25. Harapan Tak Sesuai Kenyataan

711 90 19
                                    

"Untuk beberapa hari ke depan, lebih baik kamu jangan keluyuran dulu."

Vika baru saja membuka pintu kamar. Ada sekelebat angin yang terasa melintas di sebelahnya dan tiba-tiba saja ia melihat ada Arjuna berdiri di tengah-tengah kamar dengan kedua tangan di belakang tubuh. Gestur khas itu membuatnya terpikir sesuatu. Itu kebiasaan orang-orang yang pelihara tuyul bukan sih?

"Kamu tinggal di kamar aja. Kalau butuh apa-apa, kamu bisa panggil Gendhis."

Arjuna berpaling dan menunjuk nakas. "Ada buku catatan di dalam laci nakas. Semua nomor hp pekerja di rumah ini ada di sana. Jadi, kamu tinggal telepon atau chat saja kalau kamu butuh sesuatu."

Vika mengangguk.

"Dengan begitu kamu nggak ada alasan apa pun untuk keluyuran. Kamu duduk yang anteng saja di kamar biar cepat sehat."

Vika manyum. "Keluyuran. Keluyuran." Didekatinya Arjuna dengan langkah pelan. "Omongan Mas buat saya merasa seperti ayam hutan aja."

"Kalau nggak mau disamain dengan ayam hutan, itu artinya kamu jangan sampai keluyuran ke mana-mana. Lagi pula itu demi kebaikan kamu sendiri."

"Iya, Mas. Kok jadi bawel amat sih?"

Tak hanya menggerutu tepat di depan Arjuna, bahkan Vika tak merasa segan sedikit pun ketika melangkah dan melewati Arjuna. Ia duduk di sofa dan meraih remot televisi, lalu televisi pun menyala.

Tayangan muncul di layar datar televisi. Vika berpaling pada Arjuna yang bergeming di tempatnya berdiri, ekspresinya tampak bengong.

Vika tersenyum sembari menepuk sofa di sebelahnya. "Sini, Mas. Duduk di dekat aku. Kita nonton bareng."

Tunggu saja sampai dunia kiamat dan sepertinya Arjuna tetap tidak akan mau duduk di dekat Vika. "Nggak. Saya ada kerjaan." Setelahnya ia segera keluar dari kamar Vika tanpa lupa menutup pintu.

Kepergian Arjuna membuat Vika membuang napas panjang. Ia tak jadi menonton dan malah menatap pintu dengan kedua tangan yang mendarat di sandaran tangan sofa. Ia bertopang dagu, lalu bergumam. "Dia beneran kerja atau nggak ya? Ehm. Siapa tau kan kalau dia itu sebenarnya pelihara tuyul."

Kemungkinan itu membuat Vika mengerutkan dahi. Sepertinya ia belum pernah mendengar berita ada vampir memelihara tuyul.

"Suka-suka dia deh. Asal bukan aku aja yang jadi tumbal ya nggak jadi masalah."

Vika terkekeh sekilas dan kembali menghadap layar datar di hadapannya. Dicobanya untuk menikmati tayangan tersebut hingga ia pun merebahkan tubuh di sofa dengan satu bantal yang mengganjal kepalanya. Sesekali, ia pun memainkan remot dan tersenyum.

"Ehm. Seumur hidup, aku nggak pernah kebayang bakal ngalamin hal kayak gini. Punya kamar besar, hidup tenang, nggak ada masalah, dan yang pastinya kehidupan aku sekarang sudah balik ke kehidupan normal pada umumnya."

Faktanya, selama ini Vika nyaris tak pernah beraktivitas di siang hari lantaran dirinya bekerja di malam hari. Jadilah ia akan tidur sepanjang waktu ketika siang.

"Eh!" Mendadak saja Vika bangkit dari tidurannya. Gara-gara memikirkan hal tersebut, jadilah ia teringat akan sesuatu. "Hp aku ada di mana ya?"

Satu hal yang hampir terlewatkan oleh Vika adalah ia telah menonaktifkan ponselnya nyaris selama seminggu. Ditambah lagi ia tak memberikan kabar pada orang-orang sekitar dan jadilah ia sekarang penasaran, apakah ada yang mencari dirinya selama ini?

Vika buru-buru menggeledah tas ranselnya. Dibiarkannya pakaian berantakan di atas tempat tidur. Ia menemukan ponselnya dalam keadaan baterai yang kosong.

Butuh waktu sekitar lima menit untuk ponsel Vika kembali menyala. Tanpa mencabut kabel pengisi daya, ia menunggu ponsel untuk benar-benar siap digunakan dengan jantung berdebar. Ia penasaran dan wajah antusiasnya berubah sedetik kemudian.

Mama: Vika, di mana kamu? Utang Mama gimana?

