satu-satunya di rumah mereka.

"Ra, ayo turun. Sarapan dulu."

"Bentar mas, udah bangun ko ini." Jawab Ara dari dalam kamarnya dengan sedikit berteriak.

"Buruan. Mas tunggu di bawah ya."

"Iyaa."

Selatan, pemuda berusia 21 tahun, selaku anak tertua alias si sulung di lima Alamasta beralih menuruni tangga menuju dapur. Ia sudah menyiapkan sarapan untuknya dan ke empat adiknya. Pagi ini hanya roti panggang, karena Bibi tidak meninggalkan bahan makanan kemarin sore.

Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Bisa dipastikan Ara setengah berlari berusaha mengejar waktu sarapan. "Jangan lari-lari, Ra. Nanti jatuh nangis." Itu suara Tenggara, anak ke dua Alamasta. Tubuh tinggi tegapnya disalip adek bontonya.

"No time, bang. Udah telat ini."

"Mas, ayo berangkat sekarang." Teriak Ara ketika satu roti panggang sudah berada di gigitannya, sementara ia berlari lagi mencari sepatu sneakers baru miliknya.

Selatan hanya bisa geleng-geleng melihat kebiasaan adek bontotnya yang sangat sulit di rubah. "MAS, ABANG! KO SEPATU ARA NGGA ADA?!"

Di tempat lain, Timur yang sudah berangkat bersama Utara karena ada briefing untuk penerimaan mahasiswa baru di jurusannya, merasa aneh dengan sepatu yang dikenakannya. "Tar, kok sepatu gue aneh ya?"

"Kaki lo melar palingan. Keseringan ngerendem di kolamnya Lisa sih."

"Dih, sembarangan."

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

AlamastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang