Euginia Aiyana, perempuan yang kerap dipanggil Nia duduk di samping ibunya—Tanti seraya memangku seorang bayi perempuan yang cantik. Di samping ibunya, duduk ayahnya—Hermawan. Sedang tiga orang yang duduk di hadapannya adalah suaminya—Anggara dan mertuanya—Widuri dan Atmaja.
Nia memilih fokus menatap putrinya yang sedang terlelap. Tidak ingin sekali pun mendongak untuk menatap tiga tamu yang datang ke rumah orang tuanya setelah ia dipulangkan oleh Anggara dua hari yang lalu.
"Saya mohon maaf, Pak, Bu. Saya kesini ingin menyampaikan surat ini." Anggara mengangsurkan sebuah surat yang dimasukkan ke dalam amplop putih dengan kop pengadilan agama.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Hermawan mengambil surat itu. Istrinya yang begitu ingin tahu pun ikut mengintip isi surat.
Netra mereka membelalak tidak percaya. Secara bergantian mereka menatap pada surat, Anggara dan kedua orang tuanya, lalu ke arah putri mereka.
"Maksudnya apa ini, Nak?" tanya Hermawan pada Angga, panggilan dari Anggara. Bukan ia tidak tahu, ia hanya ingin memastikan apa yang ada dalam pikirannya.
"Dengan berat hati juga pertimbangan yang matang, saya menggugat cerai Euginia. Kedatangan saya dan kedua orang tua saya adalah untuk mengantarkan dan menegaskan maksud saya tersebut."
"Kenapa, Nak?" tanya Tanti tidak sabar. Ia kalut dan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Ia bingung. Ia kira Angga hanya mengantar putrinya untuk berkunjung ke rumahnya. Ternyata ia keliru.
Angga mendorong handphone-nya ke tengah meja. Handphone itu memutar sebuah video.
-xxx-
"Aku nggak mau hidup seperti ini terus! Hidup ini nggak adil. Dan kamu.." Perempuan itu menatap seorang bayi perempuan yang sedang menangis dengan tajam. Telunjuknya pun menunjuk perempuan itu. Hanya berjarak beberapa centimeter dari dahi si bayi, telunjuk perempuan itu. "Kenapa kamu menangis terus hah? Bisa diam nggak?" Perempuan itu berteriak histeris. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya pun sedikit tidak tertata.
Perempuan itu berjalan, mondar-mandir di dekat pembaringan dimana si bayi masih menangis. Perempuan itu terlihat kebingungan.
"Diem!" Sekali lagi perempuan itu membentak pada bayi perempuan yang menangis semakin histeris. Tangan perempuan itu hampir saja mengangkat bayi itu, tetapi tiba-tiba ia terduduk lemas di atas pembaringan. Ia memegang kepalanya yang terasa pening.
Perempuan itu berusaha mengatur deru nafasnya. Setelahnya ia mulai merasa sedikit tenang. Diangkatnya bayi perempuan itu. Ia timang secara perlahan. Tidak berapa lama, tangisan itu pun mereda.
-xxx-
"Video itu adalah salah satu alasan saya menceraikan Nia. Sepertinya, kondisi mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Saya tidak ingin memiliki istri yang tidak becus mengurus anak. Jika mengurus anak saja ia berteriak histeris seperti itu, lalu bagaimana jika diikuti dengan mengurus saya?" Angga mengucapkannya dengan tenang, tetapi wajahnya penuh kesinisan. Tidak berperasaan sama sekali.
Nia pun memilih tidak menanggapi. Ia hanya fokus pada deru nafas putrinya yang tampak teratur, terlihat dari perut mungilnya yang bergerak naik turun.
"Kenapa tidak kita coba periksakan ke psikolog atau psikiater saja, Nak?" tanya Tanti meminta persetujuan. Ia pun menatap pada kedua besannya penuh harap. Namun sayang, mereka hanya menunduk dan membisu.
Tanti tidak mau menyetujui begitu saja. Ia tidak ingin nasib putrinya seperti ini. Ia harus mempertahankan status putrinya sebagai istri Anggara. Tidak akan ia biarkan putrinya menjadi seorang janda.
"Mohon maaf, Bu. Keputusan saya sudah bulat. Bukankah lebih baik saya antarkan Nia kesini dengan baik-baik? Daripada saya mengusirnya," jawab Anggara seraya menatap ibu mertuanya. Tidak ada lagi tatapan penuh hormat. Berganti dengan tatapan penuh ketegasan, tetapi ada sedikit kekosongan di netra tajam laki-laki itu.
Tanti merasa nelangsa. Mengapa nasib putrinya harus seperti ini?
"Kalau begitu saya pamit dulu. Saya tunggu kehadiran Nia di pengadilan," ucap Anggara. Bila semakin lama disini, ia takut goyah saat melihat istrinya yang tampak keibuan, juga putrinya yang terlihat begitu menggemaskan.
Meskipun ia sudah menceraikan Nia, ia tetap hormat pada kedua orang tua mantan istrinya. Diciumnya punggung tangan mereka.
Kedua orang tua Nia menatap kepergian menantu—yang akan segera menjadi mantan menantunya dan kedua besannya dengan tatapan nelangsa. Sedang Nia hanya diam saja di tempatnya seraya mengusap kulit putrinya yang begitu halus.
-xxx-
Persidangan berjalan dengan lancar. Meski pihak pengadilan agama telah menawarkan mediasi, Anggara dengan keukeh mempertahankan argumentasinya. Sedang Nia, ia hanya diam. Tidak memberikan respons apapun terhadap penawaran itu.
"Mas." Nia memanggil mantan suaminya dengan lirih. Ada kedua orang tuanya yang berdiri di sampingnya, bersama putrinya yang ada dalam dekapan ibunya.
Anggara berhenti melangkah. Nia pun mendekat ke arah mantan suaminya, diikuti dengan kedua orang tuanya juga putrinya.
"Terima kasih, ya, Mas. Terima kasih atas niat baikmu dulu yang memilih aku untuk menjadi istrimu. Terima kasih juga, karenamu aku bisa memiliki putri yang cantik dan menggemaskan," ucap Nia tenang. Sangat tenang. Ia menatap Angga sesekali.
Nia pun menambahkan, "Aku minta maaf atas segala sikapku yang tidak sesuai dengan harapanmu. Semoga setelah ini, kamu bisa menjalani hidup dengan baik, ya, Mas."
Nia menatap kedua orang tuanya. Setelah itu ia pamit pada Angga untuk pulang lebih dulu. Meninggalkan Angga yang mematung seorang diri di koridor yang menghubungkan antara gedung dengan area parkir.
-xxx-
"Kamu tidak apa-apa, Nduk?" tanya Tanti seraya duduk di hadapan Nia yang sedang sibuk melipat baju putrinya di tepi ranjang. Putri kecilnya sedang tidur nyenyak setelah kenyang menyusu.
Nia menghentikan kegiatannya. Ia menatap ibunya dengan lembut. "Tidak ada perempuan yang baik-baik saja setelah diceraikan, Bu," jawab Nia kalem. Kemudian ia kembali melanjutkan kegiatannya, melipat baju kecil milik putrinya.
Tanti menatap putrinya dengan genangan air mata yang siap tumpah. Kenapa kisah hidup putrinya harus seperti ini? "Maafkan Ibu, ya, Nak," ujarnya dengan suara serak. Wanita paruh baya itu sedang berusaha menahan tangis yang sedari tadi ia tekan.
Nia kembali menghentikan kesibukannya. Ia mengambil nafas perlahan sembari menata hati dan pikiran supaya ia tidak menangis di hadapan ibunya. Ia ingin terlihat baik-baik saja. "Nia yang harusnya minta maaf ke Ibu," katanya seraya menatap ibunya lembut. Netranya tampak tegar dan tegas. Berkebalikan dengan hatinya yang hancur tak berkeping. "Karena Nia belum mengatakan permohonan maaf ke Ibu, maka Nia ingin menyampaikan maaf ke Ibu saat ini." Ia mengambil tangan sang ibu, digenggamnya tangan yang kulitnya sudah mulai tampak sedikit berkerut.
Nia menatap ibunya dengan tenang. "Bu.. Nia mohon maaf. Maaf karena harus menorehkan luka di hati Bapak dan Ibu. Maaf karena Nia telah memberikan coretan buruk di hidup kalian. Maafkan Nia. Karena Nia, Ibu dan Bapak harus menanggung malu tersebab pernikahan Nia yang harus kandas di tengah jalan. Bahkan, disaat usia pernikahan Nia belum menginjak usia dua tahun."
Tanti menggeleng. Membuat air mata yang sedari tadi ia tahan di pelupuk mata harus menetes membasahi pipi. "Kamu tidak salah, Nak. Ini salah kami karena tidak mampu memilihkan jodoh yang baik untuk kamu."
Nia juga ikut menggeleng. "Mungkin lebih besar porsi kesalahan itu karena Nia, Bu. Bapak dan Ibu jangan menyalahkan diri. Bila ada orang yang harusnya dihantui dengan perasaan bersalah-" Nia menunduk sebentar, kemudian menatap ibunya lembut, "Orang itu adalah Nia," lanjutnya.
Tanti tidak kuasa menahan air mata. Tumpah sudah air matanya yang selama ini berusaha ia tahan bila berada di hadapan putrinya.
Nia mendekatkan diri pada ibunya. Dipeluknya tubuh wanita paruh baya yang selalu memberikan kehangatan dalam setiap episode hidupnya. Dalam pelukan itu, begitu terasa getaran kesedihan ibunya. Membuat air matanya menetes, membentuk anak sungai kecil di permukaan pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Blues: Sebuah Penyesalan
RomanceEuginia harus rela diceraikan suaminya-Angga kala ia baru saja melahirkan putri mereka, tepatnya satu bulan 10 hari setelah kelahiran putri mereka. Beralasan karena terganggunya kondisi mental Nia semenjak usia kehamilannya mendekati kelahiran hing...