LITTLE GUARDIAN: Everything Is Real

53 6 2
                                    

Karya: Rina Nur Heti

“Berjanjilah padaku, jangan pernah takut lagi, oke?”

Waktu masih menunjukkan pukul 11.48 malam, hanya tinggal beberapa menit lagi menuju ke pergantian tahun. Sama seperti biasanya, malam pergantian tahun akan menjadi momen yang selalu dinanti-nantikan oleh banyak orang, namun tidak dengan Lyra. Gadis itu hanya berdiam diri di dalam kamarnya yang gelap gulita, ia sengaja tidak menyalakan lampu di ruangan pribadinya itu karena ia memang lebih menyukai ketenangan. Meskipun ia masih bisa mendengar suara-suara dari luar rumahnya, anak ini tetap tidak tertarik untuk ikut berkumpul dengan yang lainnya. Ia hanya sendirian, kedua orang tuanya memilih untuk merayakan malam pergantian tahun itu bersama dengan tetangga di sekitar rumah mereka.

Lyra memang dikenal sebagai anak yang hampir tidak pernah akrab dengan teman-teman sebayanya. Bukan tanpa alasan, ia  memang banyak menyimpan hal yang seharusnya tidak pernah menjadi beban pikirannya. Ia masih berusia 10 tahun, meski begitu, ia adalah seorang anak yang dikenal dengan kecerdasan di atas rata-rata. Di setiap pelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya di sekolah selalu ditangkap olehnya tanpa harus merasa kesulitan, karena itu pula Lyra menjadi murid kesayangan para guru. Meski begitu, bukan berarti Lyra mudah mendapatkan teman bahkan hanya untuk sekadar mengobrol. Entah mengapa mereka selalu menjauhi Lyra padahal ia hanyalah anak yang berharap bisa berinteraksi bersama teman-teman yang lain.

Jam dinding terus saja berdetak, menunjukkan waktu yang masih terus berjalan. Di luar sana masih terdengar suara dari orang-orang yang berkumpul menantikan waktu berganti ke angka 00.00. Sementara itu, tiba-tiba Lyra mendengar suara bantingan pintu dari luar kamarnya. Ia terlonjak kaget begitu mendengar suara keras itu disertai dengan teriakan sang ibu yang terdengar seperti sedang memaki seseorang. Hati Lyra menciut. Ia selalu takut mendengar bentakan maupun suara keras apapun dan darimanapun asalnya.

“Bukankah sudah kubilang agar kau tidak berkumpul dengan mereka?! Kau tidak lihat? Wanita itu menggodamu! Kau pasti juga sengaja ‘kan karena kau juga tertarik padanya? Jangan-jangan kalian sendiri sudah pernah bermain di belakangku?!” Setiap kata yang keluar dari mulut Henrietta terekam begitu jelas di telinga sang putri yang begitu ketakutan di dalam kamarnya. Jelas sudah, rupanya sang ibu tengah beradu mulut dengan sang ayah, Sora.

“Kau! Tutup mulutmu! Apa urusanmu sampai melarangku bertemu dengan teman-temanku? Siapa kau yang berani menghina semua teman-temanku?!” Sora tak mau kalah dari sang istri. Jari telunjuknya sedang diarahkan ke arah wanita berusia 25 tahun itu.

Mendengar hal itu, emosi Henrietta semakin memuncak. Ia tak terima karena sang suami terus saja membela teman-temannya dibanding dirinya sendiri sebagai seorang istri. “Bagus sekali! Aku ini istrimu! Selama pernikahan aku masih berpikir bahwa kau adalah seorang pria yang benar-benar bertanggung jawab, tapi kau terus saja membuat kepercayaan ini rusak. Aku sangat tidak beruntung bertemu denganmu!”

Tanpa mereka sadari, ada seorang anak yang tengah ketakutan mendengarkan seluruh percakapan mereka yang begitu keras dan penuh umpatan. Gadis itu menangis tanpa suara, hatinya begitu sakit mendengar ancaman-ancaman bodoh keluar dari mulut sang ayah. Dalam hatinya, ia terus saja memanggil nama seseorang yang selama ini terus hadir dalam mimpinya, Alan.

***

Lyra tengah duduk sendirian di ayunan sekolah, matanya masih sembab karena ia terus saja menangis ketika tidak sengaja mengingat kejadian yang menimpa keluarga kecilnya beberapa hari lalu. Ia masih terus menerawang jauh, bahkan ia tidak tahu apa yang sedang dilamunkan dirinya sendiri, namun mata kecilnya seolah sedang memerhatikan sesuatu. Ia mengikuti sesuatu yang tiba-tiba bergerak, rupanya ada seorang anak laki-laki berambut hitam dan bertubuh lumayan jangkung yang rasanya tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kemudian tanpa ia sadari, ternyata anak laki-laki itu mulai mendekatinya sambil tersenyum ramah, “Lyra, kenapa kau sendirian di sini? Kenapa tidak bergabung bersama yang lain?” anak itu lebih dulu menyapa Lyra yang kini sedang tersipu karena tertangkap basah tengah memperhatikan anak yang kini ada di hadapannya itu. Dengan gugup, Lyra pun menjawab, “E…kamu bicara padaku?” tanyanya sembari mengarahkan jari telunjuknya pada dirinya sendiri.

DREAMERS Writing ContestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang