BAB 2

11 2 0
                                    

Gadis ini...

Zia melihat ekspresi pria itu yang sedang menatap terkejut sekaligus heran ke arahnya. Tatapannya seolah seperti telah mengenal Zia sebelumnya, namun Zia sama sekali tak mengenal pria ini.

Siapa dia?

Seorang pria bertubuh tinggi jangkung, Zia sampai harus mendongak untuk melihat wajahnya. Wajahnya tampan dengan tulang rahang tegas dan dagu lancip, hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Ia memakai kacamata bulat berbingkai tipis. Namun di balik kacamata itu, terdapat sorot mata yang sangat kuat, seperti bisa menembus jiwamu begitu melihatnya.

Pandangan Zia turun dari wajah ke tubuh atasnya, bahunya lebar dan dadanya bidang. Zia bisa melihatnya dari jas ketat yang dipakai pria itu. Lengan atasnya berisi dengan pas, tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu ramping. Perut dan pinggangnya rata dan indah.

Zia menyimpulkan, walaupun pria ini berkacamata, namun ciri fisiknya sangat kuat dan tubuhnya sangat ideal. Sangat berbeda dari kebanyakan pria berkacamata kutu buku lainnya.

Saat Zia masih melihat-lihat pria di hadapannya ini, pria itu masih terus terpaku menatapnya. Zia kemudian tersadar dan mulai sedikit tidak nyaman. "Ehm, terima kasih. Kalau boleh tahu, apakah Anda adalah salah satu dosen di sini?" tanyanya langsung menebak.

Pria itu langsung tersadar dan mengendalikan pandangannya. Ia mulai bersikap normal seolah-olah tidak ada yang terjadi, lalu mengangguk dengan tenang. "Benar, kau juga seharusnya adalah mahasiswa baru di jurusan ini, kan?"

Zia mengangguk. Ia sedikit terhanyut saat mendengar suaranya yang jernih dan lembut.

Pria itu tersenyum. "Kalau begitu cepatlah bergabung dengan yang lain. Kakimu tidak sakit, kan? Kau bisa berjalan?" tanyanya perhatian.

Zia menggeleng ringan yang berarti tidak masalah, kemudian tersenyum dan bergegas melanjutkan langkahnya menuju kerumunan mahasiswa lain. Pria itu mengikutinya dari belakang, lalu dengan cepat mengambil arah lain.

Zia bergabung dalam barisan itu dan sekarang ia berada di tengah-tengah kerumunan.

Seorang mahasiswa senior maju di hadapan semua mahasiswa baru dan memimpin barisan. Tak lama kemudian, beberapa orang berpakaian formal datang dan berbaris di depan semua mahasiswa. Salah satu dari orang-orang berpakaian formal itu adalah pria yang telah menolong Zia tadi.

Setelah beberapa kata sambutan, para dosen itu mulai memperkenalkan diri mereka sendiri. Zia menyimaknya baik-baik, sampai pada giliran pria yang menolongnya tadi.

"Nama saya Rei, gelar saya adalah profesor di sini. Saya biasa dipanggil Profesor Rei," ucapnya santai namun jelas terdengar oleh semua orang.

Profesor? Zia terperangah. Pria ini belum terlihat tua seperti profesor-profesor lain. Begitu melihatnya saja, seluruh mahasiswa bisa menyimpulkan dia adalah profesor termuda di sini. Usianya kira-kira kurang dari tiga puluh tahun. Namun dari sikap dan wajahnya terlihat sangat dewasa dan memancarkan aura yang luar biasa.

Zia mulai kagum melihat orang ini. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Profesor Rei. Saat melihatnya, Zia merasa wajah pria itu seperti sudah membekas jauh di dalam hatinya sejak lama. Rasanya sudah tidak asing lagi baginya, seolah pernah bertemu sebelumnya.

Tapi Zia segera menyangkal hal itu. Ingatannya dalam mengenali orang lumayan bagus, dan ia yakin belum pernah bertemu dengan Profesor Rei sebelumnya dalam delapan belas tahun hidupnya. Ini benar-benar pertama kalinya ia bertemu dengan sosok seperti Profesor Rei.

Lalu... darimana rasa akrab dan familier ini berasal?

Rei tanpa sengaja melihat ke arah gadis yang ditolongnya tadi sedang terpaku menatapnya. Ia pun memalingkan sedikit wajahnya dan menekan kacamatanya ke atas.

The Guardian GoddessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang