Seharusnya hari ini adalah hari bahagia untuk Kakak perempuan ku satu-satunya yaitu Kak Jia dan pacarnya. Tapi hari yang seharusnya menjadi hari bahagia untuk keduanya malah menjadi hari menyedihkan untuk ku.
Saat aku sedang merapihkan dandanan ku dan juga pakaian milik ku di depan termin dalam kamar ku, tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan suara yang menyertainya.
"Mija? Kamu di dalam? Kakak masuk ya." Itu suara milik kakak laki-laki pertama ku, Kak Damar.
"Iya kak masuk aja, pintunya gak aku kunci."
Dapat aku lihat dari pantulan cermin Kak Damar yang menghampiri ku dengan raut wajah yang gelisah.
"Kakak kenapa? Kok muka nya gitu?"
"Jia," dia menjeda perkataannya. "Dia kabur."
Butuh waktu beberapa detik untuk otak ku mencerna ucapan Kak Damar barusan.
"Apa?! Kok bisa kak?!"
Tentu saja aku kaget mendengarnya, bagaimana bisa Kakak perempuan ku itu kabur disaat acara ijab kabul pernikahannya akan dilaksanakan satu jam lagi?
"Kakak juga gak tahu, dia tadi izin ke kamar mandi tapi gak balik-balik lagi dan udah dicari ke seluruh sudut rumah tapi gak ada."
"Terus Ayah sama Bunda gimana?"
"Bunda dari tadi terus menangis dan Ayah keliatan marah."
Aku langsung keluar dari kamar dan menuruni tangga untuk ke ruang tamu, dapat aku lihat disana ada Bunda yang sedang ditenangkan oleh Tante-tante ku dan juga ada Ayah yang seperti Kak Damar bilang, dia terlihat marah.
"Bun.." Aku menghampiri Bunda dan langsung memeluknya.
"Bunda tenang dulu ya."
"Gimana Bunda bisa tenang Mija? Kakak mu itu kabur entah kemana padahal acara pernikahannya tinggal menghitung menit."
"Iya Mija tahu Bun, tapi Bunda jangan nangis kayak gini. Lebih baik mikirin solusi buat masalah ini."
"Ayah sudah putuskan kalau kamu yang bakalan menggantikan Kakak kamu itu." Itu suara dari Ayah yang diucapkan dengan penuh emosi dan tentu saja membuat ku kaget setengah mati.
"Ayah, yang bener aja? Aku gak mau, aku masih sekolah kalau Ayah lupa."
"Tidak ada pilihan lain, keluarga besar kita dapat menanggung malu jika pernikahan ini dibatalkan."
"Tapi Ayah dan Bunda kan tahu sendiri kalau aku masih sekolah dan aku sama sekali tidak berfikir untuk menikah muda." Aku tetap berusaha membantah keputusan Ayah.
"Mija dengerin Ayah. Ini semua demi nama baik keluarga kita dan pernikahan ini tidak bisa dibatalkan karena semua undangan telah disebar, bahkan beberapa tamu undangan sudah ada yang datang untuk melihat proses ijab kabul."
"Tapi-"
"Tidak ada tapi-tapian, mau tidak mau kamu harus menerima keputusan ini."
Tidak terasa bulir air mata membasahi pipi ku, bagaimana bisa jadi seperti ini? Aku sama sekali tidak memiliki pikiran untuk menikah muda, ditambah saat ini aku masih ingin melanjutkan pendidikan ku.
"Nurut apa kata Ayah kamu Mija, ini yang terbaik untuk keluarga kita." Itu suara milik Bunda yang sedari tadi menggenggam tangan ku.
"Bun, aku gak bisa."
"Harus bisa! Ayah sudah menghubungi keluarga Jeffran tentang ini dan mereka mau tidak mau menyetujuinya karena memang ini adalah opsi terakhir agar nama keluarga kita tidak tercoreng."
Aku hanya tertunduk dan mengeratkan genggaman ku pada tangan Bunda. Ya Tuhan, jika memang ini adalah pilihan yang terbaik, tolong beri aku kemudahan. Dan untuk Kakak perempuan ku yang menyebabkan aku harus jadi seperti ini, aku benar-benar sangat marah kepadanya.
____________________________________
Acara ijab kabul sudah selesai beberapa menit yang lalu dan sekarang aku sedang sibuk menerima jabatan tangan dari para tamu undangan. Sebisa mungkin aku tampilkan senyum yang natural walaupun sebenarnya dalam hati aku terus mendumal.
Akhirnya aku bisa duduk kembali setelah para tamu undangan meninggalkan pelaminan. Sebenarnya aku merasa canggung duduk di satu kursi yang sama dengan pacar kakak ku yang sekarang sudah resmi menjadi suami ku walaupun dengan unsur desakan dari keluarga.
"Capek?" Tiba-tiba suara dari samping mengagetkan ku.
"Eh? O-oh enggak kak, cuma pegel aja." Jawabku gugup karena baru kali ini aku berinteraksi dengannya.
"Nanti setelah acara selesai biar saya pijitin."
Tentu saja aku kaget mendengar penuturan darinya. "Enggak usah Kak, gak sepegel itu kok nanti aku bisa pijitin sendiri."
Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara aku dengan Kak Jeffran, kita berdua kembali menyambut tamu-tamu yang datang.
"Kak Jeffran mau aku ambilin minuman? Sekalian aku juga mau ambil minum." Tanyaku kepadanya, karena jujur saja tenggorokan ku sangat haus saat ini.
"Kamu disini aja, biar saya yang ambil." Padahal bukan itu jawaban yang aku harapkan darinya.
"Biar aku aja, Kakak tunggu disini."
"Saya aja. Gaun yang kamu pakai bikin kamu kesusahan buat jalan."
Benar juga apa yang dia bilang, sekarang aku sedang mengenakan gaun yang lumayan lebar dan sudah pasti akan sangat ribet jika aku harus berjalan untuk mengambil minuman.
"Oke kalo gitu, makasih ya Kak."
Dia pun pergi meninggalkan ku sendirian di pelaminan dengan debaran jantungku yang lebih cepat dari biasanya, aku tidak mengerti kenapa aku bisa seberdebar ini di dekatnya.
Mungkin mulai hari ini kehidupan ku akan berubah 180° dari biasanya dan sebisanya mungkin aku harus mengikhlaskan semua yang telah terjadi hari ini untuk seterusnya.
_____________________________________
Untuk prolog nya segini dulu ya.
Jangan lupa follow dan tambah cerita ini ke perpustakaan biar enggak ketinggalan setiap updatean nya.Aku usahain buat update tiap hari.
Sebagai feedback nya, jangan lupa buat vote dan juga komen.See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Become a Parent
Ficção AdolescenteSemua ini berawal ketika Kak Damar, kakak pertama ku itu mengetuk pintu kamar ku disaat aku sedang merapihkan dandanan serta pakaian yang aku kenakan untuk acara pernikahan Kakak kedua ku, Kak Jia. Kak Damar menghampiri ku dengan raut wajah yang na...