Sejak aku kecil sampai sekarang, orangtuaku selalu berkata jika ingin berinvestasi di masa depan, kamu harus rela kehilangan moment masa muda mu.
Baik ayah maupun ibuku selalu bercerita bagaimana pahit dan letihnya mereka membagi waktu belajar dan bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Orangtua ayahku sudah lama meninggal waktu ayah dibangku kuliah sementara ibuku merupakan tulang punggung keluarga karena kedua orangtua ibu sudah pensiun sebagai tentara dan perawat militer.
Demi mempertahankan beasiswa untuk menggapai cita - cita, semangat belajar mereka tetap membara walaupun berkali - kali dipukul oleh beratnya kehidupan.
Waktu tidak menghianati hasil, cita - cita mereka akhirnya terwujud. Mereka berhasil menjadi orang yang sukses dan berada.
Aku tentu saja ingin menjadi seperti mereka, tepatnya menjadi pengacara terkenal seperti ayahku. Maka dari itu, aku fokus untuk mencapai tujuanku.
Namun ada kalanya aku merasa sedih dan kasihan dengan diriku sendiri yang terlalu bekerja keras.
Kedua orangtuaku selalu memberiku nasihat dan petuah tentang hidup dan pentingnya pendidikan.
Tapi, tidakkah satu kali saja mereka memberiku perhatian sebagai orangtua seharusnya?
Setidaknya aku ingin mendapat pelukan begitu aku mengutarakan keluh kesahku belajar mati - matian demi mempertahankan nilai tinggi, bukannya malah diceramahi.
Atau ketika aku sakit, aku ingin mereka berada disampingku. Namun mereka malah menyuruh ART untuk merawatku karena pekerjaan mereka lebih penting. Kemudian setelah aku sembuh, mereka kembali menceramahiku untuk memperhatikan kesehatan karena sakit sangat membuang - buang waktu.
Mereka juga selalu memperingatkanku untuk jangan bercerita mengenai kehidupan pribadiku kepada teman, karena teman bisa saja berkhianat. Lalu kepada siapa lagi aku bercerita?
Jujur saja, aku mulai merasa lelah untuk terus bercerita kepada diriku sendiri di cermin mengenai hari - hariku, tanganku tak punya tenaga untuk menulis dibuku diary.
Dikamar, aku lebih banyak menangis jika hari yang kulalui terasa berat.
Semakin bertambah usia, semakin aku merasa paham jika mereka juga menganggap anak sebagai investasi masa depan.
Sedari kecil aku dikasih makan,minum, pakaian yang layak, disekolahkan, agar aku menjadi orang yang sukses sehingga mereka merasa diuntungkan.
Namun jika aku gagal... mereka akan merasa rugi dan sia - sia membesarkanku. Dapatkah aku berkata, jika aku berhutang kepada mereka?
Dan ya... inilah konsep keluargaku. Aku tidak ingin tahu tentang konsep keluarga lain.
......
Tin!
Tin!
Dahiku mengerut mendengar suara klakson mobil range over putih saat aku berdiri di depan pos keamanan sekolah untuk menunggu sopir yang lama menjemputku.
Sekolah sudah sepi pasalnya hampir dua jam sudah dibubarkan. Anak - anak OSIS pun sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu karena kami tadi mengadakan rapat.
Kaca mobil itu akhirnya terbuka setengah, begitu tahu siapa pemiliknya aku lansung memutar bola mata malas.
Si anak baru sok akrab lagi.
"Halo cantik, nunggu jemputan?"
"Peraturan sekolah ga boleh bawa kendaraan sendiri."
Lalice menutup kembali kaca mobilnya lalu mematikan mesin. Tak lama kemudian, ia turun dari mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story of Us [Ebook]
Ficção AdolescenteKetika anak broken home pacaran sama anak happy family