9. Antara Nyawa Dan Tagihan

677 71 10
                                    

"Di luar itu bau apa sih? Telur busuk juga pasti kalah busuknya dengan bau di halaman."

Seorang pemuda membuka pintu rumah dan masuk dengan terburu bersamaan dengan gerutuan yang terus diucapkannya. Ia mengenakan jaket kulit bewarna hitam dan celana jin dengan warna senada. Parasnya tampan, tetapi menyiratkan tanda bahwa ia belum bersentuhan dengan air pagi itu.

"Buat mual aja." Aibal memicit hidung dan terus saja menggerutu hingga didapatinya kedua orangtuanya tampak panik di ruang tamu. "Kenapa, Ma? Lagi ada masalah?"

Agaknya itu bukan pertanyaan yang tepat untuk ditujukan pada Lestari. Lihatlah akibatnya. Cepat, ia meraih bantal sofa yang kusam dan melemparnya pada Aibal. Setelahnya ia malah balik bertanya dengan nada tak menyindir. "Lagi ada masalah? Lagi ada masalah sontoloyo! Harusnya kamu nanya, kapan kita nggak ada masalah?"

Aibal tersentak dan sejujurnya, ia kaget. Lestari jarang sekali bersikap seperti itu. Apalagi sampai melemparnya dengan bantal sofa yang kumah itu. Iiih! Untung saja Aibal sigap dan mampu mengelak di waktu yang tepat. Jadilah bantal sofa itu mendarat di lantai tanpa mengenainya sama sekali.

"Mama kok marah-marah sih? Aku tanyain baik-baik juga. Ck."

Keheranan Aibal bukan tanpa alasan dan tidak berlebihan sama sekali. Sebabnya adalah terlepas dari kehidupan mereka yang berantakan, Lestari merupakan tipe ibu-ibu seperti yang ada di layar kaca. Dengan kata lain, penampilan dan pembawaan di depan orang banyak adalah hal utama. Ia akan selalu bersikap seperti ibu-ibu sosialita sehingga jarang atau mungkin tidak pernah Aibal dapati Lestari mengucapkan kata sontoloyo.

Ehm. Sontoloyo itu masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia nggak ya?

Ah! Tak hanya itu. Berbicara soal penampilan, Lestari adalah juaranya untuk selalu tampil cantik dan modis. Buktinya, ia tak segan-segan ke salon untuk mewarnai rambut walau tak punya uang.

Anehnya, Aibal sekarang mendapati keadaan Lestari yang jauh dari kata cantik dan modis. Lestari tampak berantakan dan wajahnya kusut dengan jejak air mata yang mengering di pipi.

"Mama nggak butuh ditanyain," tukas Lestari sambil mendengkus kasar. Digerakkannya bahu sekilas sehingga tangan Harjo yang sedari tadi memijatnya jadi jatuh seketika. "Seharusnya Mama yang nanyain kamu. Dari mana kamu baru pulang sepagi ini?"

Aibal semakin yakin kalau ada yang tidak beres. Soalnya pernah suatu ketika ia tidak pulang selama dua hari dua malam dan Lestari sama sekali tidak memedulikan kepulangannya.

"Tumben sih, Ma. Biasanya juga Mama nggak pernah tuh nanyain aku pulang atau nggak," jawab Aibal sambil beranjak. Berdiri terus menerus membuat kakinya letih dan jadilah ia duduk. "Biasanya juga kan Kak Vika yang selalu ditanyain kalau dia balik telat dari kelab."

Harjo meringis. "Wajar kalau Vika ditanyain tiap pagi. Dia itu kerja di kelab dan kalau dia sampai pulang terlambat, kira-kira apa yang bisa terjadi?"

Jadilah Aibal terdiam berkat pertanyaan Harjo. Ia mengerjap sebelum membuang napas panjang. "Aku tau, kelab memang tempat yang nggak aman buat cewek. Wajar sih kalau Mama dan Papa nanya Kak Vika tiap pagi. Mama dan Papa pasti khawatir dengan keadaan Kak Vika."

"Ck! Kami mah bukannya khawatir dengan keadaan Vika. Kami justru khawatir sama kelabya."

Aibal melongo. "Eh?"

"Gimana kalau Vika pulang telat dan ternyata dia buat masalah di kelab?"

Aibal makin melongo.

"Jadi itulah alasan kami selalu menanyakan Vika sudah balik atau belum. Biar kami sebagai orang tua nggak merasa waswas dan yakin kalau dia nggak buat masalah."

Astaga! Aibal menepuk dahi.

"Oke. Jadi sekarang balik lagi ke pertanyaan awal aku tadi," ujar Aibal teringat akan kebingungannya ketika sampai tadi. "Di luar itu bau apa sih? Busuk banget, sumpah!"

Lestari dan Harjo saling pandang, tetapi tak ada yang menjawab. Alih-alih, Harjo justru mengatakan hal lain.

"Bal, besok pagi coba kamu pergi ke kelab ya?"

"Ngapain, Pa?" tanya Aibal dengan ekspresi enggan. Bersamaan dengan itu, ia pun melepaskan jaket kulit di badan. Hari mulai beranjak siang dan suhu pun perlahan naik. Jadilah ia merasa gerah, terlebih karena ia memang belum mandi. "Ngecek Kak Vika buat masalah atau nggak? Gitu?"

Sedetik pertanyaan itu lepas dari lidahnya, Aibal mendapati satu bantal sofa lainnya kembali melayang padanya. Kali ini ia telat menyadari dan jadilah ia mengaduh samar ketika bantal sofa mendarat tepat di hidungnya.

"Ih! Mama apaan sih."

Aibal menyingkirkan bantal sofa itu sejauh mungkin dengan wajah jijik. Ia merinding, membayangkan entah sudah berapa tahun bantal sofa itu tidak pernah terkena air.

"Apaan apaan. Kamu itu yang apaan. Baru pulang sekarang sementara Mama dan Papa sudah pusing dari tadi," gerutu Lestari kesal. "Vika pergi dari rumah. Pakaiannya udah nggak ada lagi di lemari."

"Apa?!"

Aibal syok. Saking syoknya, ia tanpa sadar bangkit dari duduk. Mata membesar dan keterkejutan itu berhasil membuat ia membeku untuk beberapa saat, seolah ia masih butuh waktu untuk mencerna baik-baik perkataan Lestari barusan.

"Ma-Mama bilang apa? Kak Vika pergi dari rumah?"

Lestari dan Harjo mengangguk kompak.

"Iya. Karena itulah Mama dan Papa jadi bingung."

Sorot mata Aibal menunjukkan ketidakpercayaan untuk perkataan Lestari. Jadilah tak heran bila ia pergi ke kamar Vika dan malah menemukan kebenarannya. Pakaian Vika memang sudah tak ada lagi di lemari. Vika benar-benar pergi dari rumah.

Kepanikan Lestari dan Harjo menulari Aibal. Jadilah ia berubah pucat.

"Pokoknya besok kamu samperin Vika di kelab. Apa pun yang terjadi, kamu harus bisa bawa dia kembali ke rumah."

Aibal mengacak-acak rambut. "Argh! Kok Kak Vika pake acara pergi dari rumah sih? Padahal sudah gede, eh malah bertingkah begini. Pergi dari rumah? Ck. Apa-apaan sih? Buat susah orang saja."

"Sudah. Intinya kamu nanti jangan lupa buat samperin Vika. Suruh dia balik. Pokoknya kamu usahakan semua cara agar dia balik ke rumah."

Jadilah Aibal sama bingung dengan kedua orangtuanya. Di benaknya, ia membayangkan kemungkinan yang akan terjadi bila ia sampai menemui Vika di kelab. Bayangan kursi yang melayang dan meja yang terbanting langsung membuat ia bergidik ngeri. Tak tanggung-tanggung, bulu kuduknya pun kompak berdiri.

"Gi-gimana kalau Papa saja yang samperin Kak Vika di kelab?" tanya Aibal pada akhirnya mencoba untuk menawar. "Biar aku jaga Mama di rumah."

Bukan tanpa alasan mengapa Harjo menyuruh Aibal yang pergi ketimbang dirinya yang pergi. Sebabnya adalah ia sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi bila ia sampai nekat menemui putrinya itu.

Wajah Harjo berubah kaku. Ia menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal, mencari alasan. "Papa sudah tua, Bal. Mudah masuk angin loh. Masa kamu nggak kasihan sama Papa? Memangnya kamu mau kerokin Papa kalau Papa masuk angin? Nggak kan?"

Tentunya Aibal tahu kalau itu hanya alasan Harjo saja dan hal tersebut membuatnya jadi kian pusing. Ia terjepit pada situasi amat genting hingga lirihan nelangsa itu mau tak mau terucap juga olehnya.

"Ah! Samperin Kak Vika itu artinya bertaruh nyawa, tapi kalau nggak disamperin, tagihan aku gimana?"

Karena mau jujur atau tidak, itulah yang dipikirkan oleh Lestari dan Harjo dari tadi.

*

bersambung ....

Tuan Vampir dan Darah KesayangannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang