Aku Bukan Dirimu

846 93 7
                                    

[Meski pada akhirnya pernikahan kita berakhir atau bahkan kita tidak akan pernah lagi bertemu. Aku cuma mau bilang, aku merasa ... aku sangat beruntung pernah ketemu kamu, menjadi istri kamu, bagian hidup kamu, menghabiskan seluruh waktuku bersamamu. Makasih udah hadir di hidupku, memberi warna hari-hariku, menjadi orang paling lucu, galak, cerewet. Aku enggak pernah nyesel pernah tulus sama kamu. Karena aku sadar, enggak selamanya ... tulus jadi pemenangnya. Makasih laki-laki baik. See you.

Alya]

Usai menulis pesan itu pada selembar kertas, Alya melipatnya. Menyusun kertas berwarna putih bersih itu bersama buku nikah dan cincin kawinnya di meja kamarnya.

"Aku pergi ...." Alya berkata lirih seolah-olah sedang berpamitan dengan Arfan. Dengan dada nyeri ia kemudian menyeret koper yang telah ia siapkan menuju taksi online yang telah ia pesan untuk mengantarnya ke terminal.

Entah sudah kali ke berapa Alya menyeka air matanya. Buliran bening itu terus mengalir membuat pandangannya buram. Namun, ia tetap memadang bangunan dan pepohonan yang terus berlalu seiring dengan lajunya bus yang ia tumpangi. 

Persis seperti hidupnya saat ini.

Alya tetap harus melangkah walaupun ada hal yang sangat ingin ia tahan untuk tidak berlalu. Namun pada kenyataannya, garis takdir membuatnya harus menerima bahwa melepaskan adalah satu-satunya pilihan yang ia punya.

"Maafin aku ...." Alya tidak bisa membayangkan bagaimana nanti reaksi Arfan saat menemukan surat yang ia tinggalkan itu. Juga buku nikah dan cincin kawin yang ia susun di meja kamar mereka bersama surat itu. Alya tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya Arfan kepadanya karena dirinya akhirnya memilih pergi.

***
Lima tahun sudah Alya meninggalkan kota ini. Dan siang ini, dengan dada begitu sesak ia harus menginjakkan kaki kembali di sini. Bahkan saat ini ia sedang duduk di sebuah rumah makan yang dulu selalu menjadi tempatnya menghabiskan akhir pekan bersama Arfan, mantan suaminya.

Alya tidak heran kalau kota ini banyak berubah. Banyak bangunan baru yang dulu saat Alya masih tinggal di sini belum ada. Banyak ruko-ruko yang yang berubah, yang dulunya toko mainan menjadi toko baju, yang dulunya toko tas menjadi toko sepeda, dan masih banyak yang lainnya. Hanya saja, tidak dengan rumah makan ini. Dari luar bangunan sampai semua yang ada di dalam bangunan bergaya klasik ini tidak berubah sama sekali. Persis seperti perasaan Alya terhadap Arfan.

Tanpa Alya sadari, matanya kini mengembun. Ia seperti melihat dirinya dan Arfan yang sedang asyik berbincang hangat sembari menunggu makanan disiapkan di sebuah bangku yang terletak di pojok. Tatapan mata Arfan, senyum lebarnya, gestur tubuhnya, semua bisa Alya lihat dengan baik. Lima tahun telah berlalu, tetapi kenyataannya waktu tidak mampu menghapus kenangan itu.

"Maaf terlambat."

Alya menoleh saat mendengar suara wanita yang sudah berdiri di sampingnya.

"Ah, iya. Enggak apa-apa." Sejurus kemudian Alya menunduk menyembunyikan matanya yang dipenuhi kaca-kaca. Bayangan masa lalu serasa meremas jantungnya begitu kuat.

Jika bukan karena ada nyawa yang harus ia perjuangkan, tak mungkin Alya menemui wanita ini dan datang ke kota yang paling tidak ingin ia kunjungi. Namun, ada kalanya ia harus mengabaikan dirinya sendiri demi seseorang yang paling penting dalam hidupnya saat ini.

Alya menghela napas dan menghembuskan perlahan. Kilasan peristiwa yang terjadi di masa lalu membuat dada Alya teramat sesak. 

"Ada apa?" tanya Meira dengan nada ketus. "Ada yang bisa aku bantu?

Alya mengangguk ragu. Sebenarnya kalau bisa memilih, dia benar-benar tak ingin bertemu wanita itu lagi. Sudah cukup selama ini luka yang ditorehkan karena berebut sesuatu yang sudah jelas-jelas milik siapa. 

"Mungkin ... ini bakal buat kamu enggak nyaman. Tapi ... aku perlu ketemu sama Arfan."

Meira memicingkan mata. "Ada perlu apa?"

"Tolong ...." Leher Alya mendadak sakit. Kalau bukan karena anaknya, tak ingin dia menghiba seperti ini. "Aku mau bertemu Arvan. Sampaikan padanya kalau ...."

"Sampaikan aja keperluan kamu apa sama aku! Nanti aku sampaikan sama dia," potong Meira dengan ketus. Ia memang tidak suka jika Arfan harus bertemu dengan mantan istrinya ini. Bahkan selama ini kalau Arfan ingin menemui mantan istri dan anaknya, Meira selalu mengancam akan memberitahu mama mertuanya. Meira tahu betul kalau mama mertuanya sangat tidak menyukai Alya.

Alya cukup terkejut mendengar perkataan Meira. Ia tidak menyangka kalau istri mantan suaminya itu ternyata seposesif itu. Sejak Alya pergi, ia memang tidak pernah sama sekali mengetahui informasi apapun tentang kehidupan Arfan. Alya hanya tahu kalau Arfan telah menikah lagi sebulan setelah kepergiannya dari teman yang masih berkomunikasi dengannya. Selebihnya Alya tidak ingin mengetahuinya.

Alya tahu diri. Lebih tepatnya ia tidak ingin lebih sakit lagi dengan mengetahui kehidupan Arfan dengan Meira. Bagi Alya, hidupnya cukup fokus membesarkan putri semata wayangnya dengan baik. Tidak ada yang lebih penting dari putrinya, Aleta.

"Aku harus mengatakan langsung sama Arfan, Mei." Alya masih berusaha membujuk Meira.

"Sampaikan aja sama aku! Kalau memang penting, aku pasti sampaikan sama dia," ketus Meira.

Alya terperangah. Ia benar-benar tidak menyangka kalau respon Meira seperti itu. Ia hanya ingin bicara dengan Arfan tentang Aleta. Tidak lebih. Akan tetapi, Meira bahkan tidak mengizinkannya.

"Apa setakut itu kamu sama aku?" Jika dengan cara baik-baik tidak membuat Meira terketuk, Alya pun bisa menggunakan cara kasar.

"Maksud kamu?" Meira menatap Alya tidak suka.

"Aku enggak nyangka. Ternyata kamu setidak percaya diri ini, Mei." Alya tersenyum sinis. Ia masih ingat betul bagaimana dulu Meira dengan kepercayaan dirinya.

"Jaga bicara kamu, Al!" bentak Meira sembari menatap tajam kepada Alya.

"Aku cuma mau ketemu Arfan, Mei. Aku harus bicara sama dia." Alya kembali mencoba melunak. Ia tidak suka berdebat. Jika bukan karena nyawa Aleta, tidak akan ia menemui Meira dan meminta izin pada wanita itu untuk bertemu kembali dengan mantan suaminya.

"Kamu bisa ngomong sama aku! Aku pasti sampaiin ke dia." Meira masih bersikeras.

Alya menggeleng. "Enggak sesederhana itu. Aku harus ngomong sama Arfan secara langsung."

"Terserah!" Meira berdiri dari kursinya. Ia hendak meninggalkan Alya.

"Kamu setakut itu Arfan ketemu sama aku?" Alya mengernyitkan dahinya. Meski perasaannya pada Arfan tidak berubah sedikitpun, tetapi ia benar-benar tidak berniat untuk mengambil Arfan kembali dari Meira.

Meira menoleh dengan menatap tajam pada Alya. "Hah? Takut? Kamu pikir kamu siapa?"

Alya hanya menjawab dengan senyuman sinis.

"Aku istri Arfan. Arfan suamiku. Buat apa aku takut sama perempuan seperti kamu?" lanjut Meira dengan mata hendak keluar dari tempatnya.

"Apa kamu lupa semudah mudah apa hubungan suami istri berakhir?"

Bibir Meira membuka, kemudian mengatup kembali.

"Aku cuma mau bicara langsung sama Arfan. Ini mengenai Aleta. Bagaimanapun hubunganku dan Arfan, Arfan tetap ayah Aleta. Selamanya kamu enggak bisa memutus hubungan anak dan ayah di antara mereka."

Alya menjeda ucapannya. Ia menatap tajam mata Meira yang tak berkedip menatapnya.

"Kamu enggak usah khawatir, Mei. Aku bukan kamu. Kita berbeda. Aku enggak akan merampas suami orang lain, apalagi sahabat sendiri. Seperti yang kamu lakukan sama aku dulu."

Usai BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang