P R O L O G

609 68 31
                                    

Hallo, cerita ini awalnya berjudul Evanescence tapi sekarang diganti dengan judul Skenario Lautan.

Semoga suka, untuk pembaca Evanescence, maaf ya karena ceritanya dihapus dan dirombak🤗

Selamat membaca, semoga suka, aamiin.

Selamat membaca, semoga suka, aamiin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

«»

Bagaimana akhirnya, jika awal saja belum di mulai. Bagaimana nasibnya, jika kedepannya saja dia tidak tahu.

Anak kecil itu, anak yang masih belum mengerti apa-apa. Anak yang masih perlu perlindungan orang tua, dengan teganya mereka meninggalkannya di tepi pantai. Sendirian.

Entah apa yang dipikirkan oleh orang itu, yang pasti hal itu adalah tindakan paling tidak bisa dimaafkan.

Cakara Dierja.

Anak kecil yang masih polos dan lugu. Saat ini, Caka tengah asik bermain di tepi pantai. Tak tau saja dia, jika orang-orang tak bertanggung jawab itu telah meninggalkan pantai, beserta Caka.

Apakah wajar, seorang orang tua meninggalkan anaknya bermain sendiri di pantai tanpa pengawasan? Apakah hal itu wajar?

"Yeay." Tawa gembira terdengar begitu menyenangkan, saat dia berhasil membuat istana pasir.

Wajah ceria itu, tidakkah mereka tega membuang anak polos dan lugu ini?

"MAMA, PAPA, LIHAT INI! CAKA BERHASIL!" teriaknya tanpa mengalihkan pandangan dari arah istana pasir buatannya.

Senyum indah terus terukir di wajahnya, membuat ketampanan yang diturunkan oleh papa terlihat begitu sempurna. Pahatan sang kuasa, memang tidak pernah gagal.

Merasa tidak ada jawaban, Caka membalikkan badannya. Senyuman tadi pun luntur, saat tak melihat siapapun di belakangnya.

Padahal dia ingat betul, keluarganya duduk di atas dengan beralaskan tikar.

"Mama? Papa? Kalian dimana...." Anak itu berjalan, menuju tempat awal.

"Mama ... Papa ...," suaranya mulai serak, dengan mata berkaca-kaca.

Dia berlari, menuju tempat dimana keluarga duduk dan tertawa melihatnya tadi.

Sesampainya di sana, Caka tak melihat satu pun barang mereka. Matanya melihat sekeliling, mencari keberadaan mereka diantara orang-orang yang berkeliaran.

Tanpa izin dari sang pemilik raga, air mata turun dengan perlahan. Bibirnya mengerucut, dengan mata yang mulai mengeluarkan hujan.

"Mama ...," isakan terdengar, sesaat setelah dia menyadari, bahwa keluarganya tidak ada di sini, lagi.

"MAMA!" Caka berteriak, berlari ke arah gerombolan orang yang tengah tertawa. Mencoba mencari keberadaan sang Mama.

Banyak pasang mata yang menatapnya, tapi yang namanya anak kecil, dia tidak peduli selain Mamanya ketemu.

Caka berlari dengan air mata yang terus turun, menyusuri pantai dengan kaki kecilnya.

"Dek! Adek!" Caka berhenti, sesaat setelah tubuhnya di cegat oleh orang tidak di kenal. "Kamu kenapa? Di mana mama kamu?" tanyanya, merasa kasihan dengannya.

Caka mengadah, dia masih terus menangis dan terisak. Kepalanya menggeleng, air mata terus turun tanpa mau berhenti.

Seseorang itu, adalah seorang ibu. Beliau jongkok di depan Caka, dengan kedua tangan yang memegang pundaknya.

Orang-orang mulai mengerubunginya, melihat ada apa di sana. Membiarkan dua raga saling berbicara.

"Mama kamu kemana?" Lagi, pertanyaan itu lagi. "Caka ... Caka gak tau. Mama, Caka mau Mama ...," jeritnya, meraung.

Ibu itu terlihat panik, sebab dia sadar akan perkataan Caka.

Beliau lantas berdiri, menatap salah satu dari orang di situ. "Bapak, maaf. Kayaknya adek ini terpisah dari Mamanya, boleh saya tau di mana orang yang biasanya halo halo kalau ada anak ilang?" katanya.

Bapak itu mengangguk, lalu menunjukkan sang Ibu. "Saya antar saja, bu. Mari!"

Ibu itu membawa Caka, menuntunnya mengikuti bapak-bapak tadi. Membiarkan kaki tanpa alas kembali berjalan di atas pasir pantai yang lembut.

Isakan masih terdengar, dengan tangis yang perlahan mereda. "Gimana ceritanya kok sampai hilang?" tanya Ibu di sela perjalanan mereka.

Caka tak menjawab, dia hanya menggeleng.

Ibu itu mengangguk, tak lagi bertanya. Hanya menuntun Caka saja. Membiarkan bapak-bapak tadi berbicara setelah sampai di tempat tujuan.

"Bu, boleh kesini dulu? Ajak anaknya juga!"

Mereka pun menghampiri dua orang bapak. "Adek, namanya siapa, dek?"

"Cak—Caka," ucapnya, dengan nada terpatah karena isakan.

Lalu, dimulai lah. Berita tentang anak yang hilang, atas nama Caka.

Setengah jam sudah berlalu, tangisan Caka pun sudah reda. Tapi tak ada tanda-tanda orang datang ke sumber suara. Mereka panik, karena hari sudah mulai malam.

"Bagaimana ini, bu. Tidak ada yang datang sama sekali."

Ibu itu pun tampak berpikir, dengan wajah yang sama paniknya. "Atau gini aja, pak. Biar anak ini saya bawa pulang dulu, kebetulan saya pemilik panti asuhan. Nanti jika ada yang mencari, suruh ke panti aja. Panti Asuhan Citra Kasih, bilang aja gitu."

Caka, betapa malangnya kamu, nak.

Setelahnya, ibu pemilik panti itu membawa Caka setelah membujuk anak itu. Suara tawa seakan menggelora dari ujung hingga ujung pantai, seolah mentertawakan Caka yang ditinggalkan.

Apakah ini, bagian dari skenariomu, Laut.

Apakah ini, bagian dari skenariomu, Laut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SKENARIO LAUTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang