Chapter 1

23 8 0
                                    

Sepasang kaki kecil mengayuh sepeda dengan cepat. Lurus di jalanan kecil itu, kemudian berputar arah setelah sampai di persimpangan jalan. Seorang perempuan paruh baya yang sedang menurunkan beberapa barang dari mobil melambaikan tangan dan berteriak padanya, “cepat masuk ke rumah! Bantu mama mengemas barang.”

Sepeda itu mendekat pada rumah yang baru saja dibeli tiga hari lalu. Gadis kecil berkepang dua turun dari sepedanya lalu memarkirnya di depan rumah. Dia berlari masuk melewati kedua orang tuanya. Ibunya hanya menggeleng kecil sembari mengangkut kardus berisi buku ke ruang tamu.

“Apa masih sakit, Cal?” tanya Saki, suami Cala. Dia menunjuk pada luka di kepalanya yang belum sembuh sepenuhnya.

“Lebih baik, seperti rumah kita yang baru,” senyum simpul muncul di bibir Saki mendengar istrinya baik-baik saja. Mungkin setelah ini semuanya akan benar-benar membaik.

“Kamu duduk saja. Aku bisa membawanya sendiri ke dalam,” Cala melongok ke bagasi mobil. Barang-barang tinggal sedikit, Saki bisa menyelesaikannya sendiri. Dia menaruh kardus terakhir yang dia bawa di ruang tamu dan melihat-lihat isi rumah barunya.

Warna krem menutupi seluruh dinding rumah dua lantai itu. Cukup terawat untuk rumah yang sudah dua tahun tidak ditinggali. Lantai kayu tempelnya juga masih bagus, mungkin hanya perlu diganti pada beberapa bagian. Lantai pertama dari rumah ini berisi ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Di bagian belakang ada kamar mandi dan gudang perkakas. Ada ruang kerja dan perpustakaan di samping tangga kayu menuju lantai dua.

Cala menengadah, ketika mendengar suara derit kayu di atasnya. Dengan langkah hati-hati dia menuju ke atas. Menemukan buah hatinya sedang berlarian melihat tiga kamar yang berhadapan.

“Jangan lari-lari nanti jatuh!” seru Cala, membuat putrinya berhenti berlari dan memilih menggandeng ibunya.

“Thea sudah memilih kamar?” Thea mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Cala. Dia menyeret ibunya ke kamar yang berada di pojok lalu membuka pintunya. Cala tersenyum memasuki kamar baru putrinya. Sesekali dia menyingkirkan sarang laba-laba yang menyangkut di wajahnya.

“Thea mau kamar seperti yang dulu?” lagi-lagi Thea hanya mengangguk. Cala mengelus rambut putrinya dan menggenggam erat tangannya.

“Baiklah, ayo kita turun dan rapikan kamar kita.” ajak Cala. Thea melompat-lompat kegirangan
Tiba-tiba gelenyar aneh muncul di perasaan Cala. Dia sangat bersyukur bisa melihat Thea tidak trauma setelah tragedi yang menimpa mereka dua minggu lalu. Anehnya, malah Cala yang merasa gelisah setiap waktu. Cala berpikir, kenapa dia begitu lemah sedangkan putrinya bisa setegar itu menghadapi semua yang terjadi.

Cala turun dari lantai dua, didahului oleh Thea yang berlari menghampiri papanya. Saki sudah selesai menurunkan barang-barang dari mobil, tinggal menghadapi babak kedua untuk menyusun ke tempat seharusnya.

“Kapan janjimu bertemu psikolog?” Cala menoleh pada Saki dan berhenti sejenak menata baju-bajunya dalam lemari.

“Sabtu depan,” jawab Cala singkat. Dia tidak pernah menyukai pertemuannya dengan perempuan muda gemuk yang sok bijak itu. Memberikan wejangan-wejangan yang prakteknya tak semudah seperti yang dikatakannya.

“Obatmu masih ada?” Cala menghela napas panjang. Lelah dengan semua basa-basi ini. Mereka seperti orang yang baru kenal dua hari lalu. Padahal usia pernikahan mereka telah menginjak usia 6 tahun, bahkan pertanyannya barusan sudah ditanyakan saat berada di mobil.

“Besok aku akan membelinya,” meski enggan Cala tetap menjawab pertanyaan suaminya.

“Oh ya, kau sudah menjawabnya tadi. Maaf,” setelah tragedi itu, Saki seperti lebih hati-hati saat berbicara dengan Cala. Seolah jika Saki membuat sedikit kesalahan, Cala akan memecahkan kepalanya dengan guci yang diperolehnya dari pasar lelang.

“Sudah ngobrolnya? Aku harus menata kamar Thea.” Cala melenggangkan kaki meninggalkan kamar Saki.

Saki hanya terdiam di sana. Diam seribu bahasa. Urung mengatakan kalimat yang sebenarnya sudah dia simpan sejak lama.

***

Makan malam baru saja selesai. Cala melemparkan pandangan ke luar seraya mencuci piring dan gelas di dapur. Jendela dapur menghadap ke sebuah lahan yang menjadi sekat antara rumahnya dan rumah tetangga. Cala bisa melihat beberapa remaja perempuan dan laki-laki sedang mengobrol di bawah lampu jalanan. Ditemani dengan makanan ringan, obrolan mereka terlihat menyenangkan. Ingin rasanya Cala bergabung dengan mereka, membahas teori-teori konspirasi yang biasa mereka dengan di Youtube atau membicarakan sesuatu yang random dan tidak ada ujungnya.

Sayangnya, masa kecil Cala tak seindah bermain masak-masakan dengan temannya atau sekadar bertukar binder untuk seru-seruan. Akan tetapi, hanya kegelapan yang menyelimuti hidupnya. Gelap dan berdarah. Hitam dan merah. Mengiringinya tumbuh menjadi seorang perempuan yang tidak waras. Gila, kata banyak orang.

Lamunan Cala buyar setelah tepukan pelan mendarat di pundaknya. Saki berada di belakangnya, bergabung dengan Cala melihat segerombolan anak muda di luar sana.

“Kau baik-baik saja?” nada bicaranya terdengar khawatir. Nada bicara yang tak pernah berubah, tiap hari selalu khawatir.

“Ya seperti yang kau tahu,” Cala membilas sisa-sisa busa yang masih melekat di tangannya.

Saki menyodorkan beberapa tablet dan air putih. Tenggorokan Cala terasa pahit membayangkan obat-obat itu meluncur ke mulutnya. Dia hampir muak bergantung dengan mereka. Tangan Cala menerimanya dan dengan cepat meminum obatnya.

“Mau mengobrol, menonton film, atau—”

“Aku ingin istirahat. Duluan saja ke kamar,” belum selesai Saki memberikan penawaran, Cala memotongnya lebih dulu. Dia tidak ingin melakukan apa-apa malam ini. Dia hanya ingin tidur. Tidur nyenyak di rumah barunya.

Setelah tangan Saki mengelus lembut rambut istrinya, dia berlalu naik ke lantai dua. Tiba-tiba Saki menghentikan langkahnya, menatap Cala dengan cemas.

“Apa kau masih mengenaliku?” tawa Cala hampir meledak karena pertanyaan konyol Saki. Tentu saja dia masih mengenali suaminya. Tidak ada orang segila Saki yang mau menikahi orang gila seperti Cala.

“Sepertinya yang harus bertemu dengan Anya minggu depan adalah kamu,” Cala masih tertawa dengan perangai Saki. Suaminya memang perlu mendapatkan konseling dari psikolognya juga.

Saki tersenyum melihat Cala kembali tertawa, meski di matanya tak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang menyelimuti. Tidak ada lagi yang dia pikirkan saat ini selain kehidupan Cala. Selama bertahun-tahun dia mencoba untuk membuat Cala pulih tetapi semuanya berakhir hanya dalam satu hari.

“Pergilah tidur, aku akan menyusul.” imbuh Cala.

Dia menunggu hingga dia benar-benar mendengar Saki menutup pintu kamar, kemudian mengeluarkan tabletnya dari bawah lidahnya. Membuangnya ke tempat cucian piring dan berkumur menghempas rasa pahit yang masih berputar-putar di mulutnya.

Sesudah memastikan semua lampu telah padam. Cala masuk ke kamar Thea, mengecup kening putrinya, lalu masuk ke kamarnya sendiri. Dia merebahkan diri di samping Saki. Memandang langit-langit rumah dengan kekosongan.

“Kalau besok kau tidak meminum obat dengan benar, aku akan meminta psikiater untuk meningkat dosis obatmu.” ancam Saki dengan mata tertutup.

***

She Knows ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang