"Pisau? Untuk apa?" Aku mengernyitkan dahi, menatap sosok laki-laki yang umurnya satu tahun di atasku itu.
Rasa penasaran tentang alasan pulang larut pun kupendam, kala kulihat bajunya yang kotor dan penuh robekan.
"Ra?"
Panggilan darinya membuatku tersentak, lalu segera melangkah ke dapur guna mengambil barang yang ia minta.
Hidup bersama selama kurang lebih tiga bulan nyatanya belum bisa membuat kami saling terbuka. Aku yang mencoba untuk mengerti dengan cara diam dan melakukan apapun yang ia perintahkan. Sementara ia hanya diam dan diam. Kadang aku berpikir, apa aku ini beban baginya?
Setelah menyerahkan barang yang ia minta aku kembali ke kamar. Tidak mau memikirkan apa yang akan ia lakukan, aku akan fokus pada tugas sekolah yang belum rampung kukerjakan.
Andai Tuhan memberiku kesempatan lebih lama untuk merasakan kehangatan, mungkin aku tak akan pernah merasakan dinginya malam. Bahkan, sepi pun tak akan pernah kurasakan. Nyatanya, semua berbanding terbalik. Pikiran tentang hari-hari baik pun menyerbuku layaknya pisau tajam yang baru diasah dan tepat mengenai dadaku.
Sebuah panggilan membuat lamunanku buyar. Kutatap buku matematika bertuliskan kelas tujuh yang masih tertutup rapi tepat di atas meja. Lihat, bahkan aku lupa apa tujuanku masuk ke dalam kamar. Kuembuskan napas pelan, lalu beranjak dari ranjang.
Langkahku terhenti tepat di ambang pintu. Dadaku bergemuruh. Pasukan pisau kembali datang menyerbuku. Tidak, kali ini rasanya lebih sakit dari biasanya. Namun, aku tak bisa berkata apa-apa, seolah apa yang ingin kukeluarkan dipaksa berhenti tepat di kerongkongan.
Entah takdir apa yang telah Tuhan tulis di garis tanganku. Setelah kepergian ibu, kini kakak sambungku pun ikut menyusul. Menjadikan aku sebagai yatim piatu pun sepertinya tak membuat Tuhan puas.
Apa sebaiknya aku juga ikut menyusul mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuk, Main Masak-masak
Short StoryCerbung ini diikutsertakan dalam lomba yang diadakan oleh penerbit Bougenvillea Publisher Cabang Bekasi dalam memperingati HUT RI ke-77.