Awan gelap masih menggantung sedih di langit. Titik-titik airnya membasahi Bumi tanpa peduli. Menjadikan cekungan atau cacat di badan jalanan di sekitar dipenuhi genangan keruh. Cangkir pecah yang usang di sudut tepian jendela pun tak luput diisi, menenggelamkan lumut yang dua hari lalu berhasil membuahkan sebatang daisy cantik. Sekarang, tidak lagi. Entah ke mana kuncup putih itu pergi. Paling mungkin jadi santapan burung yang selalu mengganggu pagi.
"Sedang murung hari ini, ya?" tanyanya tidak kepada siapa pun, "kurasa iya. Hujannya tidak keras, tapi menetap dan lemah." Cangkir kopi dihabiskan isinya sembari melirik ke jendela. "Dia sudah rindu padaku, eh?" Pertanyaan kelewat positif itu menghantarnya menuju dapur, mencuci cangkir juga tatakan kopi sampai bersih, lalu mengeringkan tangan sembari menatap sekitar sekali lagi. Memastikan tak ada yang lupa dan pergilah dia ke pintu keluar.
Tak perlu payung. Dia sedang ingin disiram air langit itu. Berharap pada tiap tetes yang membasahi, tergurat jelas rasa di baliknya.
Tapi, tentu saja cuma rasa dingin yang ada.
Senyum terulas. Lesung pipi yang jadi kebanggaan tercetak tanpa malu, tidak untuk orang yang dilewati atau ke diri sendiri. Setelah meraba dada dan yakin ada bentukan panjang yang menggantung ke leher, langkah kaki berderap penuh semangat.
.
Bau 'tua' yang menguar ke sekitar, sudah jadi hal biasa yang malah dirindu tiap kali pulang. Jemari sibuk melepas coat yang basah di punggung juga bahu, menggantungnya kemudian di salah satu lengan meliuk dekat pintu, tak lupa menyisir asal atas rambut sekadar mengusir bulir-bulir air dari sana.
"Kau basah-basahan? Ya, ampun," sapa khawatir seseorang yang segera menghampiri. Yang ditanya malah terkekeh, merasa lucu dengan wajah dan gestur yang diberi. "Tidak punya payung atau sengaja main air?"
"Menurutmu?" Cubitan gemas ke hidung seketika menjawabnya. Disingkirkan dengan mudahnya jemari ramping lentik itu yang segera dirapatkan dengan jemari sendiri. Menuntut kedua tangan mereka menyatu alih-alih meminta hangat tubuh. Wajah tengadah di depan mata, ditatap lurus sejenak lalu hidung ikutan merapat. Kening mereka bertemu. "Apa yang terjadi? Kenapa sedih?"
Tawa yang terdengar renyah jernih, memenuhi pendengaran. Mengalahkan deru rintik hujan di luar sana, atau pun nyanyian katak yang sembunyi dekat kolam usang.
"Siapa yang sedih?"
Dia tersenyum, menaikkan sebelah ujung bibir lebih ke atas dengan masih menempelkan kening. "Hujannya belum berhenti dari semalam."
Dengan nakal sentuhan kening mereka merenggang. Sosok menawan yang mengumbar senyum cantik, memutar dirinya menjauh. Lihat? Bukankah dia sungguh penggoda ulung?
"Tidak ada hubungannya. Langit mau menjatuhkan air dari semua awan murung itu, bukan urusanku, 'kan?"
Terkekeh sambil mengikuti arah pinggul di sana yang berlenggok menjauh, cahaya temaram dari lampu-lampu tua menjadikan suasana menghangat. Begitu mengedarkan pandangan, seluruh tumpukan buku-buku tua di setiap rak kayu berukir juga yang berserakan di meja besar di seberang tangga ulir ke lantai dua, membuat degupan jantung memelan nyaman. Terlebih saat sudah menarik punggung kursi guna duduk untuk melanjutkan bacaan kemarin atau entah apa lagi, sosok nakal menawan yang tadi melenggang pergi tahu-tahu telah menopang dagu dengan senyum jahil ke arahnya. Menungging sampai perhatian teralihkan.
"Mau lanjut membaca? Bukankah kemarin sudah?"
"Belum, Cantik." Dia mendudukkan diri dengan apik, rutinitasnya memang harus begitu. Selesaikan urusan lalu, pindah mengerjakan hal lain.
"Um. Yakin mau lanjutkan itu? Bukan sengaja ingin bertemu denganku?"
"Nope." Teruskan asumsi telak itu, Sayang, pikirnya nyaris tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic in Your Bones | NJ √
Fantasy[ BTS - NamJin ] "Cium seseorang yang membuatmu merasakan sihir di tulangmu, yang membuatmu bertanya-tanya bagaimana seseorang yang terlihat seperti sihir di tengah malam rasanya begitu suci." "Itu sebabnya kau menciumku?" "Oh, tidak. Aku pasti seda...