Aibal: Kak, pulang kenapa? Mau lari dari tanggung jawab?

Papa: Nak, Papa harus bagaimana?

Aini: Vik, kamu sakit? Sakit apa? Kenapa izin sampe seminggu?

Vika membuang napas panjang. Rasa-rasanya ia tak percaya dengan deretan pesan yang didapat. "Mungkin ini kali ya yang dimaksud orang-orang dengan istilah keluarga nggak peduli, tapi orang lain yang justru peduli?"

Bibir Vika mengerucut dengan kesal. Emosi bergemuruh di dada sehingga diputuskannya untuk menaruh ponsel di atas nakas.

"Aku ngilang hampir seminggu, tapi bukannya aku ditanyain lagi di mana, kabar aku gimana, atau apalah itu, eh malah utang terus yang dibahas. Emang udah yang paling bener deh keputusan aku buat minggat dari rumah."

Vika bangkit dan memutuskan untuk melanjutkan tontonannya tadi. Namun, didapatinya ponsel berdering ketika ia baru saja beranjak selangkah.

"Lingsir wengi. Sliramu tumeking sirno. Ojo tangi nggonmu guling. Awas jo ngetoro. Aku lagi bang wingo wingo. Jin setan kang tak utusi. Dadyo sebarang. Wojo lelayu sebet."

Bergegas meraih ponsel, Vika yakin bukan hanya dirinya di dunia ini yang menggunakan lagu plesetan Lingsir Wengi sebagai nada dering. Dilihatnya siapa yang menghubungi dan wajahnya seketika menjadi berseri-seri. Ia merasa lega, sebabnya ia sempat mengira bahwa yang menghubunginya adalah salah satu dari keluarganya.

Vika mengangkat panggilan tersebut dan baru saja menaruh ponsel di telinga ketika suara histeris Aini terdengar hingga menggetarkan gendang telinganya.

"Vikaaa!!!"

Mata Vika terpejam seketika dan refleks saja ia menjauhkan ponsel dari telinga. Ketika dirasanya jeritan itu telah berakhir, barulah ia kembali mendekatkan kembali ponsel tersebut.

"Vika?"

Sekarang suara Aini terdengar berbeda dengan yang tadi. "Ck! Iya, ini aku."

"Kamu beneran Vika?"

"Astaga. Iya, Ni. Ini aku, Vika." Terdengar helaan napas panjang di seberang saja. Jadilah Vika tersenyum geli. "Kenapa? Kamu kangen aku ya? Khawatir karena aku nggak ada kabar beberapa hari ini?"

"Dasar begok!"

Vika tertawa walau hatinya seperti teriris-iris. Mungkin memang hanya Aini satu-satunya orang yang memang peduli padnaya.

"Kamu ke mana aja, Vik? Berapa hari nggak kerja dan nggak ada kabar. Hp juga nggak aktif. Astaga! Kamu baik-baik saja kan?"

Tepat seperti dugaan Vika. Memang hanya Aini yang perhatian padanya. Bahkan Aini sampai tahu kalau ponselnya nggak aktif beberapa hari.

"Iya, aku baik-baik aja kok. Kamu nggak usah khawatir."

"Oh, syukurlah kalau begitu."

Vika putuskan untuk duduk di tepi tempat tidur. Kala itu ia berpikir bahwa bila nanti uang sudah masuk ke rekeningnya maka ia akan mengajak Aini bertemu sebentar. Ia ingin jalan-jalan, belanja, dan makan makanan yang enak bersama dengan Aini.

"Soalnya bukan apa sih, Vik. Kapan hari aku ada mimpi."

Vika mengerjap. "Mimpi? Mimpi apa?"

"Mimpi kamu jadi jualan organ tubuh kamu loh."

Vika melongo. "Hah?"

"Terus jadi deh kamu keliaran ke mana-mana kayak sundel bolong. Iiih! Ngeri banget deh. Suwer. Aku nggak bohong."

Wajah Vika berubah. Sekarang ia menjadi ragu dengan rencananya tadi. Mungkin Aini juga tidak termasuk ke dalam kategori satu-satunya orang yang khawatir akan keadaannya.

"Kamu belum jadi sundel bolong kan?"

"Belum!" tukas Vika kesal. "Aku belum jadi sundel bolong, tapi yang ada justru aku ini jadi perawan nggak bolong-bolong."

"Eh?"

*

bersambung ....

Note: Aku minta maaf, tetapi sepertinya aku ga bisa updat tanggal 8 dan 9 Februari 2024. Ada urusan penting. Jadi, kita ketemu lagi di tanggal 12 Februari 2024. Makasih untuk pengertiannya (❁'◡'❁)

Tuan Vampir dan Darah KesayangannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang