Terkubur Rasa Bersalah

440 46 4
                                    

Bumi seolah-olah berhenti berputar saat Bu Fania mendengar kabar buruk tentang cucunya.

"A-apa? Le-leukimia?" ulang Bu Fania sembari menautkan kedua alisnya.

Arfan mengangguk.

"Hah ...." Bu Fania memegang dadanya. Tiba-tiba ia merasa begitu sesak. Ia bahkan sampai berhenti bernapas cukup lama. Kepalanya seolah-olah kosong dan tidak bisa ia gunakan untuk memikirkan apapun.

"Dokter bilang ... di Jakarta ada rumah sakit khusus kanker yang bisa melakukan pengobatan selain kemoterapi," jelas Arfan.

"Ya, dimanapun! Kamu harus bawa dia berobat! Dia harus dapat pengobatan yang terbaik, Fan!"

Arfan merasa begitu lega saat mendengar mamanya mendukungnya untuk membawa Aleta berobat. Karena jika mamanya sudah mendukung, maka tidak ada satu orang pun yang bisa menghalanginya lagi. Meira sekalipun.

"Iya, Ma. Secepatnya Arfan akan bawa dia."

***

"Pa! Papa!"

Dugaan Alya benar, Aleta bangun tidur mencari Arfan. Alya yang sedari tadi sedang duduk sembari memandangi wajah putrinya itu pun kembali merasa hatinya hancur.

"Apa enggak seharusnya Aleta aku pertemukan dengan Arfan?" batin Alya. Namun, ia tidak tega saat mendengar Aleta kangen sama papanya.

"Tuhan ... jangan sakiti Aleta dengan hal lain lagi! Aku mohon! Sudah cukup Kau uji dia dengan penyakitnya, tolong jangan bebankan dengan hal lain yang berada di luar kuasaku ...."

"Ma? Kok, Mama diam aja? Papa mana, Ma?" tanya Aleta sembari memandangi mamanya yang sejak tadi hanya diam memandangnya.

"Mama kenapa malah nangis?" tanya Aleta lagi saat Alya tak kuasa lagi menahan genangan di pelupuk matanya. Meski dengan cepat Alya berusaha menghapus air matanya, tetapi Aleta tetap melihatnya menangis.

"Enggak, Mama enggak apa-apa. Mama cuma ...."

"Al!" Tiba-tiba Bu Narti memanggil Alya dari pintu kamar Aleta yang memang terbuka.

"Ah, iya, Bu." Alya menoleh ke arah ibunya.

Bu Narti kemudian berjalan cepat mendekati Alya.

"Ada apa?" tanya Alya yang heran dengan tingkah ibunya.

Bu Narti mendekatkan wajahnya di telinga Alya. "Di luar ada Arfan," bisiknya.

Kedua bola mata Alya langsung melebar. Ia segera menoleh ke arah jam dinding yang ada di kamar Aleta.

"Baru jam lima! Sepagi ini dia ke sini?" batin Alya. Ia benar-benar tidak percaya.

"Titip Aleta, Bu. Alya nemuin dia dulu."

Tanpa menunggu jawaban ibunya, Alya langsung keluar dari kamar Aleta sembari menyambar hijab yang ia taruh di kursi kamar Aleta.

"Hai," sapa Arfan saat Alya tiba di ruang tamu. Arfan langsung berdiri menatap mantan istrinya itu.

Sementara Alya saking terkejutnya sampai bingung mau berkata apa. Ia masih tidak percaya kalau laki-laki yang kini berdiri di depannya itu adalah Arfan.

"Aleta belum bangun?" tanya Arfan karena Alya hanya berdiri tanpa berkata apa-apa.

"Ah, iya. Aleta udah bangun, kok."

"Aku takut dia nanyain aku, makanya aku datang sepagi ini. Apa ... kamu keberatan?"

"Hah ...." Alya membuang napas. "Aku cuma ... kaget aja. Enggak nyangka sepagi ini kamu datang."

Usai BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang