SEUSAI SESAL

18 3 0
                                    

Karya: Rina Nur Heti

Isak tangis menyesakkan itu terdengar untuk yang kesekian kalinya, bahkan hal itu telah menjadi kebiasaan bagi gadis itu, entah untuk yang keberapa kali ia meratapi kejadian yang menimpanya sampai hari ini. Bukan cinta. Bukan kasih. Bukan pula benci. Namun ketiganya lah yang menjadi alasannya. Hari itu, hari di mana ia melakukan kesalahan terbesar untuk yang kesekian kalinya. Ia tak ingin menyakiti orang lain, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia merebut segalanya. Ia meminta apapun yang bukan haknya. Ia sadar, bahwa dirinya lah yang selama ini menjadi orang paling bodoh dalam hidupnya.

Ia menyesal.

***

“Ayah, aku tak apa-apa, sungguh.” Gadis itu mencoba untuk tersenyum pada ayahnya. Pria yang selama ini selalu berada di sisinya ketika ia merasa kesakitan, seorang guru yang selalu mengajarinya untuk bertahan dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan. Bukan apa-apa, ia tak mau membuat ayahnya merasa sedih, meskipun ia yang harus menahan rasa sakit itu. Sakit yang ada pada tubuhnya.

Usianya baru sepuluh tahun, saat ia mulai sering merasa pusing dan kesakitan pada kepalanya. Ia mengeluh, ia menangis, dan selalu mengadu pada ayahnya saat rasa itu kembali muncul. Tapi sayang, ayahnya bukan seorang dokter. Ayahnya hanya seorang pria pengabdi pendidikan yang tak tahu sama sekali mengenai masalah ilmiah, berulang kali ia bertanya-tanya pada Tuhan, mengapa tubuhnya tak mampu menahan semua rasa sakit yang ia rasakan, padahal ia selalu berkata pada ayahnya bahwa ia adalah gadis yang kuat. Gadis yang akan membanggakan orang tuanya.

Ia takut, akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan, terlebih hari ini adalah hari perpisahannya di sekolah karena ia telah lulus dan bagusnya, ia mendapat nilai terbaik dalam ujian akhir. Saatnya ia menginjak jenjang yang lebih tinggi. Semakin dekat langkahnya untuk menggapai impiannya, ia ingin menjadi seorang penari yang serba bisa, yang tentunya akan membuat ayahnya bangga. Namun, apakah itu berlaku untuknya?

Rina memerhatikan Ryota yang saat ini sedang termenung dalam duduknya. Lelaki itu merupakan teman dekatnya sejak lama, sementara itu Rina telah mengenakan gaun pendek sebatas lutut untuk pertunjukannya nanti. Benar sekali, Rina telah mengingatkan sahabatnya itu pada seseorang yang entah siapa. Meskipun lelaki itu tak henti menatap setiap lekukan Rina yang tampak begitu cantik dan serasi dengan segala perhiasan yang dikenakannya. 

Rina akan menari di sana, di atas panggung yang penuh dengan gemerlap cahaya yang akan menyorotnya, tarian solo dengan nyanyian yang pasti akan menggugah banyak orang untuk menyaksikan. Ya, ia adalah penari ballet yang juga memiliki suara yang sangat merdu, seperti lonceng yang sedang bergemerincing jika tertiup angin. Jernih bagaikan mata air yang hanya akan digunakan untuk membasuh wajah seorang bidadari. Ia seperti angsa yang akan terbang mengitari sekelilingnya.

Tapi itu hanya imajinasinya saja.

Seandainya ia tidak dalam keadaan seperti ini, ia pasti akan dengan mudah membuat ayahnya bangga. Membuat semua orang yang mencintainya bahagia. Lalu apa? Apa yang membuatnya khawatir? Mungkin benar, hanya keajaibanlah yang akan membantunya.

Usianya telah menginjak delapan belas tahun, sudah saatnya ia duduk di bangku perkuliahan. Itu berarti, sudah dua tahun ia menyembunyikan hal itu dari ayahnya sendiri. Rahasia yang pasti akan membuat ayahnya sedih atau bahkan murka. Ia tak punya tempat untuk bercerita, takkan pernah ada.

Ayah? Tidak mungkin.

Ryota? Dia tidak seharusnya membiarkan sahabatnya itu memikul penderitaannya.

Ibu? Apa ia tahu di mana ibunya berada? Mengingat wajahnya saja tidak.

“Maafkan aku, Ryota. Aku telah membuatmu menunggu.” Kata gadis itu ketika sahabat dekatnya itu melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu.

Ryota tersenyum, “Kau tenang saja. Belakangan ini kau selalu tampak pucat, kau kenapa?”

DREAMERS Writing ContestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang