17.

1.4K 111 13
                                    

.
.
.


“Apa kau pikir bisa semudah itu, sialan?”

  Wanita muda yang baru memasuki usia dua puluh tiga itu memandang nyalang telpon pintarnya, seolah-olah seseorang di balik sana dapat melihat tatapan mematikannya.

“Dengar, dia putranya Tuan Marcellino... Jika aku gegabah, akan bisa mati konyol ditangan Mafia psikopat itu!” ujarnya lagi seraya mondar-mandir, membuat ketukan heals merah dan permukaan lantai memenuhi ruang minimalis tersebut.

“Lalu kapan kau akan membawanya?”

  Cassandra meringis pelan, hampir setiap hari pria itu memberikan pertanyaan serupa untuknya.

“Secepatnya.”

Tut!

  Tungkas Cassandra sebelum mematikan panggilan teleponnya. Wanita itu kembali menghela nafas, kenapa ia harus terjebak dengan tikus-tikus itu. Namun ia tidak menyesal. Salah Cassandra sudah mau melakukan kesepakatan dengan mereka, sekarang ia harus menerima konsekuensinya.

 Namun....

  Wanita muda itu memandang ke arah jendela sana yang sejajar dengan lapangan utama sekolah, anak kelas tiga rupanya yang tengah berolahraga, karena ada Axel di antara mereka. Entah itu dinetra Cassandra saja atau mungkin yang lainnya, Axel – anak itu paling mencolok diantara teman sebayanya. Anak itu memiliki kharisma dan daya tarik yang unik, fisiknya dan dari cara ia berbicara hingga suaranya memiliki ciri khas tersendiri.

“Dasar anak nakal,” gumamnya dengan senyuman merekah saat menyaksikan Axel tengah bercanda gurau dengan teman-temannya, lalu anak itu dimarahi oleh guru olahraganya karena menganggu dan menertawakan salah satu anak perempuan yang berkali-kali gagal memasuki bola kedalam ring sana.

  Cassandra Menggeleng-gelengkan kepalanya, ia kembali duduk di kursi meja kerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Braaakkk!

  Baru saja hendak mengetik di keyboard laptopnya, guru muda itu dikagetkan oleh suara pecahan kaca jendela, bola itu pun mendarat di meja kerjanya, membuat semua barang-barang di atas sana berjatuhan kebawah. Cassandra segera beranjak dari duduknya, ia memandang ke arah kaca jendela yang kacanya sudah pecah, sedangkan tepat dari tempat Cassandra kini berdiri; Axel juga tengah menatapnya dengan senyuman maniaknya, hingga pandang mereka bertemu.

“Aku merindukan hukuman Miss Cassie,”

  Axel cukup heran, akhir-akhir ini jarang sekali ia berkomunikasi dengan gurunya. Cassandra nampak begitu sibuk, guru muda itu bahkan jarang masuk ke kelasnya. Jika berpapasan di jalan, Cassandra selalu menghindari kontak mata dengannya, bertingkah seolah-olah tidak mengenali dirinya.

 Apa gurunya pikir Axel tidak tahu jika dia melihat Cassandra memperhatikannya dari balik jendela kantornya?
.
.
.
  Tidak sesuai ekspektasinya, Axel pikir Cassandra akan membombardir dirinya dengan nasihat-nasihat klasik yang keluar dari bibir merah meronanya itu, namun sudah hampir satu jam mereka hanya duduk saling berhadapan dengan atmosfir canggung. Entah apa yang membuat Miss Cassie itu belum juga mau berbicara.

“Pulanglah, Axel....”

  Axel mengeryit, itu bukan kalimat yang ingin ia dengar dari guru muda itu. Sedangkan Cassandra lebih dulu beranjak dari tempat duduknya, mengambil ponselnya yang tergelak di atas meja untuk kemudian ia simpan di dalam tas kulit coklatnya.

“Se-serius?” tanya Axel untuk memastikan keputusan gurunya.

“Ya,” jawab Cassandra singkat.

“Bagaimana jika aku sengaja menendang bolanya agar mengenai jendela kantor Miss Cassie?” lanjut Axel memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya terjadi.

Tembakan ke-2 | LITTLE MAFIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang