Chapter 3

7 3 0
                                        

Ada yang berbeda dengan Saki hari ini. Dia hanya menanyakan apakah Cala sudah meminum obat atau belum kemudian duduk termenung di sofa. Beberapa menit sekali dia mengecek ponselnya yang tidak berbunyi sama sekali. Raut mukanya seperti kertas yang baru saja diremas-remas. Bingung dan cemas.

Thea yang bermain bongkar pasang di lantai melemparkan tatapan “ada apa dengan papa?”. Cala menaruh telunjuknya di bibir sebagai kode untuk Thea. Kemudian duduk di samping Saki.

“Ada masalah?” tanya Cala. Tidak biasanya Saki terdiam seperti ini. Pasti ada alasannya.

“Ti—tidak,” Saki terkejut dengan kehadiran Cala yang duduk di sampingnya.

“Kau yakin?” Cala masih memastikan.

“Ya, iya. Aku baik-baik saja,” jawaban Saki memang tidak memuaskan bagi Cala. Tetapi dia tidak ingin memaksa Saki untuk bercerita jika dia tidak mau. Cala beranjak dari sofa tetapi tangan Saki terjulur menghentikan langkah Cala.

“Sebenarnya aku ada sedikit masalah di kantor,” jujur Saki. Bukan masalah sedikit jika Saki mengatakannya kepada Cala.

“Aku di sini,” timpal Cala. Dia kembali duduk, mendekatkan tubuhnya pada Saki.

“Kau ingat Jafar?” tanya Saki sedikit ragu. Mungkin saja istrinya lupa dengan orang itu.

“Sepupumu?” Cala balik bertanya. Saki mengangguk kecil saat mendengarnya.

“Apa dia berbuat masalah denganmu?” tanya Cala sekali lagi.

“Tidak. Sebenarnya tidak juga. Begini, aku memergoki dia akan menipu perusahaan tempat kami bekerja dan aku mencoba mencegahnya. Tetapi dia bersikukuh dengan rencananya,” Cala memandang Saki dengan heran. Bertanya-tanya dengan cerita barusan.

“Kenapa kamu ikut campur dengan masalah perusahaan? Itu bukan urusanmu,” sahut Cala. Dia tidak suka melihat suaminya menjadi sok pahlawan, apalagi untuk masalah seperti ini.

“Tapi aku bekerja di sana, Cal. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan perusahaannya?”

“Siapa peduli? Bukan kita pemilik perusahaan itu. Ayolah, sudah berapa kali kukatakan, jangan pernah ikut campur masalah orang lain,”

“Tapi kemarin kamu baru saja ikut campur dengan masalah Rita,”

“Itu masalah yang berbeda. Tidak ada yang memahami kondisi Rita selain diriku. Sementara kamu, risikonya terlalu besar jika kamu terus-terusan ikut masalah ini. Lagipula Jafar memang bukan orang yang baik. Lupakan itu semua,”

“Tapi kemarin risiko yang kamu dapatkan—”

“Tidak ada tapi-tapian lagi. Sekali lagi kamu bilang ‘tapi’, tidak usah makan malam denganku. Jangan pernah buat masalah dengan Jafar,”

Cala pergi meninggalkan Saki di kursinya. Dia tidak ingin memperpanjang debat malam ini. Tidak ada gunanya membahas hal yang tidak penting. Apalagi bukan urusan mereka. Sejak awal, Cala tidak terlalu suka dengan Jafar. Kasar dan sok-sokan. Cala juga paham bahwa Jafar tidak menyukai kehidupan Saki. Karena banyak yang menggangap bahwa hidup Saki lebih baik daripada dirinya.

Suara tabrakan peralatan dapur menggema di seluruh ruangan. Penghuni rumah tidak sedang terlibat pembicaraan sebelum ponsel Saki berbunyi dan dia mengangkatnya.
Cala tidak mendengar dengan jelas apa yang sedang dibicarakan oleh suaminya dan si penelepon. Dia hanya menangkap kata “tidak” yang berulang kali suaminya katakan.

Thea yang duduk di ruang makan ikut tegang mendengar pembicaran papanya. Cala mengedipkan matanya, memberi kode bahwa semuanya baik-baik saja.

Saki kemudian bergabung di meja makan dengan gelisah. Gelagat suaminya yang begitu aneh menunjukkan bahwa baru saja dia pasti berbicara dengan Jafar.

“Apa yang dikatakan Jafar?” Cala menanyakannya sembari menuangkan nasi ke piring Saki.

“Bukan apa-apa. Jangan khawatir,” elak Saki. Cala memandang suaminya dengan penuh kecurigaannya. Tetapi dia pura-pura tersenyum pada Thea yang menolak diambilkan nasi. Thea mengambil nasinya sendiri.

“Bagaimana aku tidak khawatir kalau kamu sendiri terlihat panik,” ucapan Cala lebih merujuk pada pernyataan bukan pertanyaan.

Saki hanya diam. Perkataan Cala menjadi penutup perbincangan di meja makan. Tidak ada lagi yang berbicara hingga makan malam selesai. Thea pergi ke kamarnya, Cala membersihkan dapur, dan Saki menuju ruang kerja.

“Mau kopi atau teh?” tanya Cala memberikan pilihan seraya melongokkan wajah di pinggir pintu.
Saki melirik, kemudian menyahuti, “aku tidak lembur,”

Cala menghilang dari balik pintu dan beberapa saat kemudian kembali dengan segelas susu.

“Susu tidak ada dalam opsimu tadi,” ujar Saki.

“Gula sudah habis. Aku baru ingat kamu tidak suka teh tawar,” Cala tersenyum kecil. Tapi ini susu, batin Saki. Mata Cala menelisik ke wajah suaminya yang begitu letih. Terbesit perasaan bersalah atas apa yang dikatakan olehnya sore tadi.

“Maaf, Saki. Aku tidak bermaksud untuk menambah masalahmu,” Saki mendongak mendengar permintaan maaf istrinya.

“Maksudmu?” Saki meminta penjelasan.

“Aku tidak tahu bagaimana harus merespons masalah yang kamu hadapi. Aku tidak pernah bisa memberikan solusi. Seharusnya aku tidak mengatakan itu,” sesal Cala. Dia benar-benar bingung dengan kondisinya saat ini.

“Kemarilah,” Saki menepuk pahanya, menyuruh istrinya duduk di pangkuannya.

“Kita semua punya masalah. Oleh karena itu, kita dipertemukan untuk menyelesaikan masalah dengan bersama-sama. Jadi kamu tidak perlu khawatir ya,” Cala memeluk suaminya erat. Menyandarkan kepalanya di dada bidang Saki. Dia sangat merindukan kehangatan ini.

“Apa kau merindukanku?” tanya Saki pada Cala. Sejujurnya Saki yang sangat merindukan Cala. Rindu Cala dan kehidupannya yang dulu. Tidak sekacau saat ini, tidak sesulit ini.

Cala mendongak dan menjawab, “setiap hari.”

Mata mereka bertemu beberapa detik, lalu Cala menenggelamkan dirinya lagi di pelukan suaminya.

Baru lima menit mereka mengenang masa-masa yang indah, tiba-tiba dering ponsel Saki mengacaukan segalanya. Tangan Saki mengambil ponselnya. Cala bisa melihat nama “Jafar” terpampang di sana.

“Sebentar,” ujar Saki sembari melepaskan pelukan Cala. Kemudian keluar dari ruang kerja. Sepintas ada yang janggal dengan perasaannya. Ketakutan tiba-tiba menyerang dirinya. Seakan-akan Saki tidak hanya pergi dari ruang kerja untuk sebentar tetapi benar-benar akan meninggalkannya.

Dia menepis kemungkinan buruk itu, beberapa hari ini jadwal minum obatnya sudah kacau balau. Membuat pikiran-pikiran negatif semakin menggerogoti otaknya. Tetapi tentu saja dia tidak bisa kehilangan orang yang dicintainya. Setelah banyak pengkhianatan dan kekerasan yang dia alami. Dia sudah terlalu banyak kehilangan. Terlalu banyak duka yang dia lewati. Dia hanya ingin bahagia saat ini, bersama keluarga kecilnya.

Saki kembali ke ruang kerja dengan segelas air dan beberapa kaplet obat. Dia memberikannya kepada Cala dan harus memastikan istrinya benar-benar meminumnya. Kalau tidak, bukan hanya Cala yang akan melakukan tindakan berbahaya tetapi juga omelan Anya yang memekakkan telinga.

“Julurkan lidahmu,” perintah Saki. Cala membuka mulutnya. Saki bahkan menyenteri mulut Cala untuk melihat apakah obatnya sudah menghilang atau tidak. Cala terkikik geli dengan tingkah suaminya.

Saki duduk di kursi ruang kerjanya dan memeluk Cala kembali. Meneruskan yang sempat tertunda.

“Apa kata Jafar?” tanya Cala.

“Bukan apa-apa,” bohong Saki. Bukan apa-apa tapi menghubungi berkali-kali.

“Kenapa kau dulu menikahi orang gila sepertiku?”

“Karena aku orang yang lebih gila darimu.”

***

She Knows ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang