00. Prolog

31 1 0
                                    

Menghabiskan waktu di kamar sambil bermain gitar sudah menjadi kegiatan rutin Astra dalam seminggu terakhir ini. Tidak ada nongkrong bersama teman dan tidak ada jalan berdua bersama Bunda dalam list libur akhir semester Astra kali ini. Astra sedang ingin sendiri, begitu katanya ketika ada yang bertanya.

Seolah tidak ada bosannya dengan suasana kamar dan cahaya matahari yang sesekali membuat Astra meringis, hari ini Astra masih setia duduk melamun di bawah jendela kamarnya dengan kedua tangan mendekap erat gitar hitam pemberian sang Ayah. Jika saja gitar itu bisa bicara, mungkin dia akan meronta-ronta karena sudah lelah terus-terusan Astra peluk dan dipetik senarnya.

Huhh..

Satu helaan lolos begitu saja dari mulut Astra. Kepalanya penuh karena terus mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk membuat Astra lelah juga, padahal kerjaannya hanya tidur, makan, mandi, dan bermain gitar, begitu saja terus.

"Kata Tante Imel dari kemarin ada yang sedih terus, kenapa ya?"

Mendengar suara Bunda, Astra yang masih anteng duduk di bawah jendela refleks menoleh ke arah pintu kamar. Di sana, di depan pintu kamar Astra sudah ada Bunda lengkap dengan senyum hangat di wajah cantiknya. Senyum itu sungguh hangat, hingga Astra turut menyunggingkan senyumnya. Ia suka senyum itu dan tidak mau kehilangannya.

"Bundanya dibolehin masuk dong, masa cuma diliatin terus," vokal Bunda yang lagi-lagi menarik Astra dari lamunan.

Pemuda yang hari ini mengenakan kaus hitam lengan pendek dan juga celana hitam yang tak kalah pendek itu langsung menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya seraya berkata, "Sini, Bun."

Kini Astra sudah tidak sendiri, sudah ada Bunda yang siap menemani putra semata wayangnya itu dalam beberapa jam ke depan. Pikir Astra, kali ini akan menjadi obrolan yang panjang dan mungkin penuh haru.

"Ini yang katanya dari kemarin kepergok nangis di dalem kamar sama Tante Imel? Aduh, aduh, udah jadi anak kuliahan kok masuk suka nangis sih?" heran Bunda sambil mencubit gemas pipi kiri Astra hingga mengaduh kesakitan.

Di mata Bunda, Astra itu masih anak kemarin sore yang hobinya main rumput dan makan es potong, maka tidak heran jika Bunda selalu gemas pada Astra. Tidak peduli jika saat ini Astra sudah menjadi anak kuliahan dan berusia 21 tahun, baginya Astra masih tetap anak kecil, titik.

Jika anaknya belum bisa memberontak ketika dicium, rasanya Bunda ingin terus menciumi pipi Astra karena saking gemasnya.

"Dih, siapa yang nangis? Astra enggak nangis, Bun," bantah Astra. "Tante Imel bohong tuh."

Bunda tersenyum geli. Persis seperti Ayahnya yang selalu gengsi untuk mengakui ketika suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Gitar hitam yang sejak tadi didekap erat oleh Astra disimpan sembarang oleh Bunda, digenggamnya kedua tangan anak semata wayangnya itu. Bunda tahu apa yang menjadi keresahan Astra akhir-akhir ini. Sambil tetap menatap Astra, Bunda berkata, "Bunda akan selalu jadi milik Astra dan Bunda enggak akan diambil siapapun. Walaupun besok Bunda udah jadi istri dari Papa Irsyad, Bunda akan tetap jadi milik Astra. Enggak ada yang bisa rebut Bunda dari Astra, sekalipun itu Papa Irsyad."

Tangan kanan Bunda mengelus lembut rambut Astra, lalu lanjut berkata, "Jangan takut. Setelah ini enggak akan ada yang berubah. Bunda akan tetap sayang Astra dan Astra akan tetap jadi anak kesayangan Bunda. Gak ada yang perlu Astra khawatirkan."

Lagi-lagi Astra menghela nafasnya. Anggap saja ucapan Bundanya tidak hanya kalimat penenang saja.

"Bunda janji?"

"Janji," jawab Bunda sambil menautkan jari kelingkingnya di kelingking Astra. "Astra boleh tinggalin Bunda kalau suatu saat Bunda ingkar."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EvaluasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang