Hai semuanya ...
Apa kabar? Semoga selalu sehat dan dalam keadaan baik
Fai balik lagi dengan cerita baru. Terinspirasi dari kegiatan KKN yang dilakukan di kabupaten Magelang beberapa bulan lalu.
Happy reading, guys. bintangnya jangan lupa
***
Perempuan berkulit sawo matang dengan jilbab biru muda melangkah menuju meja di ujung kafe. Punggungnya dihiasi tas ransel hitam yang nampak tidak begitu berisi. Ia melempar senyum kepada beberapa orang yang duduk memenuhi meja incarannya.
"Sorry telat, guys. Habis dari kantor." Perempuan itu duduk di kursi kosong. Satu-satunya yang tersisa untuknya.
"Loh? Kerja sekarang, Nai?" tanya salah satu teman di sebelahnya.
"Hm. Editor tetap penerbit. Udah bukan freelance lagi nih," jawabnya sembari meletakkan tas ransel di lantai.
Olivia Naira Wening, begitulah sekiranya pengisi kolom nama yang tertera di KTP. Doa indah yang diberikan kedua orang tuanya saat tangis pertamanya menghiasi dunia. Mahasiswa tingkat akhir di salah satu kampus negeri di ibu kota. Tinggal menghitung minggu dirinya akan resmi mendapatkan gelar sarjananya.
"Wih, bisa dong ngerjain skripsi gue." Lelaki jangkung dengan senyum lebarnya menaikturunkan alis.
"Naira tuh editor, bukan joki skripsi." Saras, yang duduk tepat di depan Nabil pun menampar pelan punggung tangan lelaki itu. "Lagian lo kan anak olahraga, mana ngerti Naira sama skripsi lo. Ada-ada aja."
"Lo aja jokiin skripsi gue. Udah buntu nih." Nabil mengalihkan pandangannya.
"Dih, males banget." Saras memutar bola matanya jengah.
"Gue cariin pacar deh."
"Gak butuh."
"Kangen banget deh gue. Biasanya di posko apa aja diributin sama nih anak dua," ucap Meena menatap keduanya intens dengan bertopang dagu.
Yap, mereka adalah teman sekelompak Naira saat KKN beberapa bulan lalu. Sejak penarikan KKN, mereka tidak pernah berkumpul lagi. Baru kali ini dan masih seru seperti dahulu.
"Gak ada habisnya mereka berdua mah. Kutub utara sama kutub selatan." Aldan menambahkan. Selama di posko, dia selalu ada di tengah Nabil dan Saras. Sudah menjadi makanan sehari-hari mendengar keributan tak masuk akal mereka.
"Pantes nasibnya juga beda. Satunya dapet akamsi, satunya putus gak kuat LDR," ejek Acha.
"Yang satu tinggi menjulang, yang satu lagi minion." Kavin pun ikut meramaikan.
Saras yang tidak terima langsung mengepalkan tangan siap menonjok Kavin. "Maksud lo, gue cebol?"
"Santai, Bos." Kavin mengangkat kedua tangan dan memundurkan tubuhnya.
"Ya, lo emang kecil kan, Sar. Gak udah diambil hati." Acha menatap malas.
"Bukan gue yang ngomong." Kavin memasang wajah tak bersalah.
"Hahaha ..., udah, guys. Capek ketawa gue." Meena menutupi mulutnya yang sudah terbuka lebar karena tertawa.
"Sampai haus nih. Gue pesen minum dulu ya." Naira berdiri dari duduknya. Ketika hendak melangkah pergi, suara seseorang menginterupsi.
"Udah gue pesenin." Aldan menyodorkan gelas di depannya ke Naira. "Caramel tea, es sedikit biar lo gak batuk-pilek."
Seketika tubuh Naira membeku di tempat. Rasanya mungkin sudah terkubur dalam, tetapi Aldan masihlah sama. Lelaki yang lembut dan penuh perhatian. Detail kesukaan Naira pun, Aldan hafal.
"Hazelnut choco lagi gak ready. Jadinya kita pesenin teh." Suara Meena menyadarkan Naira yang langsung duduk kembali.
"Um, nggak papa. Yang penting bukan kopi atau soda. Thanks, kawan." Naira berusaha bersikap seperti biasa. Aldan dan Meena membalas dengan anggukan.
"Kita kumpul ada maksud dan tujuan apa?" tanya Aqila yang sedari tadi hanya sebagai pendengar. Ia memang sangat pendiam. Jika belum saatnya berbicara, ia akan menutup mulutnya rapat-rapat.
"Nah ini, gak ada hujan, gak ada petir, tiba-tiba ngajakin kumpul. Ada apaan, Pin?" Nabil memposisikan dirinya untuk mendengarkan Kavin.
"Jangan pada sedih ya. Bulan ini gue balik NTT. Sebelum susah ketemu, ya kita kumpul dulu. Ngomongin apa aja. Gue sebenernya malu ngomong ini, tapi jujur, kangen."
"Seorang Kavin bisa juga kangen kita. Terhura gue." Acha mendramatisasi dengan mengusap ujung matanya.
"Udah wisuda, Pin?" tanya Naira setelah meneguk tehnya. Kavin mengangguk.
"Gila, cepet banget. Gue aja baru bulan depan. Kemarin banget nih, sidang." Saras membulatkan mata tak percaya.
"Kalian udah pada sidang?" tanya Meena mengedarkan pandang ke seluruh temannya.
"Revisi aja gak kelar-kelar, gimana mau sidang?" keluh Nabil.
"Kasian amat sih, Pak. Gue juga sih. Dosennya agak sibuk gitu, susah janjian bimbingan." Acha memijat pelipisnya. Pusing memikirkan nasib skripsinya.
"Aku malah masih data. Rencana nambah satu semester lagi," jawab Aqila.
"Semangat kalian." Meena mengepalkan tangannya menyemangati. Pandangannya beralih pada teman lainnya. "Aldan sm Naira gimana?"
"Udah," jawab keduanya hampir bersamaan.
"Ekhem. Kayak gini nih yang bikin posko berwarna," sindir Kavin.
"Warna pink gak sih, Pin?" tambah Saras.
"Kalau liat lo warnanya jadi suram." Saras langsung mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Nabil. Yang lainnya hanya tertawa.
"Gue jadi inget Saras nangis di pojokan gara-gara putus. Bener sih, suram banget auranya," ucap Meena menyetujui Nabil.
"Posko kita urusan hati tuh seru banget ya. Ada yang putus, cinlok sama akamsi, cinlok sesama anak KKN juga ada deh kayaknya." Acha melirik ke arah Naira.
Gadis itu tentu tidak memedulikan beberapa pasang mata yang menatapnya. Pikirannya sudah melayang jauh. Tepatnya saat senyum dari salah satu lelaki di sana mewarnai hidupnya. Saat Aldan menjadi alasan hatinya yang sempat terkunci rapat, terbuka lebar. Kisah itu berputar, hatinya kembali bergetar. Namun, bibirnya masih sama, tak mengucap sepatah kata.
***
Ada apa nih sama Naira-Aidan?
KKN menumbuhkan benih-benih cinta kali ya
Tunggu kelanjutan kisah ini, teman-teman
Terima kasih sudah voment dan mengikuti cerita-cerita dari Fai
KAMU SEDANG MEMBACA
Logbook Naira
Fiction générale"Witing Tresno Jalaran Saka Kulino" Pepatah jawa yang kini wajib diaykini oleh Naira. Tak disangka, kegiatan Kuliah Kerja Nyata menulis kisah baru dalam hidupnya. Membuka hatinya yang tertutup rapat. Seorang lelaki penyembuh luka hati. Sebulan penuh...