The End

18 7 2
                                    

Wajahnya tampak tenang. Mata birunya terpejam sempurna. Bibir merahnya terlihat lebih pucat. Pipinya menirus menampakkan garis wajahnya. Entah mimpi indah apa yang mendatanginya sehingga tak terasa sudah dua minggu dia tak membuka mata.

Semua hal telah dilakukan untuk mengembalikan kesadaran sang gadis. Tabib-tabib terbaik dari seluruh pelosok negeri sudah didatangkan. Ahli sihir pun sudah mereka libatkan untuk membantu proses penyembuhan Snowhite. Namun, rasanya sia-sia, tak satu pun dari mereka berhasil melakukannya.

William yang tengah duduk di sampingnya memperhatikan tubuh Snowhite yang semakin lama semakin kurus. Dia mengusap lembut pipi itu dengan ibu jarinya, merasa bersalah atas apa yang sudah menimpa sang pujaan hati. Dia masih tidak bisa memaafkan dirinya sendiri, terus-terusan menganggap dirinya bodoh karena tak dapat melindungi Snowhite dari ibu tirinya.

"Selamat pagi! Hari ini aku membawakan bunga kesukaanmu, kau tak berniat melihatnya?" ucapnya lembut. Setiap harinya, William akan mengunjungi Snowhite yang memang dirawat di istana Ottorus atas kemauan William. Katanya, dia ingin bertanggung jawab atas kesembuhan Snowhite, juga sebagai penebusan kesalahannya. Oleh sebab itu, Ratu Rosella yang tidak dapat jauh dari putrinya memutuskan untuk ikut dan William menyetujuinya.

"Kau tidak merindukanku, ya?" cicitnya. "Aku merindukanmu, tahu. Mata birumu, senyuman manismu, suara merdumu, juga gombalan-gombalan gilamu itu."

William menggenggam tangan dingin Snowhite lalu menciumnya sekilas. "Cepatlah bangun. Aku harus menepati janjiku untuk membawamu ke tempat pelatihanku, bukan?"

Tak lama, Octavius memasuki kamar di mana Snowhite dirawat. Seakan tahu jika pria itu yang memasuki ruangan, William melontarkan pertanyaan padanya. "Dia bilang apa?"

"Tabib kerajaan masih belum menemukan penawarnya, Yang Mulia. Dia merasa jika racun yang menyebar ke seluruh tubuh Tuan Putri dibuat dengan zat khusus yang tak dapat mereka deteksi jenisnya," ujar Octavius.

"Tak berguna!" William mulai murka. "Dia tabib tersohor di penjuru dunia ini. Mencari penawar racun itu seharusnya mudah baginya!"

"Dia bilang bahwa racun yang menggerogoti tubuh Tuan Putri Snowhite belum pernah ia temui sebelumnya. Sepertinya, Yang Mulia Gwen sendiri yang membuat racun itu dan tentu saja sihir dilibatkan di dalamnya," jelas Octavius panjang lebar. "Para tabib serta ahli sihir yang membantu dalam penanganan sebelumnya juga mengatakan hal yang sama."

"Penyihir sialan itu seharusnya kuhancurkan sejak awal," William mendesis marah.

"Tetapi ada hal lain yang harus kau ketahui, Yang Mulia."

"Apa itu?"

"Tabib kerajaan mengatakan ada seorang tabib sekaligus ahli obat yang kemungkinan bisa membantu Tuan Putri Snowhite untuk sadar kembali. Namun, akan sulit menemukannya karena tabib itu tidak menetap di satu tempat. Dia selalu berpindah kota guna mencari bahan baru untuk ramuannya yang tidak dia temukan di kota sebelumnya," tutur Octavius. "Dikatakan jika tabib ini tidak pergi sendirian. Dia ditemani oleh cucunya yang merupakan seorang ahli sihir tingkat atas. Dia bahkan sudah hidup ratusan tahun di dunia berkat sihirnya."

"Jadi mereka berdua makhluk abadi?"

"Tidak. Hanya sang ahli sihir yang memiliki umur panjang. Secara biologis, mereka tidak memiliki hubungan darah. Hanya saja, saat mereka bertemu, sang ahli sihir tengah menampakkan wujudnya yang terlihat jauh lebih muda. Oleh sebab itu, sang tabib memanggilnya dengan sebutan cucu. Meskipun orang-orang sudah memberitahu tentangnya, dia tetap menganggapnya sebagai cucunya."

"Mungkinkah sang tabib pernah kehilangan cucu kandungnya? Sehingga dia menciptakan asumsi sendiri jika ahli sihir itu adalah cucunya."

"Maafkan aku, Yang Mulia. Pengetahuanku kurang mengenai hal itu. Namun, kata tabib kerajaan, sebelum bertemu dengan sang ahli sihir dia memang hidup sebatang kara."

"Siapa tabib itu?"

"Mereka biasa menyebutnya Si Nenek Bungkuk, Gaia."

[END]

Blood and FearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang