Chapter 2

11 5 0
                                        

Saki bergegas turun dari mobil dan masuk ke rumahnya. Baru dua jam dia pergi ke kantor, tiba-tiba ponselnya berdering dan mendapat laporan dari pihak kepolisian. Cala mencekik tetangga samping rumahnya hingga kehabisan napas di pinggir jalan.

Selimut berbulu memeluk tubuh Cala yang ringkih. Saki mendekati istrinya dan mendekapnya dengan erat. Anya sudah duduk di kursi yang sama, datang mendahului dari jadwal yang telah ditentukan.

“Kami mohon kerja samanya, Tuan,” ujar salah satu polisi yang duduk di seberang meja.

“Saya bisa menjaga Cala, Pak. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya,” sahut Saki tanpa melepaskan dekapannya.

“Minta maaf kepada tetangga Anda, bukan saya. Apabila memang kondisi Nyonya Cala parah, silakan lakukan rujukan ke rumah sakit jiwa terdekat agar tidak membahayakan lingkungan sekitar. Kalau kami mendengar laporan lagi, kami akan menjemput paksa Nyonya Cala. Permisi.” baru kali ini polisi tersebut mengatasi kasus Cala tetapi Saki merasa mereka seperti sudah muak dengan istrinya. Mungkin saja polisi itu setiap hari bertemu dengan orang pengidap penyakit mental.

“Apa dia meminum obatnya dengan rutin?” Anya akhirnya bertanya. Dia sempat terdiam beberapa lama karena kehabisan tenaga setelah memberikan pernyataan kepada polisi bahwa Cala adalah pasiennya.

Saki menggeleng, “semalam dia membuang obatnya,”

“Kenapa kamu tidak memastikan Cala benar-benar meminum obatnya?” Anya menyalahkan Saki. Selalu saja seperti ini, Cala akan semakin tidak terkendali jika dia terlepas dari obatnya. Bila ini dibiarkan, kondisinya akan semakin parah.

“Kamu bilang jangan memaksakan kehendak kepada Cala,” Saki membela dirinya. Bukannya dia tidak pernah mencoba untuk melakukan itu. Tiap kali Saki berdebat dengan istrinya, Cala akan berbuat nekat. Entah melukai dirinya sendiri atau malah membahayakan Saki. Setelah kejadian itu, Anya menyarankan agar tidak memaksakan sesuatu pada Cala. Biarkan Cala yakin bahwa masih ada orang yang bersamanya.

“Saki, dengarkan aku. Kau tidak perlu memaksa Cala untuk meminum obatnya. Kau hanya memastikan bahwa obat Cala benar-benar masuk ke tubuhnya. Kalau kau tahu dia berbohong, suruh dia minum lagi. Polisi sudah mencurigai Cala sekarang. Aku khawatir dia akan melakukan hal ekstrem lagi,” meski tutur katanya lembut, kedongkolan tidak bisa disembunyikan di raut wajah Anya. Dia seperti menghadapi dua orang dengan penyakit mental parah.

“Bawa dia ke kamar. Pastikan dia tidak ke mana-mana. Aku akan kembali besok untuk jadwal konseling dengannya. Ingat, malam ini dia harus meminum obatnya.” tegur Anya sekali lagi sebelum dia beranjak mengambil tas jinjing dan pergi dari rumah Saki.

Kepala Cala terasa pening setelah mendengar dua orang di dekatnya adu mulut. Dia tidak memedulikan apa yang mereka katakan. Tapi saat ini dia merasa terancam dengan keberadaan tetangganya. Cala sangat yakin, orang di sebelah rumahnya bukan tetangganya yang asli.

“Tetangga sebelah benar-benar bukan tetangga kita. Aku sudah mengusirnya dari rumah tadi tetapi dia tidak mau,” racau Cala saat dia dibopong ke tempat tidur.

“Kau harus membuatnya pergi dari lingkungan ini. Dia sangat berbahaya, dia menyembunyikan tetangga kita yang asli. Dia adalah doppelganger,” Saki hanya diam. Dia merebahkan Cala ke tempat tidur dan menarik selimut hingga ke leher. Seperti orang tuli, dia tidak mendengarkan kata-kata Cala.

“Apa kau mendengarku, Saki? Saki, ada apa dengamu? Apa kau masih mempercayaiku?” serbuan pertanyaan dari Cala membuat Saki kalah. Jika dia tidak menjawab pertanyaan Cala, bisa saja dia dituduh perampok oleh istrinya setelah dia pulang kerja nanti.

“Sayang, ssst … dengarkan aku Sayang,” Saki mencoba menenangkan istrinya yang sedang kacau. Tangannya mengelus pipi Cala dengan lembut.

“Tidak akan ada yang bisa melukai kita. Kamu tidak perlu khawatir. Selama kamu berada di rumah, kita tidak akan apa-apa. Aku berjanji, semuanya akan baik-baik saja. Tidurlah, aku akan kembali petang nanti. Kau ingin titip sesuatu?” degup jantung Cala kembali normal, atmosfer yang dibangun oleh suaminya berhasil menenangkan dirinya. Cala tersenyum tipis dan menggeleng, dia tidak ingin menitipkan apa-apa.

“Baiklah, kalau butuh apa-apa hubungi aku ya. Love you.” pesan Saki kemudian mengecup kening Cala.

Pintu sudah tertutup. Rasa hangat yang menjalar di tubuh Cala perlahan memudar. Berganti dengan rasa cemas yang berlebihan. Dia kembali panik, mengingat belum berhasil menyingkirkan tetangganya.

Cala baru mengenalnya seminggu yang lalu. Rita namanya, dia adalah tetangga yang baik. Mereka sering bertemu saat Cala keluar untuk lari pagi. Rita juga sempat mengiriminya makanan beberapa kali. Masakannya lumayan enak, tidak terlalu buruk. Cala mulai merasa lebih baik saat bertemu dengan sosok Rita. Perempuan yang teduh dan sangat anggun.

Namun, Cala mulai merasakan keanehan pada Rita tiga hari sebelumnya. Urung menyiram bunga saat dia mendengar Rita memarahi anak laki-lakinya di depan rumah. Informasi yang dia dapatkan dari menguping adalah ternyata putra Rita terlambat pulang dari sekolah tanpa alasan yang jelas. Cala berpikir Rita terlalu berlebihan, putranya sudah menginjak SMP kelas tiga—dari cerita Rita—wajar jika remaja melakukan kesalahan. Akan tetapi, saat Rita sadar Cala mengawasi mereka, Rita tersenyum kikuk padanya dan menyuruh putranya masuk. Dari situ Cala merasa bahwa orang di seberangnya bukanlah Rita yang dikenalnya. Semudah itu Rita mengubah emosinya, dari marah menjadi ramah.

Seluruh tubuh Cala bergetar, dia meninggalkan penyiram bunganya jatuh dan hanya membasahi satu tanaman saja. Cala tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Membuat spekulasi mungkin saja saat ini Rita yang asli membutuhkan pertolongannya. Rita telah digantikan oleh penipu, dia harus menolong tetangganya yang baik itu.

Pagi tadi, Cala menyempatkan diri untuk menemui Rita. Kendati gentar, dia tidak mengubah pilihannya untuk mundur. Cala memang tidak suka ikut campur dengan masalah orang lain, terlebih saat mengetahui jika risiko yang diambilnya terlalu besar. Namun ketika seseorang orang telah digantikan oleh penipu, dia harus menyelesaikan masalah ini. Karena dia percaya, tidak ada seorang pun yang mengetahui hal ini selain dirinya. Tanpa basa-basi Cala langsung menuduh Rita sebagai penipu. Cala bisa melihat raut wajah Rita yang kebingungan. Tetapi Cala terus menyudutkan Rita dengan berbagai asumsi yang tidak berdasar. Cala semakin tersulut emosi setelah dia mendengar elakan dari Rita berkali-kali. Rita mencoba meyakinkan Cala bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi dalam dirinya. Rita adalah tetangga yang dikenalnya.

Ketidakpercayaan Cala membuat Rita mulai risih. Dia mengusir Cala dari rumahnya dengan baik-baik. Tetapi Cala malah meminta Rita pergi dari rumah itu. Rita semakin kebingungan, dia seperti berbicara dengan orang gila sekarang. Kesabaran Rita yang sudah di ubun-ubun, membuat dirinya membentak Cala.  Tangan dan kaki Cala mulai gemetar. Degup jantungnya seperti genderang perang. Dengan mata memerah dia mendekati Rita yang berdiri di depan pintu rumah lalu mencekiknya hingga kehabisan napas. Para pejalan kaki dan pengendara motor lekas-lekas menghentikan Cala. Semua tetangganya keluar dari rumah, tiga orang menarik Cala menjauhi Rita. Rita yang ketakutan langsung berlari ke dalam rumah dan menelepon polisi. Lagi-lagi Cala harus mendengar suara sirene yang dia benci.

Mengingat kejadian beberapa saat lalu, membuat Cala ingin berlari secepat kilat ke rumah Rita. Membobol rumahnya dan menembak kening Rita “palsu” itu. Kakinya sudah keluar dari selimut, tinggal menyingkirkan kain berbulu ini, lalu dia bisa pergi ke rumah Rita.

Namun, niatnya ia batalkan setelah melihat foto keluarga kecil di samping tempat tidurnya. Di sana, ada dirinya, Saki, dan Thea. Bertahun-tahun dia selalu merepotkan Saki. Dia juga tidak mengerti, mengapa Saki mau menerima dirinya dengan segala kekurangan yang ia miliki. Minus, tidak ada kelebihan yang dia punya.

Mata Cala memanas, dia harus mendengarkan ucapan Saki. Tidak akan ada apa-apa selama dia di sini. Rita tidak akan masuk ke rumahnya dan membalaskan dendam karena Cala telah menyakitinya.

Di sisi lain, Saki yang berada di perjalanan menuju ke kantor mencari ponselnya. Benda pipih itu bergetar menerima pesan dari Anya. Ancaman yang nyata bagi Saki.

“Cala harus meminum obatnya. Jangan sampai sindrom Capgrasnya menghabisimu.”

***

She Knows ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang