Dia dan Permulaan.

346 40 14
                                    


Hujan tak lagi membasahi. Cuma berlangsung semalam suntuk dan Namjoon menyesal kenapa tak ikut berhenti bernapas juga saat terbangun keesokan harinya. Entah bagaimana dia berada di rumah. Yang diingat hanya rasa sesak dan kosong dalam dada bersama celetuk tawa jernih yang masih berlalu-lalang di kepala.

Dua hari penuh dihabiskannya dengan mendekam dalam kamar gelap, seisi rumah sederhana itu tak ada cahaya sama sekali malah, kalau saja berkas sinar Matahari tidak kuat menembus masuk lewat jendela dan membiaskan bayang-bayang tirai ke tubuh tergelung di kaki ranjang, pasti rumah itu sudah dianggap tak berpenghuni.

Ponsel yang berdengung berisik sejak kemarin, sama sekali diabaikan. Namjoon sedang ingin meratap. Menangisi diri sendiri. Juga mengerang dengan menyedihkan sambil menggenggam bandul kalung kristal di tangan. Dia tak mau pergi atau bergerak ke mana pun.

.

Pada akhirnya, fungsi setiap saraf tubuh yang berteriak menuntut agar perut kosong segera diisi, berhasil menggerakkan Namjoon, tapi, semua hal dilakukannya tanpa tenaga. Kelopak mata berat pedih. Tenggorokan serak. Juga denyutan di kepala yang tak sudi pergi, mengiringi sarapan pagi. Hanya mengunyah sebuah apel dan selapis roti. Suasana hati yang masih melankolis, sesekali membuat air mata menetes tiap menggigit dua kudapan yang terakhir kali sangat ingin dibuatkan si Peri untuknya.

Setelah mengisi tenaga seadanya, Namjoon memutuskan untuk membersihkan diri. Berniat menjernihkan pikiran. Mungkin dia bakal melempari kediaman si Pembaca dengan kotoran sebagai pelampiasan, dan itu berhasil menaikkan niat hidupnya ke permukaan.

Ponsel kembali bergetar saat Namjoon selesai pakai baju. Dia meraih benda pipih itu dan asal menekan tombol terima panggilan.

"Dasar sialan! Kau sengaja meratakan bangunan untuk menghancurkan warisan atau apa? Sejak kapan kau melakukannya? Ke mana perginya seluruh buku-buku tua itu? Sudah kau lelang atau bagaimana? Sialan!"

Namjoon terdiam. Suara di seberang rasanya tidak asing, tapi nomor yang tertera di layar ponsel, sama sekali baru.

"Hei, jawab! Jangan pikir karena kau dapat warisan jadi bisa semena-mena! Apa sekarang kau sudah dapat hasilnya jadi diratakan begini?!"

" ... hah?"

"Hah, kepalamu! Dengarkan aku, Bocah Sialan. Lekas datang ke mari dan serahkan hakmu karena aku jauh lebih layak dapat warisan yang tinggal tanah ini dari pada kau yang Anak Haram! Kau dengar aku?!"

Namjoon menjauhkan ponsel karena telinganya berdenging akibat teriakan dari seberang itu, dan setelah termenung sejenak memikirkan kembali percakapan, dia mengerang malas.

Jadi, memang benaran datang, entah anak ke berapa dari keluarga ayahnya yang katanya akan datang merebut hak waris dari mendiang kakek yang padahal pria tua itu telah dicampakkan oleh keluarga sendiri. Mungkin tahu jika bangunan perpustakaan juga rumah tua itu punya sesuatu, mereka ingin merebutnya dari Namjoon.

Silahkan. Toh, Namjoon sudah tak berminat lagi melihat bekas lokasi di mana semua kenangan indah juga sangat menyakitkannya berkumpul. Dia ingin mengakhiri semuanya dan mengikuti wasiat Seokjin untuk menjalani hidup. Walau jelas susah tanpa kehadiran atau tawa manja cantik dari si Peri, Namjoon harus mencoba. Sekarang atau tidak sama sekali. Untuk itu dia akan meladeni telepon sesaat lalu dan menyelesaikan semuanya. Hitung-hitung sebagai pelarian dari rasa sedih yang masih menggulung dalam dada. Jadi, lumayanlah untuk langkah awal.

.

Namjoon mengabaikan getar ponsel di saku celana yang sedari keluar rumah terus mengganggu. Dia sengaja jalan lebih pelan alih-alih berat melangkah ke tempat perpisahan, sengaja ingin menikmati cuaca yang ternyata amat teduh dan sejuk.

Magic in Your Bones | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang