"Halo!"
Seorang wanita berdiri tepat dihadapan (y/n). Gadis itu sedikit menunduk setelah sejenak mengamati pakaian yang wanita itu kenakan seketika membuatnya berkecil hati, begitu mewah dan mahal.
"Aku mencari Satoru," ujarnya tenang. "Apa kau tahu dimana dia?"
Suara wanita dihadapannya pun terdengar mengalun rendah. (Y/n) mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan sepasang manik coklat cemerlang dihadapannya. "Tuan Gojou ada dilantai dua Nona."
Wanita itu melirik ke arah balkon sepasang tangan melambai ke arah keduanya, (y/n) sendiri bisa melihat dengan baik tuannya itu terlihat tersenyum senang menyambut wanita disampingnya.
"Terimakasih," Ucap wanita itu tersenyum.
Begitu wanita itu berlalu (y/n) memutuskan kembali fokus menyapu halaman luas kediaman Gojou. Bukan sekali dua kali semenjak jadi pelayan rendah dikediaman ini dia dipaksa oleh pelayan-pelayan yang lebih kuat posisinya serta sudah lama bekerja disana. Sudah seperti makanan sehari-hari.
"(Y/N)!"
Seperti yang baru saja berteriak memanggilnya. Belum selesai satu pekerjaan akan ada pekerjaan lainnya yang menunggu untuk (y/n) selesaikan. Kepala pelayan sesi dapur dengan celemeknya yang terlihat sudah terkena minyak berlari tergopoh-gopoh kearahnya. (Y/n) hanya memandang datar ke arah kepala pelayan sebelum akhirnya menangkap siluet ikat rambut milik adiknya yang berada ditangan wanita itu.
"Dimana adik sialanmu itu!?"
Pekikan itu membuat banyak pasang mata menatap keduanya. (Y/n) juga bisa merasakan tatapan dari lantai dua dan dia tahu pasti siapa pemilik tatapan itu.
"Amaya sedang pergi ke sekolah." jawab (y/n) tenang. "Kenapa anda mencari adik saya?"
Ujaran (y/n) mengundang tawa angkuh dari wanita itu, "adikmu sekolah? Terdengar mengada-ada. Kalian mana ada uang untuk sekolah? Pasti mencuri."
Hinaan ditahan sedalam-dalamnya, (y/n) hanya tersenyum maklum. Baginya selain dari Amaya adalah belatung yang bersarang di setiap tempat dan merusak pemandangan. Begitulah caranya mengabaikan banyak hal buruk yang dilontarkan kearahnya.
"Ngomong-ngomong, ada apa hingga membuat Anda mencari saya?" (Y/n) bertanya dengan suara pelan dan halus.
Wanita itu mendecih, tadinya hendak membuat (y/n) menahan malu karena ingin menuduh Amaya mengambil roti dari dapur, namun sayang perkataan (y/n) tentang Amaya yang ke sekolah membuatnya urung. Yang ada dia hanya akan membuat diri sendiri malu.
Pilihan yang bijak, (y/n) menanti apa yang hendak wanita didepannya lakukan. Membaca rawut wajah serta suasana hati sangat mudah baginya. Wanita itu jengkel dan kesal, lalu memilih berlalu begitu saja seusai melempar ikat rambut Amaya yang entah dia dapat dari mana.
Bukannya tidak tahu, justru (y/n) lah yang mencuri roti dari dapur. Kepala pelayanan hanya sudi memberinya makan sekali sehari dengan pekerjaan berat yang tumpang tindih. Mau tidak mau dia meminjam ikat rambut Amaya tadi pagi dan meletakkannya di belakang pintu dapur.
Tangannya meraih tiga potong roti dari dalam saku dan tersenyum kecil. Alasan Amaya ke sekolah membantunya menutupi pencurian kecil yang dia lakukan.
Setidaknya malam ini dia dan Amaya tidak harus menahan lapar bukan?
.
.
.Menyisir pelan rambut Amaya menggunakan jemari, laki-laki dewasa berambut hitam tersenyum. Dengan mata sipit dan telinga bertindik. Tingkah asing yang Amaya dapatkan didepan pagar sekolahnya membuat Amaya bergidik pelan.
Salah satu dari tuan-tuan yang harus Amaya hindari sesuai perkataan kakaknya tengah berjongkok menyamakan tinggi keduanya.
"Kau tidak mengikat rambutmu hari ini gadis kecil?"
Amaya menggeleng, alamat ingin kabur sayangnya tidak bisa. Dibelakang bocah cilik itu berdiri dua orang berpakaian suit hitam dengan tubuh kekar, menghalangi jalur lari bocah cilik dari cengkraman pria didepannya.
Bagai serigala yang menggenggam kelinci, Amaya manut mengikuti ketiganya memasuki sebuah mobil mewah. Seharusnya orang di depannya tidak akan berbuat jahat seperti melemparkan Amaya keluar dari mobil saat mobil tengah melaju kan?
Amaya mencengkram rok sekolah miliknya erat, sedikit limbung karena pikirannya terbagi antara menjawab pertanyaan pria itu atau harus menangis karena ketakutan.
Tidak, tentu saja Amaya tidak akan memilih pilihan kedua.
Dia sudah cukup melihat betapa sulit baginya dan (y/n) bertahan. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah.
"Apa kakakmu dulunya bersekolah?"
Amaya mengangguk pelan. "Iya, tapi ayah memutuskan sekolah kakak saat sekolah menengah atas dulu."
Geto Suguru mengangguk. Tidak jarang orang-orang kurang mampu memilih memutus pendidikan anak-anak mereka. Padahal mereka sendiri yang menginginkan seorang anak justru tidak bisa memberikan hak-hak dari anak-anak yang mereka buat.
"Dimana kakakmu dulunya sekolah?"
Suguru kembali bertanya, sekedar memastikan masa lalu pelayan baru sahabatnya, Satoru.
"Hanya sekolah negeri biasa," Jawab Amaya lugas. Tampak seperti jawaban yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Amaya, ingat! Jangan katakan tentang masa lalu kita. Katakan saja layaknya kehidupan orang normal."
Kepala gadis kecil itu memutar kembali percakapannya dengan sang kakak. Jemari Amaya meraih permen dari dalam saku dan menatapnya dalam. Mencoba mengingat-ingat apa lagi yang boleh dan tidak boleh dia sampaikan pada orang lain tentang (y/n).
"Kakak sekolah didekat pasar Hakko. Disana ada orang-orang yang memberikan pendidikan gratis."
Suguru tersenyum tipis. Pria itu tahu Amaya tengah berbohong dan melirik kearah permen ditangan Amaya.
"Aku mengerti," Ucap Suguru. Sepertinya mengorek informasi dari orang terdekat (y/n) hanya akan berakhir buntu.
Haruskah dia menemui ayah mereka? Tentu dengan beberapa ribu yen akan cukup untuk memperoleh yang Suguru mau bukan?
.
.
..
.
..
.
.T
B
C.
.
..
.
..
.
.12 Maret 2023, Minggu
KAMU SEDANG MEMBACA
〘Not To See It〙[Gojou Satoru x Reader] HIATUS?
Фанфик[HIATUS?] Sebuah hubungan dilandasi dengan keinginan. Keinginan mencintai hingga keinginan memiliki. Termasuk obsesi dan racun yang ada didalamnya. . . . Hubungan yang melahirkan kontradiksi, terima atau tidak, keduanya terikat secara garis takdir t...