BAB 3

14 0 0
                                    

Senyum getir tampak terulas di bibir tipis Jihan. Hatinya terkoyak, lagi-lagi kalimat itu kembali menikam jantungnya. Jihan memejamkan matanya yang sudah terasa perih. Tangannya menyeka air mata yang tiada henti mengalir, perlahan manik kecoklatannya kembali terbuka, pandangannya memburam.

"Ya! Aku memang sudah tidak suci lagi. Tapi itu sudah lama terjadi. Aku berani bersumpah jika ini benar-benar anak kamu!" ungkap Jihan.

Tangan Tiger menjulur, menjapit dagu istrinya dengan kasar. "Heh, emang aku bego dan nggak tahu pekerjaan kamu? Kau lupa bekerja di mana?" sentaknya lalu membanting tubuh Jihan hingga terpelanting di kasur lalu ia pergi begitu saja meninggalkan wanita itu. Tiger membuka pintu lalu membantingnya dengan kasar hingga tertutup rapat.

"Hanya pelayan bar, apa yang salah? Aku bukan pelacur," gumamnya menekan dadanya yang terasa sangat sesak juga nyeri.

Ya, kehidupannya sempat berada pada titik terbawah. Ia harus bekerja keras untuk bertahan hidup bersama ibunya di sebuah bar pingguran kota. Sialnya, Jihan harus dilecehkan sang pemilik bar tersebut. Yang tak lain dan tak bukan adalah Tiger hingga hamil.

Tidak sampai disitu juga, ibunya juga dipenjara akibat perbuatannya di masa lalu yang harus dipertanggungjawabkan, pembunuhan berencana, kasus prostitusi, penipuan dan masih banyak lagi.

Sempat ingin mengakhiri hidupnya, Khansa berhasil menemukannya dan marah besar. Ia lalu membawa Jihan pulang ke rumahnya dan Leon, suami Khansa berhasil membuat Tiger bertanggung jawab.

Kedua tangan Jihan melingkari perutnya, ia menejamkan mata seolah mengajak calon anaknya berkomunikasi. 'Nak, kamu harus kuat ya. Cuma kamu yang ibu punya. Setidaknya sampai ibu bisa mendapat uang untuk kita hidup berdua saja,' gumamnya dengan isakan memilukan.

Lelah usai menguras air matanya, Jihan kembali tertidur. Apalagi kepalanya masih terasa berat dan berputar-putar. Tubuhnya masih lemah, ia juga tidak memiliki modal apapun untuk melarikan diri. Bahkan ponselnya saat ini pun ketinggalan di rumah ayah tirinya.

Satu jam kemudian, Bi Sari berdiri di depan kamar membawa nampan berisi makanan dan juga teh hangat. Perlahan satu tangannya mengayun untuk mengetuk pintu tersebut.

"Nyonya!" panggilnya pelan.

Beberapa kali ketukan Jihan baru mendengarnya. Ia terjingkat dari tidurnya yang meringkuk masih melindungi bayinya. Terdiam sejenak untuk menyadarkan diri sepenuhnya.

"Nyonya, permisi!" panggil sang pelayan lagi.

Jihan beranjak dari ranjang king size juga empuk, meski tak menemukan kenyamanan sedikitpun di sana. "Iya, Bi!" sahutnya, sedikit kesulitan karena gaun pengantin yang panjang dan lumayan besar masih membalut tubuhnya yang ramping.

Pintu terbuka, ia langsung menatap senyuman tulus dari sang asisten rumah tangga. "Permisi, Nyonya. Ini makanan Anda," ucapnya menunjukkan nampan yang dibawanya.

Jihan memberinya jalan agar Bi Sari bisa masuk dan meletakkan yang dibawanya ke atas nakas. Ia menggulung ekor gaun berwarna putih itu lalu kembali duduk di ranjang.

"Bibi, boleh saya tahu ini ada di mana?" tanya Jihan.

"Ini adalah rumah Tuan, Nyonya," sahut Bi Sari.

"Eee ... alamatnya di mana, Bi? Apakah dia tinggal sendiri?" Jihan mulai menggali informasi yang sekiranya ia butuhkan.

Rumah tersebut terletak di belakang bar dan resort milik Tiger yang terletak di kaki gunung pinggiran kota Palembang. Bibi menjelaskan secara detail.

'Oh, berarti dekat dari bar. Aku masih bisa bekerja di sana,' gumamnya dalam hati.

"Nyonya, pakaian Anda ada di lemari sana. Tuan sudah menyiapkannya," tunjuk Bi Sari pada sebuah ruangan tak jauh dari toilet.

"Baiklah, Bi. Terima kasih banyak," ucap Jihan mengulas senyum. "Bisa minta tolong bantu lepaskan veil ini, Bi," pintanya dengan nada pelan.

"Tentu, Nyonya. Permisi," sahut Bi Sari dengan senang hati karena ternyata nyonya barunya itu sangat ramah.

Jihan memutar tubuh membelakangi Bi Sari yang dengan sigap segera membantu Jihan melepaskan seluruh perhiasan di kepala yang membuatnya semakin pusing.

"Apa Bibi menginap di sini?" tanya Jihan.

"Tidak, Nyonya. Rumah saya kebetulan tidak jauh dari sini. Anak saya kasihan sendirian di rumah," jawab Bi Sari sopan, Jihan hanya mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya.

"Anaknya berapa, Bi? Umurnya?" Jihan antusias mendengarnya.

"Dua, Nyonya. Masih SD kelas dua, yang satunya sudah sekolah menengah. Maklum, sudah nggak punya bapak jadi saya harus kerja keras menghidupi mereka. Karenanya saya pulang setiap sore, Nyonya," papar Bibi Sari membuat Jihan tersentil.

Wanita paruh baya itu terlihat sekali sangat menyayangi anak-anaknya. Bekerja keras demi buah hatinya tanpa pendamping. Sedangkan dia? Hampir saja menyerah.

Setelahnya Jihan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sedangkan Bibi Sari kembali melanjutkan pekerjaannya.

Rasa penatnya seketika menghilang usai berendam air hangat selama beberapa saat. Pikirannya pun mulai jernih. Ia membulatkan tekad untuk berjuang demi buah hatinya. Bibirnya terulas senyum tipis dengan hati berdebar saat membayangkan perutnya nanti membesar lalu melahirkan anak yang lucu.

"Baiklah, semangat Jihan. Kamu harus kuat demi dia!" gumamnya bersemangat.

Jihan keluar dari kamar mandi dengan bathrobe berwarna putih. Ia beralih ke walk in closet memilih pakaian. Keningnya mengernyit ketika semua pakaian yang tersedia, hampir seluruhnya tampak terbuka.

Ia menyomot salah satu gaun bermotif full bunga yang berwarna cerah lalu mengenakannya. Ia tak ambil pusing, kemudian segera melahap makananya karena perutnya sudah meronta ingin diisi.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

Tiger kembali seorang diri ke kediaman Isvara. Ia duduk di ruang tamu berhadapan dengan sang pemilik rumah. Bibi Fida mengintipnya di balik dinding yang sekiranya tidak terlihat.

"Maaf, Tuan. Mulai sekarang Jihan adalah tanggung jawab saya. Jadi, dia akan tinggal bersama saya," ucap Tiger dengan serius.

"Di mana alamat kamu? Apa Jihan baik-baik saja?" Fauzan nampak khawatir. Meskipun hanya anak tiri dan ia pernah kabur membawa harta gono gini bersama ibunya, Fauzan masih menyayangi perempuan itu.

Raut wajah Tiger sama sekali tak bersahabat. Ia merasa tidak nyaman ketika privasinya digali. Meskipun ayah mertuanya sendiri.

"Maaf, Tuan. Tapi, saya ingin hidup berdua saja dengan Jihan. Jihan baik-baik saja. Sewaktu-waktu, saya akan mengajaknya pulang ke sini jika Anda merindukannya," elak Tiger.

"Baiklah jika itu maumu. Tapi tolong jaga dia," Fauzan pasrah dengan keinginan menantunya itu.

Tiger juga meminta ponsel Jihan dan menyimpannya. Dia tidak ingin mengambil resiko jika suatu hari nanti Jihan kembali pulang dan mengambil ponselnya untuk mengadu pada Khansa, yang suaminya bisa menghancurkannya dalam sekejap mata.

"Saya permisi, Tuan!" Tiger beranjak dari duduknya sedikit mengangguk. Ia memutar tubuhnya dan mulai melenggang pergi.

"Tunggu!" cegah Fauzan membuat Tiger terpaku dan menghentikan langkahnya.

Fauzan turut berdiri lalu menyusul menantunya itu. Ia menepuk bahu kekar Tiger yang membuat detak jantungnya berlarian.

Bersambung~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Devil HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang