Sebersih Kain Kafan

24 2 4
                                    

Awan hitam merangkak pelan, menutup mentari yang semula menampilkan senyum menawan. Lalu-lalang kendaraan pun semakin berkurang, apalagi ketika angin ikut menari bersama dengan petir, sebelum akhirnya rintik menyerbu bumi.

Aku yang sejak tadi duduk di kursi teras toko, menjadi pengamat pergantian cuaca, akhirnya memutuskan untuk beranjak. Sepertinya hari ini toko akan kututup lebih awal, mengingat cuaca yang tidak memungkinkan pembeli untuk datang. Apalagi yang kujual adalah produk keagamaan yang tak mungkin dibutuhkan ketika hujan.

Kuhentikan tangan yang semula menarik pintu. Aku menajamkan pendengaran seraya mengedar, memastikan suara yang baru saja kudengar berasal dari seseorang atau hanya bunyi hujan yang beradu dengan atap.

"Tolong!" Suara itu kembali terdengar lebih jelas.

Aku menyipit, memastikan sosok yang berdiri di pinggir jalan tak jauh dari tokoku berada. Sosok yang tak dapat kupastikan siapa itu merangkak sembari terus menggerakkan tangan, seolah sedang mencari sesuatu.

Segera kuraih payung yang menggantung tak jauh dari pintu, lalu berlari mendekat.

Istighfar tak henti kusebut, saat kudapati sosok itu yang ternyata seorang bapak tua renta. Kuarahkan payung padanya, guna menghalau hujan agar tak mengguyurnya lebih lama. Perlahan kusentuh bahunya, yang mana hal itu malah membuatnya tersentak kaget.

"Ana? Tolong ... tolong maafkan bapak, Nak. Bawa bapak pulang. Bapak kedinginan."

Suara bergetar, mata tertutup, ditambah badan menggigil kedinginan cukup membuat hatiku terasa perih.

Gambaran apa yang coba Engkau tunjukkan pada hamba wahai Tuhanku?

"Saya Ari, Pak," kataku mengenalkan diri. "Bapak kenapa bisa ada di sini?"

Aku kembali mengedar. Hujan yang semula turun deras kini berganti rintik.  Namun, tak kudapati satupun kendaraan atau seseorang di sekitar.

"Tolong.... Saya belum siap mati. Namun, anak saya membuang saya seolah ingin saya mati."

Saat kecil, orang tua bersusah-payah membesarkan dan menghidupi anak dengan layak. Namun ketika sudah besar, anak bersusah-payah mencari cara agar orang tua cepat tiada. Menganggap orang tua sebagai beban yang harus disingkirkan bagaimanapun caranya.

Astagfirullah halaziimm, Ya Allah ... jauhkanlah hamba dari keburukan dan dekatkanlah hamba pada kebaikan.

"Mari, Pak, ikut saya," ajakku seraya merangkul bahunya. "Kita salat dzuhur bersama, lalu istirahat sembari menikmati teh buatan istri saya."

Mungkin ini adalah jalan Allah yang memberikan kesempatan kepadaku untuk merawat orang tua, yang mana selama ini belum tersampaikan karena mereka lebih dulu tiada.

Bungkusan putih yang berada tak jauh dari tempat bapak itu semula, membuatku berhenti dan mengambilnya.

"Apa bungkusan ini milik Bapak?" tanyaku seraya menyerahkan bungkusan itu padanya.

"Bahkan Ana sudah menyiapkannya," gumam Bapak itu yang bisa kudengar dengan jelas.

Aku yang penasaran pun meminta izin untuk membukanya. Betapa terkejutnya kala kudapati kain putih bersih tersimpan dalam bungkusan itu.

Namun, senyum lebar yang bapak itu tunjukkan membuat hatiku tersentuh sekaligus malu. Allah menutup matanya dengan mencabut penglihatan dunia, tetapi Allah memberikan nikmat tabah yang luar biasa sebagai gantinya.

bougenvilleap_bekasi

Yuk, Main Masak-masak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang