20. Beda Jalur

449 85 20
                                    

Ada suara aneh yang membuat Vika jadi melihat sekeliling kamar. Asalnya ada perabotan yang bergerak-gerak di tempatnya masing-masing. Jadilah mata Vika melotot. Sebabnya adalah bukan hanya perabotan itu yang berguncang, melainkan tempat tidur yang didudukinya pun bergoyang-goyang.

Vika membeku. Disadarinya bahwa semakin lama maka tempat tidur bergoyang dengan semakin kuat. Jadilah ia ketakutan.

"Ge-gempa?"

Tak salah lagi, itu memang gempa yang berkekuatan tak tanggung-tanggung. Jadilah bukan hanya perabotan yang bergoyang-goyang, melainkan langit-langit pun terdengar berderik.

Vika panik dan tak ingin mengambil risiko. Ia bangkit dan mengabaikan infus, lalu buru-buru memeluk Arjuna.

"Ma-Mas! Ada gempa!"

Arjuna bergeming ketika Vika memeluknya dan memanfaatkan kesempatan dengan cerdik. Kenyataannya Vika bukan hanya memeluk, melainkan juga mendaratkan wajah di dada bidang Arjuna.

"Ma-Mas," lirih Vika sambil membuka mata dengan pelan-pelan seperti tengah mengintip. "I-ini kita nggak keluar? Gempanya makin kencang."

Tak ada respons yang Arjuna berikan. Ia sama sekali tak bergerak, bahkan sekadar bersuara pun tidak.

Jadilah itu membuat Vika merasa aneh. Akhirnya, ia mengangkat wajah dan melihat wajah Arjuna perlahan menunduk. Ekspresi Arjuna tampak menyeramkan dengan sorot mata yang berubah tajam. Setajam dan sedalam ... silet!

"Ma-Mas?"

Arjuna menggeram dan Vika sontak bergidik, jadilah ia merasa lebih ketakutan ketimbang menghadapi guncangan gempa. Mata Arjuna menatap Vika tanpa kedip, sudut samar di lekuk cuping hidungnya berkedut berulang kali. Vika membeku dan dilihatnya ada yang pelan-pelan timbul dari balik bibir Arjuna, yaitu taring.

"A-apa kamu bilang?"

Vika tertegun dan menyadari sesuatu. Gempanya bukan cuma di sini, tapi juga di suara Mar Arjuna. Suara bergetar gitu.

Namun, penyebab suara Arjuna bergetar bukanlah gempa. Alih-alih karena ia tengah berusaha menekan emosi. "Ba-bahasa Yunani?"

Vika mengerjap dan berusaha mengingat. Untungnya walau ia setengah gila atau gila atau bahkan sangat gila, otaknya masih bisa bekerja. Tadi ada gempa dadakan di kantor Pak Bobon. Sekarang juga? Masa sih ini lagi musim gempa?

Sepertinya mustahil ada musim gempa. Bahkan seandainya ada maka ia yakin gempa itu tak akan sampai menggetarkan suara Arjuna.

"Kamu bilang kalau bahasa kromo itu bahasa Yunani?"

Anehnya, irama bicara Arjuna tetap tak berubah sekalipun suaranya bergetar. Sejujurnya itu membuat Vika kagum. Namun, ada sesuatu yang membuatnya bingung. "Ba-bahasa kromo?"

Arjuna menyipitkan mata. "Kamu nggak tahu bahasa Jawa kromo?"

"Bahasa Jawa?" Vika mengulang ucapan Arjuna sembari berpikir hingga dahinya mengerut. Lalu ia pun tersenyum. "Oh, bahasa Jawa. Ngomong toh kalau bahasa Jawa."

Reaksi Vika membuat Arjuna membuang napas panjang. Dianggapnya Vika tahu sehingga emosi dan getaran gempa pun berangsur mereda. Vika menyadari hal tersebut dan jadilah ia merasa lega.

Sayangnya kelegaan Vika tidak berlangsung lama dan itu karena perbuatannya sendiri, lebih tepatnya karena ucapannya sendiri.

"Punten, Kang."

Pikiran positif Arjuna sontak menghilang tanpa bekas sama sekali. Taringnya yang sempat ingin masuk pun jadi mendadak keluar lagi. Ia menggeram. "Apa kamu bilang?"

Vika membawa jari telunjuknya ke bibir Arjuna. Jadilah Arjuna tak bisa lanjut bicara. Sebagai ganti, justru Vika yang bicara dengan mata menyipit.

"Ssst! Cicing maneh teh!"

Tuan Vampir dan Darah KesayangannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang