Jingga dan merah muda bertemu. Saling memeluk dan berdansa mencipta lukisan warna yang keindahannya tidak pernah membosankan tuk diabadikan logika lewat netra. Mentari kian surut hendak kembali pada peristirahatan sementara sebelum kembali hadir menyambut fajar.Ombak bergulung, angin bertiup kian kencang menerpa helaian suraiku. Genggaman pada tanganku kian erat. Atensiku beralih pada pria yang tangannya tak pernah lepas dariku sejak awal kemari menanti mentari tenggelam.
"Kau suka sunset?" tanyaku.
"Suka. Aku suka sunset, bulan, bintang dan semua tentang langit."
"Tapi kau tidak suka laut. Kau takut. Lalu kenapa harus ke sini? Kita bisa melihatnya dari tempat lain bukan."
"Tidak apa. Ada kamu. Ada kamu bersamaku, jadi tidak apa."
"Setelah ini kembali ya. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa."
"Boleh pinjam bahumu? Aku sedikit mengantuk."
Sudut bibirku tertarik membentuk senyum tipis. Ku lepas genggaman tanganku. Menyandarkan kepala Bintang pada pundakku. Menatap langit sambil kembali meraih tangannya yang terlepas sesaat.
"Bulan."
"Iya?"
"Kau ingat apa yang sering ku katakan? Aku ingin kau bahagia. Baik itu bersamaku ataupun bukan."
"Eum. Aku selalu mengingatnya."
"Nanti saat aku pergi. Jangan menutup dirimu untuk orang lain. Berjanjilah. Bulanku harus bahagia."
"Aku berjanji."
"Terima kasih. Aku senang bisa mengenalmu."
Langit mulai gelap. Mentari hilang dan tenggelam. Mentariku sirna. Benar-benar hilang. Air mata mulai berjatuhan dari sepasang netra milikku. Jantungku bak dicengkeram kuat oleh kuku-kuku tajam. Namun isak kutahan. Tak ingin membuat Bintang terbangun. Tapi itu hanya kebohongan. Isakku tetap tidak akan terdengar meski aku lepaskan.
Genggaman tangan Bintang terasa sangat dingin. Deru nafasnya tidak lagi terdengar. Aku akan memenuhi janjiku. Tapi, ku mohon sampaikan pada Tuhan. Jangan mengganti Bintangku terlalu cepat. Aku tidak ingin melupakanmu dengan cepat.
"cerita kita usai di sini. tapi mungkin saja kelak kita akan bertemu lagi di alam yang baru. benar kan?"